Pandeglang, 09
Agustus 2019
10:00 AM
Selamat pagi menjelang siang bulan Agustus!
Hahhhh!
Cerita ini mungkin basi, namun tidak buatku. Karena
aku yakin, ini akan menjadi salah satu dokumentasi terbaik untuk keturunanku
kelak. Hehehe, mikirnya kejauhan!
15 Juni 2019
Tepat di tanggal ini, bersama 3 kawan melakukan kegiatan
yang biasanya disebut sebagai ‘Tadabur Alam’.
Menyusuri jalan yang ditambah dengan cuaca cukup
panas, melewati pasar untuk mencari mobil ibu Lia parkir. Oh iya, aku berjumpa
dengan mereka di stasiun Rangkasbitung. Tapi sayangnya bukan pas di depan
stasiun, melainkan di…
“Ke gedung tinggi, lewatin kios buah. Terus aja,
mobilnya dekat truk sampah.” ujar pria gempal berkacamata bernama Irwan di
seberang telpon. Tidak habis pikir kenapa parkir dekat truk sampah?
Tidak
berpikir panjang, jawabku singkat ‘oke!’
Aku masa bodo dengan kondisi sebelah kanan dan kiri
yang sumpek dan bau pasar, yang
penting posisi mobil ibu Lia cepat ditemukan. Tidak sampai lima menit, aku
melihat dari kejauhan sosok pria gempal yang aku sebutkan tadi melambaikan
tangan. Segera aku masuk kedalam mobil, duduk diapit kedua perempuan yang tidak
asing buatku.
Aku bertemu dengan 3 kawan yang juga satu profesi.
Ada teteh Rai, ibu Lia, dan kak Irwan. Plus dua orang tambahan yang juga rekan
kerja ibu Lia yakni kak Sam, dan kak Yusuf.
“Hmmm, Fina bau pasar!”
Aku cuma bisa nyengir
mendengar ucapan mereka yang berkali-kali mengatakan demikian. Tujuan kami
adalah mengunjungi suku Baduy Luar. Desa Ciboleger, kabupaten Lebak,
Rangkasbitung.
“Ada yang sudah pernah ke Baduy?”
Tanya ibu Lia, sontak aku menjawab sudah.
“Sudah, bu. Baduy Luar tapi.”
“Kita bawa bahan makanan apa, nih?”
Aku menjawab dengan santai sambil memainkan ponsel
“Ikan asin aja, bu. Atau yaa mie instan.”
Sayangnya aku pangling dengan jalanan yang dilewati.
Kalau sewaktu SMP jalanan masih banyak bebatuan, sekarang sudah dibenahi. Aspal
yang mulus, namun harus tetap berhati-hati karena jalanan yang menanjak dan banyak
tikungan tajam. 30 menit perjalanan dari Rangkasbitung, kami sampai di kampung
Simpang. Bisa di katakan bahwa kampung Simpang ini merupakan pintu gerbang desa
Ciboleger. Kak Sam memarkir mobil di sebuah rumah yang juga sekaligus rumah
makan tradisional. Tempat duduknya saja masih terbuat dari papan dan bambu atau
yang biasa disebut bale.
“Kita istirahat dulu, makan, terus shalat Dzuhur.
Habis itu baru lanjut.”
Akibat banyak jalan yang menikung tadi, perutku
terasa mual. Mengingat juga pagi harinya aku baru mengunyah satu buah bakwan
dan meneguk teh manis hangat. Sontak aku lihat sekeliling mencari warung, siapa
tahu ada yang menjual obat pereda mual. Aku rasa kalian tidak asing dengan obat
tersebut.
Aku lupa pemilik warung makan tersebut, yang hanya
aku ingat adalah sepasang suami istri yang kelihatannya sudah berusia kepala
enam, serta seorang perempuan yang nampaknya seusia denganku. Kepala dua.
Pemilik rumah makan itu juga bilang, kalau setiap orang yang ingin mengunjungi
Baduy, pasti mampir terlebih dulu untuk istirahat. Kebetulan juga disebelahnya
ada masjid.
Setelah memberi makan naga di dalam perut dan
melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim, kami melanjutkan perjalanan. Sedih!
