Salam dari Kota Santri, Pandeglang Banten
22:00 WIB
Namaku Anida Regina, sebut saja Rere. Aku suka
hujan, makan cokelat dan suka membaca komik. Malam ini langit tak berbintang. Aku
tahu pasti akan turun hujan. Terdengar gemuruh petir yang disusul oleh rintik air
yang perlahan membasahi tanaman ibu, bunga mawar dan tanaman Stroberi di depan
rumah. Aroma pretichor menyeruak
kuat. Jendela kamar sengaja dibuka sedikit agar bisa merasakan sendunya malam
bersama hujan.
Di kamar ini aku tumpahkan semua mimpi-mimpi dan
harapan sejak sepuluh tahun lalu. Dinding yang penuh sketsa gambar ditambah jam
dinding berwarna hitam, puluhan medali yang bergantungan, potret sewaktu aku
berdiri di podium sebagai pemenang Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja, saat aku
berhasil menaklukkan tingginya gunung Kerinci bersama kawan-kawan Pecinta Alam,
dan potret wisuda. Aku meraih ponsel dan membuka YouTube. Lofi Hip Hop Chill yang
menyejukkan, menemani malam ini sebelum aku terlelap dan kembali terbangun
dengan disambut mentari pagi. Tidak lupa dengan aroma teh madu buatan ibu agar aku
semangat bekerja.
 |
Foto: Pribadi |
Aku melirik foto yang berdiri di sudut meja.
Potretku bersamanya sewaktu sekolah dulu. Genta, apa kabar? Aku harap kau
sehat-sehat saja dan semoga selalu tersenyum. Kau mendengarku menyapamu? Hahh..
Sungguh tidak akan ada habisnya cerita masa SMA. Entah siapa yang memulai dan
kapan dimulai. Beda zaman maka beda pula ceritanya.
Terlintas kenangan yang masih hangat dalam memori
jangka panjang, terekam sangat jelas enam tahun lalu aku menulis surat untukmu.
Hal terkonyol dan tergila yang pernah dilakukan seumur hidupku. Padahal kita
sama-sama tahu bahwa saat itu sudah ada aplikasi pengirim pesan yang sangat
mudah untuk aku menyampaikannya daripada harus rela pegal menulis, bahkan
jemariku sampai terkena tinta pena karena memang telapak tanganku selalu
berkeringat.
Temaram lampu neon warna sephia, burung kertas yang menggantung, alunan musik, wangi
berondong jagung dan gelak tawa teman-teman pada malam perpisahan sekolah
adalah saksinya. Aku yang gelagapan saat berdiri disebelahmu sampai tidak bisa
menikmati sisa-sisa malam itu. Dengan kepala yang sedikit pusing dan keringat
dingin mulai menitik, aku memberanikan diri untuk memberikan surat itu padamu. Karena
setelah urusan sekolah usai, kita akan terpisah dengan jarak. Meskipun masih
ada teknologi yang bisa membuat kita saling terhubung, tapi itu semua rasanya
sangat membuatku tetap gelisah. Apa aku berlebihan? Maaf, tapi memang begini
adanya.
 |
Foto: Pribadi |
Aku tahu akan terjadi masa itu. Masa dimana saat
kita bertemu tidak akan ada lagi seragam putih abu-abu yang melekat di badan
kita. Aku yang dahulu selalu mengenakan sepatu selain warna hitam sampai keluar
– masuk ruang Bimbingan Konseling, aku yang menggendong ransel warna hitam,
mengikat rambut dan mengenakan jaket denim sambil asyik mengulum permen
lollipop sebelum bel masuk kelas berbunyi. Tidak hanya itu. Kau juga tidak lagi
selalu ada disampingku untuk mengajari Matematika saat jam istirahat, kau yang
kadang sinis karena lenganmu aku pukul dengan buku paket Biologi. Salah
sendiri, siapa suruh tidak mau membantuku mengerjakan PR? Serta aku yang membuatmu
jengkel saat mengganggu waktu santaimu. Ingat juga saat kita pulang sekolah bersama
karena memang arah menuju rumah yang satu arah, dua kali naik kendaraan umum
dan seperti biasa kau selalu turun dari bus lebih dulu. Namun tepat pada
tanggal 15 Oktober 2012, kau yang melambaikan tangan padaku untuk pertama
kalinya setelah dua tahun kita berteman. Aku mengerutkan kening, dan sialnya apa
yang kau lakukan itu terus terbayang olehku.
Kau ingat saat pertama kali kita berjumpa? Koridor
utama sekolah adalah saksi dimana kau dan aku bertengkar karena aku tidak
sengaja menabrak hingga kacamatamu terjatuh, bahkan sampai patah. Waktu itu
memang aku sedang bingung mencari ruang kepala sekolah. Selama satu minggu kau
kelimpungan tidak bisa belajar dengan baik. Kau marah padaku. Padahal itu awal
semester aku belajar di sekolah yang baru. Awalnya aku kira baik-baik saja, namanya
juga anak baru. Tapi ternyata tidak. Malah awal dari kejadian itu yang
membuatku selalu ingin menceritakannya berulang-ulang. Kau juga tahu kalau saat
itu aku adalah anak yang masa bodo dengan sekitar, tidak punya teman akibat
sering keluar – masuk ruang Bimbingan Konseling, bahkan namaku hampir dicatat
di buku hitam. Aku adalah hitam dan kau adalah putih. Sangat kontras.
 |
Foto: Pribadi |
Cepatlah pulang, agar aku bisa menceritakan apa yang
terjadi padaku selama ini.
Namun..
Namun untuk apa aku terus berharap padamu jika
memang nyatanya tidak akan bersatu? Ya, itu dulu. Saat aku mulai merasakannya.
Hal kecil nan bodoh yang disebut cinta. Sekarang angka pada usia kita mulai
berubah setiap satu tahun sekali. Kita semakin melihat dengan jelas dunia
nyata. Kita harus berani menghadapinya, biarkan semesta ikut campur dalam
urusan kita. Hidupku dan hidupmu sekarang sangat jelas seperti apa nampaknya.
Biarkan kisah ini ditulis kembali dan orang lain membacanya. Jika memang dirasa
ada yang sama kisahnya denganku, berpikir baik saja. Mungkin hanya kebetulan, karena
aku percaya bahwa Sang Maha Pencipta tidak tidur, Dia adalah penulis skenario
terindah, dan Maha Tahu apa yang terjadi sebelum kita mengetahuinya.
Drrrttt…
Drrrttt..
Ponselku bergetar. Tertulis di layar ponselku nomor
baru.
“Hallo?”
“Hallo, Re.. Ini
Genta. Apa kabar?”
“Genta..”
Aku terdiam, menengok kearah luar jendela disusul
hujan yang turun makin deras.
 |
Foto: Pribadi |
Kerennn
BalasHapusterima kasih :)
Hapus