Malam-malam di bulan ini tidak seindah bulan lalu.
Karena pada bulan ini, semua hal menyedihkan terjadi. Langit di sore hari yang
menangis dengan kencang, senja tak terlihat, suara burung gereja yang terdengar
samar, dan buah stroberi banyak yang membusuk padahal satu minggu lagi panen.
Menurut sumber yang pernah gue baca, para ahli
mengatakan bahwa pengertian dari badai adalah angin kencang yang datang dengan
tiba-tiba disertai cuaca buruk, memiliki kecepatan sekitar 64 – 72 knot. Dalam
satuannya, Knot merupakan satuan kecepatan yang sama dengan satu mil laut yakni
sekitar 1,151 km/jam.
Kalian pernah menonton film UP, dimana Russel dan tuan
Fredricksen melihat awan Kumolonimbus dengan jelas saat rumah sang tuan melayang
ke udara? Itulah awan yang terkadang ikut hadir saat badai menerpa. Ia datang bersama
guntur dan kilat. Semua rasanya dingin, mencekam, dan menghadirkan rasa takut.
Cerita kali ini bukan tentang bencana alam,
melainkan tentang badai yang datang di kehidupan para sahabat terbaikku. Namun raga
ini harus bisa menerimanya dengan ikhlas, selalu berhusnudzon bahwa Allah swt, dan
mulut ini yang tidak akan hentinya berdoa.
 |
Ilustrasi: Pribadi |
Sosok dalam cerita sangat membuat diri ini terkadang
iri. Namun untuk apa gue iri, bukankah iri tandanya tidak mampu? Sambil
ditemani alunan Spirited Away Theme Song,
kamar yang penuh mimpi, dan kedua tangan yang inshaa Allah kuat untuk merangkai
kata demi kata.
Sosoknya yang sangat mengayomi, keibuan, cerdas, dan
dia adalah salah satu dari sekian muslimah luar biasa yang gue kenal. Mengenalnya
di tahun 2015 akhir berkat salah satu teman, Taufiq Hidayat.
Singkat cerita, kita menuju ke perpustakaan kampus
lantai 2 untuk menemuinya terkait sponsorship untuk acara fakultas. Kurang
lebih selepas shalat dzuhur. Masih sangat ingat akan aroma ruangannya, dingin
ruangannya, dan ia yang mengenakan jilbab panjang atau yang biasa disebut syar’i berwarna cokelat. Kedua mata ini
sampai terpejam untuk mengingatnya kembali.
Menapaki anak tangga yang berkelok dari lantai satu.
Di lantai 2 perpustakaan ada 10 set komputer untuk mempermudah kebutuhan mahasiswa
mengerjakan tugas, lemari berisi jurnal, buku-buku terbitan National Geography
yang baru setiap bulannya menjadi langganan untuk dibaca, dan tempat duduk
beserta meja yang di desain khusus untuk belajar agar fokus. Semoga kelak saat kembali
mengunjungi kampus untuk melepas rasa rindu, posisinya masih bertahan.
Dialah Lina Kurniawati. Salah satu senior di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Esa Unggul, Jakarta. Sama-sama
perantauan. Gue dari kota kecil di provinsi Banten bernama Pandeglang, ia dari Semarang.
Salah satu kota yang ingin gue kunjungi setelah Solo, dan Yogyakarta.
April 2017
Menggapai mimpi untuk pergi ke Jepang sudah tertulis
sejak tahun 2013. Tidak hanya untuk menuntut ilmu, mengenal dan belajar
budayanya, namun ingin menatap dan menggenggam bunga sakura. Sangat terdengar
sepele bukan yang terakhir?
Bulan April. Pada bulan inilah bunga Sakura
bermekaran dengan indah. Akan tetapi banyak kebohongan di bulan April.
Contohnya dari kisah yang sekarang kalian baca. Entah hanya sugesti, tapi
bagaimana jika fakta tidak bisa dihindari? Air mata yang seharusnya menitik,
kalah dengan senyum yang wajib dilengkungkan oleh bibir siapapun. Jangan
membenci bulan April, apalagi sampai mengutuknya. Kita tidak bisa menghindari
itu.
Beberapa hal dari gue yang membuat Lina sempat kecewa
adalah pada hari dimana ia diwisuda. Gue tidak datang. Hanya diwakili oleh
teman-teman. Ada Iza, Vani, kak Esa, dan yang lainnya.
“Lo waktu gue wisuda kemana?”
Ucapnya sambil memasang wajah cemberut. Gue hanya
memasang muka cengar-cengir sambil mengucapkan kata maaf karena tidak bisa
hadir. Memang saat itu tugas sedang menumpuk dan mau tidak mau harus dicicil.