Karena ponselku tidak mendapat sinyal, terlebih lagi ponselku baterainya mulai lemah.
Lebih sedih lagi ketika masuk ke pintu gerbang desa Ciboleger yang masuk
kedalam kampung Baduy luar, ponselku mati. Beruntunglah karena aku membawa
pacar setiaku, Canon 550D. Aku sadar bahwa di era yang butuh percepatan seperti
sekarang, power bank sangat penting!
“Eh kita beli makanan dulu, sekaligus perlengkapan
lain.”
Kebetulan disana ada mini market, kami membeli
kebutuhan logistik dan yang lainnya. Kak Yusuf bilang, sebaiknya kita ikut
dengan rombongan salah satu temannya yang juga menjadi pemandu wisata ke
kampung Baduy. Kebetulan tujuan mereka adalah kampung Baduy Dalam. Tunggu,
Baduy Dalam? Tujuan kami hanya sampai ke Baduy Luar, perbatasan. Bukan sampai
kampung Cibeo, Baduy Dalam. Lalu?
Sebuah kejutan yang sangat amat tidak di duga, namun
entah kenapa hanya aku yang bersemangat diantara yang lain mengingat aku belum
pernah ke Baduy Dalam. Akan tetapi perlengkapanku sangat kurang, aku bisa
dibilang ‘modal nekat’ jika pergi ke kampung Cibeo karena tidak membawa sleeping bag atau tambahan baju hangat.
Akhirnya setelah bermusyawarah untuk mencapai sebuah mufakat, dengan mengucapkan
Basmallah kita berlima sepakat untuk ikut rombongan para wisatawan yang dipandu
oleh teman-teman kak Yusuf. Dialah kak Fajri, dan kak Deden. Lumayan banyak
yang ikut, terlebih mereka semua dari luar kota. Tangerang dan Jakarta lebih
tepatnya.
 |
Gambar: Pribadi |
Setelah berkumpul, berdoa dan berfoto bersama di
tugu istimewa desa Ciboleger, kami memasuki pintu gerbang desa Baduy Luar.
Senyum ramah dari warganya, akan selalu aku ingat.
Kita berfoto kembali di tugu selamat datang, dan
ternyata sudah ada bantuan listrik dari PLN untuk warga desa Baduy Luar. Baduy
luar memang masih menerima kultur dari luar. Masih menerima kehadiran teknologi
dalam kehidupannya dan semoga bisa memanfaatkannya dengan baik. Kami menyusuri
jalanan yang mulai menanjak dan sedikit berbatu. Kemudian…
“Baru jalan segini, kok gue engap yah?”
Ucap kak Irwan sambil tertawa. Aku tidak begitu
menggubris ocehannya, hanya terus berjalan dan memotret hingga sampailah kami
di satu rumah salah satu pasutri muda suku Baduy Luar. Sang suami yang sedang
memainkan alat musik bernama Telempong, dan sang istri yang sedang menenun
kain. Memang tidak bisa dibohongi kalau sebenarnya mereka punya pesona
tersendiri. Aku berani berkata jujur, bahwa pria suku Baduy memang tampan.
Begitu juga dengan wanitanya yang memiliki paras cantik nan eksotis.

 |
Gambar: Pribadi |
Waktu terus berlalu, banyak jalanan menanjak yang
membuat para wisatawan satu rombonganku merasa kakinya kesakitan. Ternyata beberapa
diantara mereka adalah para pendaki pemula. Aku memakluminya jika baru beberapa
meter berjalan, mereka banyak yang
berhenti. Ekspetasiku saat menyusuri jalan setapak yang menanjak dan menurun
adalah keasrian alamnya, namun pada realitanya masih ada saja wisatawan yang
membuang sampah sembarangan. Padahal amat disayangkan bukan? Alam yang
seharusnya dijaga, malah dirusak oleh keegoisan dalam diri!
 |
Gambar: Pribadi |
Sampailah kami di perbatasan antara suku Baduy Luar
dan Baduy Dalam. Dimana seluruh alat elektronik ada baiknya kita non-aktifkan sebagai
tanda menghormati dan mentaati aturan. Bagi kalian yang suatu saat ingin
mengunjungi desa Cibeo (salah satu kampung Baduy Dalam), ada baiknya ikuti
peraturan. Karena peraturan ada bukan untuk dilanggar!
