Serpihan
Pertama:
KAU ADALAH
RINDU, RINDU ADALAH KAU
Rindu
merupakan ironi
Rindu
merupakan rasa sakit
Rindu
juga terkadang menjadi boomerang
Disaat kau menunggu
telepon yang berdering diatas meja, kau tergesa-gesa berlari menuju ruang tengah
untuk mengangkatnya, sambil berharap-harap cemas, itu pasti darinya.
Ketika kau dan dia
terpisah akan jarak dan waktu, kau harus menahan itu semua. Ketika pak pos
datang membawa sepucuk surat yang ditujukan untukmu, kau melebarkan senyum dan
gigi-gigimu gemerutuk karena gemas.
Ketika kau sadar, namun
kau telah menahannya, dan bahkan kau kesal, kau hanya bisa menangis sambil
memandangi potret dirinya dalam bingkai kayu bercorak nirmana berwarna merah
maroon kesukaanmu. Karena kesal, kau malah melemparnya ke dinding kamar hingga
kaca bingkai fotomu pecah, berserakan dimana-mana.
Ingat ketika bulan lalu
kau menunggunya di bandara, menanti kepulangannya namun raut wajahmu menjadi
murung karena jadwal kepulangannya di tunda. Kau hanya bisa menelan ludah kekecewaan,
memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan
sekencang-kencangnya dan diakhiri dengan senyum yang terkmbang.
Kau pulang sambil
menatap senja yang mulai terbenam. Sebelum kau beranjak pulang, kau mampir
sejenak di sebuah kafe untuk membeli milkshake.
Dan setelahnya kau pulang sambil ditemani lagu dari Passenger berjudul If
You Go, menyanyikannya dengan suara samar-samar sambil berjalan dan sekali-kali
menghentak-hentakan kakimu, menghibur dirimu sendiri.
While our love is green
We'll forget the troubles we've seen
We'll forget the people we've been
Before and all of their mistakes
and heartbreaks
And oh my love…
Tentang rindu yang
terpendam, tentang rindu yang belum terbayarkan, tentang rindu yang menyiksa,
kau menyembunyikan perihnya lewat senyum dan kembali bersemangat melalui hari
tanpa kehadirannya.
Akhirnya kau mulai
terbiasa dengan rindu. Kau terbiasa menjalani hari-hari tanpa kehadirannya. Kau
masih bisa tersenyum karena masih ada sahabat, ayah, ibu, kakak, dan adik di
sekelilingmu. Kau masih bisa tertawa lepas.
Yaa, kau terbiasa
dengan rindu.
Kau adalah rindu, dan
rindu adalah kau.
Bersamamu, kita memupuk
rindu.
Bersama hangatnya
mentari, kita masih menapak di bumi sama.
Bumi ciptaan-Nya…
Desember akhir, banyak
yang berelegi di bulan ini. Terlebih akan kehadiran senja, hujan, petrichor, dan aksara bersuara yang tak terungkap sampai
sekarang.
****
Serpihan Kedua:
Jog(JA)karta
Ketika senja di
Prambanan, kau merasakan getarannya. Kau mulai merindukan hiruk pihuknya,
panasnya ketika terik matahari, dan rindu akan banyaknya pertanyaan yang mulai
terjawab satu persatu.
Kau juga merindukan
saat-saat dimana menjelang fajar menyingsing, jalanan sudah mulai ramai oleh
lalu lalang mereka yang sibuk dengan aktivitasnya, kau tak pernah lepas dari
sajian kopi dan roti panggang buatannya. Kau mulai merindukannya.
Untuk dia yang ada di
ibu kota. Beberapa hal yang dia rindukan ialah Merapi tak pernah ingkar janji, Jogja
romantis ketika gerimis, dan temaram lampu alun-alun kidul.
Ingatlah bahwa kau dan
dia hanya terpisah akan jarak. Percayalah bahwa Jogja dan Jakarta tidak akan
pernah terpisah. Tidak akan pernah. Karena mereka selalu bersatu. JogJakarta.