Ditambah dengan kesibukan diluar kampus sebagai penjual jasa gambar untuk
hadiah pernikahan, wisuda, dan ulang tahun. ‘Musim wisuda’ ibarat ladang rezeki
saat itu. Banyak orderan yang masuk, hasil penjualan bisa ditabung untuk
membeli buku dan kebutuhan sehari-hari sebagai anak kost.
Salah satu hal yang membuatku bercermin darinya
adalah rasa syukur. Dimana saat hari bahagia untuk para mahasiswa manapun,
kehadiran orang tua yang mendampingi anaknya merupakan hal terbesar. Belum
ditambah rekan-rekan terdekat yang datang sambil mengucapkan selamat sambil membawa
hadiah berupa bunga, atau yang lain.
Namun itu semua tidak dengan sosok kak Lina. Hanya
ada sosok Ayah yang sangat ia sayangi, hadir menemaninya wisuda. Hari bahagia
yang ia diimpikan bersama kedua orang tuanya, nyatanya seperti menggenggam
udara dengan tangan kosong. Ayah dan ibu bercerai sebelum hari wisuda tiba.
April 2019
Dua tahun berlalu. Sampai detik ini belum lagi
melihat matanya yang berseri sambil bercanda saat berjalan untuk membeli
camilan. Hal yang akan selalu gue ingat bersamanya adalah kita berbincang
sambil makan siang dibawah pohon rindang ditempat yang sangat strategis. Diapit
oleh gedung Holiq Raus, lapangan basket dan volly, serta disuguhi pemandangan kolam
ikan besar beserta para angsa.
Ramadhan tahun lalu kita masih berjumpa. Ia juga
nampaknya masih sehat-sehat saja. Mendekati akhir bulan April, badai datang. Di
tahun ini pula kita masih bisa bertukar pikiran seperti biasanya di waktu
senggang meskipun lagi-lagi hanya via media sosial.
Gue mendapat kabar yang amat sangat tidak
mengenakkan. Tumor Mamae Sinistra
atau biasa dikenal dengan tumor payudara sebelah kiri mulai menggerogoti. Tidak
hanya satu, mereka main keroyokan. Rasa sakit yang diderita sudah 3 bulan
lamanya dan dia sama sekali tidak sadar kalau selama ini tumor sedang
menyerangnya. Namun entah mengapa dari isi percakapan kami, kak Lina sama
sekali tidak menunjukkan ia sedih. Melainkan candaan yang bikin gue kesal
sendiri. Memandang bukti tumor (gambar) yang ia kirim, gue hanya bisa diam, duduk
sambil memandang layar monitor notebook.
Air mata masih belum bisa menitik, yang ada hanya rasa kesal, marah, dan MARAH.
Marah pada diri sendiri karena enggak ada
disampingnya disaat seperti itu, marah pada kak Lina karena ia baru berobat ke
dokter, dan marah pada kenyataan karena sosok yang di mata gue baik, kenapa
bisa diberikan cobaan yang begitu pahit? Badai yang satu ini buat gue bukan
badai pertama. Namun kedua, ketiga, bahkan lebih dari yang selama ini kak Lina
alami.
Gue langsung menghubungi salah satu sahabat yang
lain, saat ini ia sedang menjalankan koas di salah satu Rumah Sakit di kota
Pati, Jawa Tengah. Namanya Siti Suryani (red: Cete), dan memang benar adanya. Cete
bilang kalau itu benar tumor. Gue cuma bisa mengucapkan istighfar
berulang-ulang kali. Mau menangis pun rasanya saat itu enggak bisa, tapi dada
gue rasanya sesak. Amat sangat sesak!
 |
Foto: Lina K |
Seketika pula kak Lina bilang kalau operasi akan
dilaksanakan pada Rabu, 8 Mei 2019. Gue khawatir enggak ada yang temani dia
operasi. Tapi Alhamdulillah, sosok Lina Kurniawati selalu dikelilingi oleh
orang-orang baik. Satu sahabat terbaik gue ketika kuliah, Vani Oktaviani hadir
mendampingi sosoknya dari awal operasi, hingga pasca operasi. Terimakasih
banyak, van.
Gue mengira kalau badai yang sedang melanda sudah reda.
Tapi nyatanya, belum usai. Kali ini bukan dari kak Lina, melainkan dari kak
Rekha. Ayahnya meninggal dunia tepat di hari kak Lina melaksanakan operasi.
Rabu, 8 Mei 2019 pukul 10:30 WIB.
Gue mengira badai akan usai, tapi nyatanya
kebohongan di bulan April memang ada, bukan? Badai masih berlanjut.