Kita berangkat dari desa Ciboleger kurang lebih
pukul 13:45 wib. Menurut kak Fajri kita bisa cepat bisa sampai tujuan pukul
17:00 wib. minimal 30 menit sebelum maghrib. Akan tetapi namanya juga banyak
pendaki pemula, saling menunggu satu sama lain yang membuat perjalanan sedikit
terhambat. Tepat pukul 15:00 wib, aku dan rombongan sampai di salah satu gubuk
dimana ada beberapa anak usia sekolah dasar sedang menjajakan air mineral, dan
minuman isotonik lain.
“Berapaan ini?” tanya ibu Lia sambil memandang
anak-anak tersebut. Salah satu dari mereka menjawab “Tiga ribuan.” Sontak ibu
Lia memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah. Satu botol air mineral berisi
600 ml diserahkan, dan anak itu nampak bingung berapa jumlah uang yang harus
dikembalikan. Aku mengerut kening sambil mengambil air mineral tersebut.
“Kembaliannya belum ya, kok diam?”
Mereka malu-malu sambil bertatapan satu sama lain.
“Bisa enggak?” ibu Lia kembali bertanya pada mereka.
“Uangnya sepuluh ribu, ini harganya tiga ribu.
Kembaliannya berapa?”
Mereka makin diam sambil tersenyum malu. Ibu Lia
paham dengan kondisi anak-anak itu. Dengan pelan, ibu Lia mengambil lembaran
uang lima ribu dan dua ribu rupiah dari genggaman tangan anak tersebut. Seraya
berkata…
“Hati-hati ya, takutnya kalian di tipu. Kembaliannya
tujuh ribu, ini uang lima ribu, kalau yang ini uang dua ribu.”
Mereka mengangguk sambil mengucapkan terimakasih.
Apa yang kalian pikirkan tentang anak-anak tersebut?
****
Perjalanan kami belum sampai juga, padahal sudah
empat jam lamanya kita menyusuri hutan dan jalan setapak yang menanjak. Napasku
mulai terengah-engah. Sudah lama aku tidak naik gunung, dan salahnya pula aku
tidak mempersiapkan fisik dengan baik. Untung saja penyakit maag tidak kambuh,
kalau kambuh bisa saja aku merepotkan orang lain. Itu adalah hal yang paling
aku hindari.
“Kita istirahat dulu, yuk.”
Ucap kak Sam yang berjalan paling depan bersama
dengan satu warga Cibeo yang menemani perjalanan kami. Kami berhenti di salah
satu gubuk dengan banyak kayu bakar. Aku melepas tas kamera yang aku gantung
dipundak kanan. Mulai terasa pegal, aku merapikan isi dari dalam daypack dengan niat kamera dimasukkan
saja kedalam bersama tasnya. Aku melepas tali dan menaruhnya disamping tempatku
duduk. Gemuruh petir mulai berdendang, disusul dengan gerimis yang mulai turun.
Lama-lama hujan yang tidak terlalu deras. Oke, kita meneduh untuk beberapa
menit sampai hujan benar-benar reda.
Sambil meneguk air mineral, aku berpikir bahwa ada
satu hal yang harus diakui dalam diri. Aku yang kurang bersyukur. Aku kurang
bersyukur karena selama ini aku masih belum bisa disiplin dan mengerjakan
sesuatu dengan baik. Satu musuh terbesarku adalah MALAS!
