Assalammu’alaikum
wr.wb
Hallo
semua, selamat datang kembali di blog Helena Vector. Terhitung sudah kita
melaksanakan ibadah puasa dan memasuki hari kesembilan. Semoga puasa kita
lancar, untuk yang sedang berhalangan puasa, yang sedang sakit semoga lekas
sembuh dan bisa ikut melaksanakan ibadah di bulan suci Ramadhan 2018, amin.
Kali
ini, gue mau share tentang kesan selama
berpuasa di tahun 2018. Tepat pada tanggal 17 Mei 2018 lalu, hari puasa pertama
dimulai. Senang banget karena ramadhan tahun ini gue bisa kumpul bersama kedua orangtua.
Kalau ramadhan sebelum-sebelumnya tepat tiga tahun lalu, gue sendirian di
kost-an. Atmosfernya beda sekali, karena di kost-an itu yang beragama islam cuma
gue. Sisanya non-islam. Maklum saja, jajaran kost gue dari ujung sampai ujung
itu berasal dari suku yang berbeda. Gue dari Banten, mereka dari Batak. Begitu pula
dengan ibu dan bapak kost gue yang asli Batak.
Ada
beberapa kejadian yang tidak terduga selama gue berpuasa disana. Jadi sewaktu
gue lagi nggak ada uang lebih untuk membeli makanan dan hanya cukup untuk isi
ulang air minum, tetangga gue bertanya ‘sudah ada takjil atau belum?’ Gue jawab
jujur ‘belum’ dan akhirnya gue dapat satu mangkuk kolak plus satu botol sirup
yang masih disegel. Disaat puasa hari itu kondisinya benar-benar genting,
pertengahan bulan, dimana gue cuma sahur pakai nasi plus cabai bubuk bermerek
(yaa you know lah mereknya apa, yang
tenar banget di iklan televisi) dan minum teh manis hangat. Harap tenang, ini
tidak seburuk yang kalian pikirkan. Karena gue masih berpikir bahwa “Dibalik
kesulitan, pasti ada kemudahan”, ya meskipun kadang gue pernah juga sesekali
nangis karena kangen orangtua.
Selain
itu juga berpuasa di tempat gue kuliah dulu tuh seru banget, asik. Apalagi kalau
ada acara buka puasa bersama. Setiap fakultas dan prodi, kemudian Unit Kegiatan
Mahasiswa (UKM) punya tradisi masing-masing saat melaksanakan buka puasa
bersama. Ada yang mengundang anak-anak dari panti asuhan misalnya, kemudian mengundang
grup nasyid, mengadakan bazaar, dan sebagainya.
Kalau
itu cerita puasa dari gue, ada kisah salah satu sahabat gue yang saat ini
sedang menempuh pendidikan di Negeri Tirai Bambu, negerinya panda yang
lucu-lucu, yap. Cina. Namanya Fitriya Ramadhani atau biasa gue sapa Pipit. Sedikit
cerita gimana awalnya gue bisa akrab sama dia adalah karena Pipit ini dulunya
satu kampus, satu fakultas, dan satu prodi dengan gue. Kita masuk kelas
Semester Pendek Awal (SPA) dimana sistem perkuliahan kayak gini nih yang bikin
kuliah sebenarnya agak-agak masih semangat gitu. Yaa bayangkan saja sama
kalian, kita kuliah dalam satu minggu hanya tiga hari dan hanya tiga mata
kuliah yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Motivasi Usaha. Selama
menjalani kelas SPA tersebut mulailah kita berkenalan, belajar bareng, diskusi,
makan bareng, dan lain-lain.
Sumber: Instagram @fangfei.feifei
Namun
memasuki awal kuliah tahun pertama, kita sudah ambil jas almamater kampus, ehh
pipit pindah ke Al-Azhar dan diterima beasiswa disana. Senang sekaligus sedih
juga sih, karena gue bakal jauh sama sosok shaleha yang satu ini. Alhamdulillah
kabar baiknya dia sekarang kuliah di Fujian Normal University, Fuzhou, China. Sedang
menjadi mahasiswa semester akhir juga. Banyak cerita dari dia yang lewat di instastory gue. Salah satunya adalah ketika memasuki
bulan puasa sekarang. Pipit bilang kalau puasa di Cina itu tidak seenak puasa
di Indonesia. Karena menurut pengakuan wakil I None Buku DKI Jakarta 2015 ini, kalau di Indonesia panasnya nggak kayak di
Cina yang kering, engap. Tidak hanya
itu, durasi waktu yang cukup lama yakni 15 jam. Pokoknya mendingan Indo kemana-mana, deh. Pengakuannya ini
juga sama dengan beberapa senior gue yang sudah pulang dari Nanjing. Namun mereka
tetap mengatakan bahwa “Dibalik kesusahan, pasti ada kemudahan.”