Badai Pasti
Berlalu
Tunggu! Gue salah. Kebohongan dan perkiraan adalah
dua hal yang sangat berbeda. Kebohongan adalah dimana kalian sudah berucap
namun tidak sesuai dengan kenyataan. Sedangkan perkiraan adalah suatu hal yang
kalian lihat pada saat ini saja, namun belum tentu di akhir perkiraan tersebut
hasilnya sama dengan diawal. Semua masih bisa berubah. Tidak ada kata reda jika
tidak ada hujan, dan hujan pasti akan reda. Kesempatan kedua memanglah ada.
Namun kesempatan kedua hanya ada untuk mereka yang mau berusaha dan mau
melakukan perubahan agar menjadi lebih baik.
Lewat kak Lina yang saat ini dan seterusnya harus
berjuang melawan tumor dan kak Rekha yang ditinggal pergi oleh Ayah tercinta, gue
percaya bahwa Allah Maha Berkehendak, Maha Penyayang, Maha Mendengar.
Allah berkehendak memberikan dan mengambil apapun dari
makhluk-Nya dimuka bumi. Saat ini kita sehat, namun belum tentu esok atau lusa
kita masih bisa diberikan kesehatan. Saat ini kita bisa bercengkerama dengan
orang-orang yang kita sayangi, namun belum tentu esok atau lusa kita masih bisa
bersama mereka. Allah ingin kita mengingat bahwa tiap-tiap yang bernapas, pasti
akan merasakan mati. Allah tahu apa yang kita rasakan, dan kita butuhkan,
sekalipun itu hanya bersuara di dalam hati bahkan saat kita bersujud. Jika kita
bertanya seberapa dekat Allah dengan kita, maka jawabannya adalah Allah sangat
dekat bahkan lebih dekat dari urat nadi kita. Terakhir, Allah sangat sayang
kepada makhluk-Nya. Apa yang kita minta, Allah akan beri. Bahkan sebelum kita
minta, dengan kehendak-Nya kita akan mendapatkan apa yang dimau.
Mei 2019
Paca operasi, gue langsung telpon kak Lina. Awalnya menolak untuk video call, tapi setelah gue bujuk, akhirnya mau. Tapi sayang, ia sengaja memadamkan lampu kamarnya dengan alasan 'disini panas'. It's okay kak, Lin. Baru pada saat gue hubungi dia, air mata ini menitik perlahan karena gue masih bisa mendengar suara tawa setelah ia mengeluh sakit. Sampai pada akhirnya Lama-kelamaan gue menangis sejadi-jadinya dan terucap dari mulutnya...
"Hey, mau video call jangan nangis! Juara Taekwondo masa' nangis? Hahaha."
Dia masih bisa tertawa saat gue menangis karena enggak ada disampingnya dari awal operasi, sampai sekarang.
Gue ingin mengucapkan terimakasih kepada tuan Fujiko
F. Fujio karena sudah menghadirkan karakter animasi yang sangat mendunia,
Doraemon. Gue sangat menyukai kejutan yang bahagia. Sama seperti sekarang. Pada bulan lalu gue mendapat
kejutan yang membuat semua teman-teman yang mengenal sosok Lina sangat terkejut
bahkan sedih, kali ini gue dapat kejutan yang bikin gue lagi-lagi sadar bahwa
Allah Maha Berkehendak.
Gue dan kak Lina sama-sama suka menulis, dan
sama-sama memiliki impian membuat buku. Ia sangat ingin tulisannya terbit dan
dibukukan. Alhamdulillah, impiannya menjadi kenyataan. Tulisannya terbit pada
satu buku antologi Temannulis.id berjudul ‘Catatan Hijrah’ dan semoga bisa menjadi salah satu obat untuknya
dari penyakit yang sedang ia derita saat ini. Tidak hanya itu, lewat tulisannya
pula gue akan selalu mengingatnya sebagai sosok motivator yang karyanya bisa
dibaca oleh khalayak luas.
H-5 Idul Fitri
2019
Saat ini kau tertawa, namun esok kau bisa saja
menangis. Kau saat ini bisa menikmati lezatnya puding dan es krim cokelat
bersamanya, namun esok kau bisa saja melihatnya sedang berjalan sambil
bergandengan tangan dengan pria lain. Begitupun sebaliknya. Alam raya memang
suka bercanda.
Biarkan badai menjadi warna dan cerita dalam
komposisi kehidupan ini. Salah satunya adalah bagaimana kita bisa bertahan
dalam badai. Kejutan akan selalu ada. Selagi kita tahu kemana kaki akan
melangkah, selalu percaya bahwa akan hadir pelangi setelahnya, dan bisa move on dari rumah yang telah hancur
akibat badai.
Cepat sembuh, kak. Doa dariku akan selalu menemani
setiap langkahmu.
Pandeglang, 30 Mei 2019
_Pinut
Komentar
Posting Komentar