Perjalanan dilanjut, suguhan pemandangan disebelah
kanan dan kiri yang menyejukkan mata setelah hujan dan aroma pretichor yang kuat
membuat syahdu suasana perjalananku dan kawan-kawan menuju kampung Cibeo. Kami
yang menyusuri jalan setapak di dalam hutan, mulai merasakan cahaya matahari di
sela-sela pohon mulai samar. Berangsur-angsur berubah menjadi hitam gelap
warnanya. Jalanan becek berlumpur kita lewati sambil meraba-raba batang pohon
di sisi kanan dan kiri. Tidak lupa dengan kaki yang mencoba menapaki jalanan
berbatu, khawatir batu yang kita pijak tidak kuat menahan beban tubuh
masing-masing dan membuat salah satu dari kami jatuh. Tidak hanya bebatuan,
namun rumput juga. Aku kira rumput yang aku injak kuat, mampu menahanku di
jalan yang licin ini. Akhirnya aku ada cerita terjatuh di perjalanan menuju
desa Ciboleger.
Sreeseekkk..
brug!! Aww!
Semua mata dan nyala senter menuju kearahku. Aku
sedikit berteriak karena kaki kiri dan pinggulku seluruhnya menyentuh tanah,
sedangkan kaki kananku jongkok, menahan agar seluruh badan tidak jatuh
terlentang. Terlebih kepala, mengingat juga saat itu aku melihat dibelakangku
ada batu. Sekali lagi, akhirnya aku ada cerita terjatuh di perjalanan menuju
desa Ciboleger.
“Makanya jangan suka heboh sendiri, ayo bangun!”
Ucap kak Irwan
yang mengulurkan tangannya untukku. Hahahaha.
****
Lima belas menit setelah berjalan dari tempat
kejadian perkara, akhirnya kami sampai di kampung Ciboleger. Semuanya gelap
gulita, hanya ada nyala obor dan nyala senter yang ternyata masih bisa di
toleransi. Padahal kami semua tahu bahwa tidak boleh menyalakan benda
elektronik. Rumah bagi pengunjung perempuan dan laki-laki di pisah. Aku dan
rombongan lain menuju ke satu rumah penduduk asli, namanya kalau tidak salah
kang Samin beserta sang istri. Begitu sampai, masing-masing dari kami bergegas
membersihkan badan terutama aku yang sehabis jatuh. Sialnya, aku tidak membawa
celana panjang untuk tidur. Namun aku sangat beruntung. Celana jeans hitam
pemberian ibuku ini ternyata bahannya cepat kering. Setelah aku bersihkan dengan
air bagian yang terkena tanah, hanya dalam kurun waktu 10 menit bisa kering
seperti semula. Akhirnya aku bisa melaksanakan ibadah shalat Maghrib dan Isya
dengan tenang dan Inshaa Allah sah.
Aku berkenalan dengan banyak orang dalam
rombonganku, diantaranya ada mbak Nia, Ayu, mbak Novi, dan Aas. Mereka semua
asal kota Jakarta dengan latar belakang mahasiswi dan karyawati. Diantara
mereka ada yang sudah sering naik – turun gunung, ada juga yang pemula. Obrolan
kami semakin hangat setelah disuguhi makanan dari pemilik rumah. Nasi ketan
hitam, ubi jalar, dan singkong rebus.
“Punten,
lima menit lagi kalian ikut yah. Kita mau ngobrol
bareng Jaro.”
Kita semua, penunggu “asrama putri” saling menatap
satu sama lain dan sudah saling tahu pertanyaan dari dalam kepala kami
masing-masing. ‘Jaro?’
“Jaro itu kepala desa.”
“Ooohhhhh.”
****
Kami berjalan masuk ke sebuah rumah yang tidak jauh
dari tempat kami masing-masing menumpang tidur. Dengan sedikit tergesa karena
lagi-lagi hujan turun, sandal dan sepatu dinaikkan keatas rumah panggung yang
hanya ada satu pintu. Satu-persatu dari kami masuk kedalam ruangan. Ruang
tersebut hanya diterangi nyala pelita yang bertengger pada dinding berbahan
dasar anyaman bambu. Kami bersalaman dengan pria bertubuh kurus berbaju putih
dan kepala yang juga diikat dengan kain putih. Sangat tidak asing buatku dengan
pakaian yang pernah aku lihat di buku paket pelajaran IPS sewaktu duduk
dibangku SD kelas tiga.
Pria itu nampaknya sudah menginjak usia kepala lima.