Sumber: Instagram @fangfei.feifei
Kalau
tadi adalah cerita dari Negeri Tirai Bambu, selanjutnya adalah cerita dari
salah satu sosok yang gue idolakan. Tahu beliau dari sosmed, gue belum kenal
dekat tapi semoga gue bisa kenal dengannya *duh
ngarep*. Buat kalian yang suka nonton video di YouTube, nonton acara Halal
Living di salah satu televisi swasta, mampir ke blog, dan baca bukunya yang
berjudul ‘Rentang Kisah’ pasti tidak asing lagi dengan kakak vlogger cantik yang
satu ini. Siapa lagi kalau bukan kak Gita Savitri Devi?
sumber: instagram @gitasav
Beliau salah satu
mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Jerman dan mengambil jurusan Kimia
Murni. Terdapat salah satu vlog yang membahas tentang Puasa di Jerman dan yang
gue lihat kak Gita ini kuat banget, guys.
Puasa di Jerman itu lamanya 19 jam. Waktu subuh jam setengah tiga pagi, dan
bedug maghrib itu jam setengah sepuluh malam. DANG ! bisa kalian bayangkan dan
hitung sendiri ya, heheh.
Tidak
hanya itu, untuk melaksanakan ibadah shalat 5 waktu juga kak Gita sempat merasa
kesulitan. Sempat di bahas pada salah satu vlog nya yang jadi favorit gue
banget, judulnya Berdampingan (Coexist) dimana kak Gita bercerita bagaimana
menjalani kehidupannya sebagai minoritas di Jerman dan kesulitannya
melaksanakan shalat 5 waktu. Kesulitan yang nampak jelas akan fasilitas beribadah
seperti mushala. Tapi bagaimanapun juga kondisi yang beliau rasakan ketika di
Jerman, kak Gita bilang di vlog nya “…asalkan
khusyuk shalatnya, kenapa nggak?” Hmmm, sanctuary
!
Ada
dua pelajaran yang bisa gue ambil dari kedua kisah mereka. Pertama adalah “Do Something.” Dari Pipit, beliau ini
sangat bercita-cita bisa kuliah di Cina. Tidak hanya sekadar menempuh
pendidikan saja, namun ada passion yang
ia punya sehingga bisa ia gapai. Pipit suka banget baca buku, kecuali buku
dengan genre horror pastinya hehehe. Berkat hobinya ini, dia bisa menjadi wakil
None Buku di ajang Abang None DKI Jakarta di tahun 2015. Sungguh menginspirasi
anak muda banget untuk bisa cinta dengan buku, kan? Kemudian dari kak Gita,
beliau ini bisa gue bilang salah satu sosok inspiratif anak muda banget. Karena
di era saat ini, kak Gita membuat vlog bukan hanya sekadar untuk senang-senang,
menurutnya dengan membuat vlog bisa membuat mindset
masyarakat khususnya anak muda Indonesia lebih terbuka, bahwa dunia ini
luas. Banyak yang bisa kita pelajari, bisa kita ambil hal yang baiknya, dan
bisa kita lakukan di kehidupan sehari-hari.
Kedua
adalah rasa syukur. Mereka tetap bisa menjalankan aktivitas, lho. Pipit dan kak
Gita masih bisa tetap berkuliah, berkutat di laboratorium, masih bisa bekerja,
dan sebagainya meskipun waktu puasa dan kondisi geografis yang berbeda dengan
Indonesia. Kalau di Indonesia panasnya tidak seperti yang mereka bilang namun
masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa merasa lelah, bagaimana
dengan kita yang masih di Indonesia ya, apakah kita masih merasa bersyukur?
sumber: instagram @gitasav
Kesan
di bulan ramadhan tahun ini adalah rasa syukur yang tak pernah henti terucap. Dua
pelajaran yang sangat berarti buat gue. Mereka memulai dari hal terkecil dan
dampaknya bisa dirasakan serta memotivasi banyak orang. Disini gue merasakan
nikmat yang Allah swt beri kepada setiap makhluknya. Gue yang masih bisa berjumpa
di bulan suci Ramadhan dan masih diberikan kesempatan untuk bertatap wajah
dengan mama dan papa. Meskipun awalnya masih merasakan kesulitan setelah lulus
kuliah tapi gue masih bisa do something
di rumah. Gue masih bisa silaturahmi dengan teman-teman, melakukan hal yang gue
suka seperti menulis, gue masih bisa berbagi cerita ke teman-teman yang insyaAllah bisa diambil yang hal
baiknya, dan masih bisa bercanda dengan papa. Selalu yakin akan janji Allah swt
membuat kita tak tergoyahkan. Karena apa? “Sesungguhnya dibalik kesulitan pasti
ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah : 5)
Wassalammu’alaikum
wr.wb
_Helena
Vector
Komentar
Posting Komentar