Tetaplah selalu menjaga hati, dan saling mendo’akan, karena ada Dia Yang Maha
Mengetahui segala isi hati, Dia Yang Maha Pelindung, akan menjaganya dikala
hati sedang gundah, dan tentang rindu yang sedang menggebu, lampiaskanlah dalam
do’a malammu. Kau berbisik dalam sujud, namun terdengar ke langit. Memang tiada
yang tidak mungkin di dunia ini. Karena sekali lagi, ada Dia Yang Maha
Mengetahui segala isi hati setiap insan.
****
Serpihan
ke-tiga:
Surat dari Pangeran Ilalang untuk Puteri Randa Tapak
“Hai, Ran. Apa kabar?
Aku merindukanmu. Sore ini aku akan pergi ke danau. Nampaknya akan
ramai orang. Terutama anak kecil yang berkeliaran kesana kemari hanya untuk
bermain bersama ayah dan ibunya. Kau ingat bunga Dandelion yang kau tiup kala
angin berhembus? Kau nampak lucu, menggemaskan.”
Tulisnya pada selembar
kertas berwarna coklat. Nampaknya itu bekas tumpahan kopi yang sudah kering.
Ahh tak apalah, toh hanya selembar kertas.
“Kau dan Dandelion tak bisa
terpisahkan. Tidak akan. Kau pernah mengatakan padaku bahwa Dandelion mampu
hidup dimana saja. Dandelion memanglah kecil, rapuh, dan tidak mampu melawan
angin. Namun sangat hebat, kemanapun angin membawa pergi, mereka tetap
memberikan kebahagiaan di tempat dimana mereka jatuh. Dandelion sangatlah kuat,
tak pernah padam, dan tak ada orang yang tidak menyukainya ketika ia tumbuh
menghiasi ilalang yang ikut tumbuh di tengah lapang nan hijau.
Dandelion berwarna
kuning dan Dandelion berwarna putih pun tumbuh sebagai pemanis. Sama seperti
kau yang hadir di sisiku, dan orang-orang sekitarku. Kau hadir dengan penuh
semangat, ceria, kedamaian, dan tanpa ada paksaan. Dari sanalah aku mulai jatuh
cinta.”
Ujarnya dalam tulisan itu. Sejenak
ia memandang langit yang mulai berubah warna menjadi jingga.
“Randa, pulanglah.. pulanglah..
tinggal dan perbaikilah kondisi tempat tinggalmu sekarang. layaknya Dandelion
yang memberikan kebahagiaan dimanapun ia jatuh di terpa angin. Negerimu sedang
kacau, dan aku merindukanmu..”
****
Serpihan ke-empat:
Percayalah
"Hai, apa kabar?"
Ujarnya lewat keyboard yang di ketik satu persatu dengan jemarinya. Terurung niat untuk menanyakan kabar, namun apa daya jika rasa rindu yang memuncah tak terbendung mulai mendera? Kontribusinya yang tak lain hanya untuk menyiksa batin karena telah lama terbendung bak air yang tak lama lagi akan tumpah. Sayangnya tak mampu terdengar oleh ia yang nun jauh disana.
"Hai, apa kabar?"
Jari telunjuk menekan tombol bertuliskan 'delete' namun kalah berkat intervensi logika yang terus menerus mendorong hati untuk mengalah. Sambil berkata 'hai hati, akulah yang paling berkuasa atas tubuh ini!" ujar si otak.
"Kamu sehat, kan?"
Itulah akhirnya kalimat pertanyaan yang kau lontarkan untuknya. Hey, tenanglah.. Kau bukan Rangga yang canggung ketika menanyakan kabar kepada Cinta. 14 tahun tak bersua namun Cinta sekonyong-konyong mengatakan kalau Rangga itu jahat. Lantas kau berkata dalam benakmu,
"Lalu apa kau akan mengatakan hal sama layaknya si Cinta? Ku harap tidak. Percayalah, aku pergi bukan untuk meninggalkanmu. Namun aku pergi untuk memantaskan diriku sebelum perasaan ini tumbuh semakin dalam. Dan setelah waktunya tiba, aku akan kembali untukmu tanpa ada rasa ragu, kuharap begitupun sebaliknya.
Percayalah..."
 |
Gambar: Pribadi |
Komentar
Posting Komentar