Pria itu menghisap rokok yang nampaknya seperti rokok Klobot, dijepit oleh jari
telunjuk dan ibu jarinya sambil mengangguk-anggukan kepala setelah kami selesai
bersalaman dengannya. Sosoknya menjadi panutan warga desa, ramah, santai,
terbuka, dan membuka mata dan pikiranku tentang untuk apa dan apa tugas kita
menjadi ‘Manusia’? Pria itu bernama Sami. Biasa dipanggil Jaro Sami.
Salah satu kawan kak Fajri membuka acara pertemuan
kami sebagai tamu di kampung Cibeo. Mukadimah yang sederhana dan menyejukkan.
Jaro Sami tidak berbasa-basi. Obrolan kami tidak lain dan tidak bukan hanya
seputar pertanyaan ‘apakah benar warga suku Baduy kalau bepergian tidak
menggunakan kendaraan?’ ‘mengapa suku baduy tidak pernah mengenakan alas kaki?’
atau ‘mengapa rumah suku Baduy Dalam tidak menggunakan bahan-bahan bangunan
seperti batu, pasir, semen, dan menyambung tiang dengan paku, hanya diikat oleh
seutas tali?’ atau yang menarik perhatian kami adalah jawaban dari pertanyaan
seputar pendidikan anak-anak suku Baduy Dalam.
Ada alasan mengapa anak-anak suku Baduy Dalam tidak
mengikuti pendidikan formal seperti anak-anak pada umumnya. Anak-anak mereka
tidak disekolahkan bukan berarti kedua orang tua tidak punya biaya, namun ada
hal lain yang mungkin bagi kalian yang membaca ini mengerutkan kening,
terbata-bata untuk berucap, atau bahkan
mendadak bisu. Mereka tidak mau anak-anak yang mereka sekolahkan nantinya
‘membuat pintar orang lain (sarkas)’ jadi cukuplah pendidikan informal di
rumah. Anak perempuan diajarkan memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah oleh
ibunya, dan anak laki-laki diajari cara bercocok tanam, mengenal tumbuhan dan
hewan. Namun bagi masyarakat suku Baduy Luar, mereka menyekolahkan anak-anak
mereka. Terbukti dengan adanya bangunan Sekolah Dasar disaat awal kami masuk
kampung Baduy Luar.
Selain itu, ada lagi obrolan yang menarik bagi kami.
Hukum adat pernikahan muda mudi suku Baduy Dalam. Mereka semua menikah karena
dijodohkan, dan setelah menikah mereka tidak boleh bercerai. Sekali lagi, tidak
boleh bercerai! Tidak hanya itu, bagi warga suku Baduy Dalam jika menikah
dengan pria/wanita dari luar atau dalam artian bukan warga Suku Baduy Dalam,
mereka tidak lagi dianggap sebagai warga asli kampung halamannya alias di
Deportasi. Bagi kalian yang membaca, pasti ada pemikiran seperti ini: Sudah dijodohkan, pakai ngatur pula!
Hehehe.
Ada pula pertanyaan yang terlontar dari satu orang
perempuan yakni ‘agama apa yang mereka anut?’
Ternyata mereka masih menganut kepercayaan Animisme.
Agama Sunda Wiwitan atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah
leluhur yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Dalam berpolitik juga
mereka tidak mengikuti yang namanya Pemilu. “Yaa kita mah mengikut saja pemerintahnya siapa, yang memimpinnya siapa.”
ucap Jaro Sami dengan pelafalan bahasa Sunda. Dari segala pertanyaan yang
dilontarkan, aku merangkumnya dalam pikiranku seperti ini “Mengapa warga suku
Baduy melakukan semua itu?” Dan jawaban dari Jaro cukup juga terangkum seperti…
“Kami hanya mentaati aturan yang sudah ada sejak nenek moyang.” I see..
Satu jam sudah aku dan teman-teman satu atap
berbincang dengan tokoh adat. Begitu kembali ke rumah singgah, aku melihat ibu
Lia dan teteh Resti sudah terlelap. Nampaknya mereka sudah kelelahan dengan
berjalan kaki selama lima jam. Aku mengambil mukena, jaket, dan kaus kaki dari
dalam daypack seraya mengenakannya.
