 |
gambar: Pribadi |
Kakinya mantap melangkahi anak tangga yang terbuat
dari marmer. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ia menghela napas dan tersenyum, lalu mendorong pintu kafe. Ternyata cukup ramai pengunjung hari ini. Matanya melirik ke
kanan dan kiri, mencari sosok yang ia cari. Hingga akhirnya seseorang dengan
kemeja merah Maroon melambaikan
tangan padanya. ‘Itu dia’.
Jihan berjalan mendekatinya tanpa sapa, tanpa suara. Sosok di hadapannya sangat berbeda dari sosok yang diingatnya beberapa tahun lalu. Postur tubuhnya juga menarik, sepertinya selama ini ia rajin berolahraga. Sorot matanya dingin. Pria itu membuka percakapan dengan
gugup, bertanya ‘Apa kabar?’
****
“Aku baik. Kamu?”
“Baik juga.”
“Hmm, kamu sudah menunggu lama?”
“Ahh tidak, saya baru sampai. Kebetulan hari ini
jadwal saya tidak padat.”
“Ouh..” Ucapnya sambil mengangguk paham.
“Bagaimana kehidupan baru kamu, saya dengar kamu
sudah menjadi dosen tetap. Benar begitu?”
“Iya begitulah..”
“Akhirnya cita-citamu tercapai juga.”
Mereka berdua tersenyum. Waiters datang membawa 2 cangkir latte dan 2 piring berisi
roti panggang dengan selai coklat dan irisan stroberi.
“Hmmm, ini..”
“Yup, kamu masih suka?”
Jihan memandang pria itu dengan sinis. Di satu sisi, ia berjuang
mencari kosa kata untuk kembali menyambung percakapan yang sempat terputus
beberapa detik.
“Kamu sekarang sendiri?” Katanya sambil mengalih pandangan ke luar jendela.
“Ha?”
“Iya, kamu sekarang sendiri atau...”
“Yaaa aku sendiri. Hmmmm kamu juga sendirian?”
“Aku, pacarku jauh. Dia tinggal di Jawa.”
“Ohh.. Aku dengar juga, katanya kamu mau
menikah. Benar?”
“Kok bisa tanya begitu?"
“Saya hanya ingin memvalidasi benar atau tidak."
Pria itu hanya membisu, membenarkan letak kacamata yang
bertengger di hidungnya. Atmosfer sekitar mulai berbeda. Jihan menyadari bahwa masih ada hal yang belum usai dari episode yang telah lampau. Sayangnya waktu yang telah terbang tidak berpihak padanya. Gadis berambut pendek itu terpaksa menemui pria yang empat tahun lalu membuatnya tersiksa. Seharusnya Jihan tidak perlu menyetujui pertemuan ini. Namun sifat 'tidak enakan' Jihan masih sama. Mau tidak mau, detik itu juga Jihan membiarkan Sam menyampaikan tujuannya.
“Jihan, terus terang selama ini saya terus menunggu
kamu.”
Jihan menaikan alisnya sebelah, sambil menyeruput latte yang mulai dingin.
“Sam. Kenapa disini, kenapa sekarang, dan apa mau kamu? saya bosan.” Ucap Jihan yang sedikit menaikan intonasi bicaranya.
“Saya tahu saya salah, tapi saya tetap merasa
kosong. Saya mau kamu Jihan.”
“Selama kamu menjalin hubungan dengan saya, saya sadar posisi. Saya hanya pilihan terakhir. Lagi pula hubungan kamu dengannya selama ini, apa kurang cukup untuk mengisi kekosongan?"
Sam hanya membisu dan tertunduk malu.
"Selama ini, kamu hanya lari dari hubungan yang kamu anggap membosankan. Belum lagi jika ada badai, haha.. Tidak ada masalah yang kamu selesaikan, Sam. Kamu membiarkan semuanya berantakan!"
“Jihan, saya mengaku salah. Kali ini saya serius meminta maaf.”
Gadis cantik itu menyandarkan punggungnya, melepas pandangannya keluar jendela. Temaram lampu di taman kafe membuatnya terbawa
akan kenangan bersama Sam. Ia berkelahi dengan pikirannya sendiri. Ternyata sesulit ini memberi batasan dan tegas? Tapi hal ini seharusnya menjadi sesuatu yang mudah bukan?
“Jihan..”
Sam menyodorkan kotak merah berisi cincin emas putih dengan butiran permata sebagai hiasannya. Jihan mengerutkan kening dan memandang wajah Sam dengan ketus.
“Saya tidak bisa!”
Ucapnya sambil berdiri dari tempat duduk, dan
melangkah keluar. Sam tidak tinggal diam, ia mengejarnya hingga halaman kafe.
“Kamu berubah sekarang!”
“Apa maksudnya bilang saya berubah? Wajar saya
berubah. Saya bukan lagi Jihan yang bisa dengan rela membuka pintu kembali
untuk kamu.”
“Tapi tolong Jihan!”
Jihan tidak menggubris ucapan Sam, namun pria tampan
itu menarik lengan Jihan dan berlutut di hadapannya.
“Tolong Jihan.. Saya rapuh.”
“Oh ya, kamu yang rapuh atau saya? Datang lalu hilang sesuka kakimu melangkah! Saya tidak bisa. Kamu sudah dengan yang
lain. Biarkan saya bahagia dengan cara saya sendiri, jangan lagi kamu hadir di hidup saya.”
Sam memandang wajah Jihan dan berdiri di hadapannya.
“Baiklah, untuk saat ini saya tidak akan ganggu kamu. Tapi ingat,
saya akan kembali lagi jika kamu sudah siap dengan saya. Karena saya yakin kamu
adalah pelabuhan terakhir hati saya. Dan saya akan meninggalkan kekasih saya
ketika kamu sudah siap mengulang kembali hubungan dengan saya.”
Gadis itu menatap wajah Sam dengan kesal, hingga akhirnya satu tangan melayang ke pipi kiri Sam.
"NARSIS, SAKIT JIWA KAMU!!"
Jihan berjalan dan menaiki taksi yang tengah menunggu
penumpang di dekat halte. Sam hanya mematung menyaksikan taksi yang
melaju tenang di jalanan. Ia hanya ditemani bias lampu yang memantulkan
bayangannya di trotoar jalan.
"Dia.. dia Jihanku!" Ucap Sam sambil menyunggingkan senyum dan menatap lama taksi yang perlahan lenyap dari pandangannya.
****
Waw sangat bagus sekali
BalasHapuskunjungin blog saya juga ya https://jenongtekno.blogspot.co.id/