Baru beberapa menit memejamkan mata, aku terbangun. Pinggul, paha, betis sampai
mata kaki sebelah kiri baru terasa sangat sakit. Aku mengambil minyak kayu
putih dan mengusapkannya di area betis. Meskipun panas, tidak mengapa. Toh juga
cuaca dingin sangat menusuk sampai tulang. Resti sampai menggigil dan bilang
‘Fin, aku kedinginan.’ Alhasil aku menggosok kedua tanganku dan membalur
kakinya dengan minyak kayu putih. Tidak lupa dengan memakaikannya kaus kaki
milikku. Di saat merasakan sakit dan dingin, aku teringat sesuatu. Saat
perjalanan, tidak, bukan saat perjalanan. Melainkan saat rehat sejenak di
sebuah gubuk saat aku memasukkan kamera kedalam tas dan aku melepas tali tas
kameraku.
Naas, tali tas kamera kesayanganku tertinggal. Aku
tidak bisa tidur selama beberapa menit, sedikit gelisah sambil menahan sakit
dan terus menggerutu dalam hati.
Sosok disebelahku yang tadinya mulai tertidur,
kembali terbangun karena melihatku berkali-kali duduk dan kembali berbaring
seraya memijit dengkul.
“Kenapa, fin?”
“Tali tas kamera ketinggalan, teh. Di gubuk yang pas
di jalan kita istirahat, pas aku buka tali tas kameranya.”
Entah karena kantuk berat, ia hanya menjawab ‘hmmm’
dan kembali terlelap. Aku putuskan untuk mengikhlaskannya, dan semoga diberikan
rezeki yang cukup untuk membeli yang baru. Nyatanya tidak, mataku kembali
terjaga sambil berkata dalam hati..
‘Kan masih ada tali tas notebook, masih bisa digunakan.’ dan setelah bergumam dan
menggerutu akibat kecerobohan sendiri, aku terlelap.
****
16 Juni 2019
@01:00 AM
Kalian tahu lagu yang dilantunkan oleh Jessie J,
Ariana Grande, dan Nicky Minaj? Lagu yang amat sangat cocok untuk dinyanyikan
saat konser di stadion Gelora Bung Karno dengan gemerlap lampu dan tata
panggung yang sangat megah. Lagu itu tidak sengaja diputar dengan sangat volume
yang cukup keras oleh notifikasi alarm ponsel milik Resti, memecah keheningan
dini hari dan dingin yang berhasil menembus mukena dan jaket yang aku kenakan
sebagai pengganti selimut. Perempuan yang tidur disebelahku itu langsung
buru-buru bangun dari lelapnya dan merogoh isi tasnya. Nampaknya ia lupa untuk
me-nonaktif-kan alarm. Terdengar seseorang yang posisi tidurnya dibelakangku
berkata ‘Dusun!’ yang dalam bahasa
Jawa dan Sunda artinya tidak sopan. Semoga suaranya tidak terdengar sampai
keluar rumah karena saking heningnya. Untung saja sang pemilik rumah tidak marah
dan seraya mengusir kami. Seharusnya pada part ini tidak dibuka dengan cerita
kejadian dini hari yang mungkin cukup membuat jantung Resti berdegup saat itu.
Tapi jika diingat lagi, membuatku ingin tertawa jahat. Hahahah!
Tidak ada kumandang adzan yang saling bersahutan
dari mushala atau masjid seperti di rumah, yang ada hanyalah suara dari
teman-teman yang berusaha untuk bangkit dari tidur dan mencoba membangunkan
satu sama lain seraya mengajak untuk melaksanakan ibadah shalat subuh. Begitu
pula dengan aku yang terbangun karena suara dari teman-teman. Kaki sebelah kiri
yang terasa nyeri semalaman akhirnya mereda. Aku membangunkan Resti dan ibu Lia
pelan-pelan. Kami bertiga menuju tempat wudhu atau yang biasa disebut
‘Pancuran’ oleh warga sekitar. Suhu dingin makin menjadi, sampai-sampai keluar
asap dari mulut.
Mentari muncul pukul enam lewat tiga puluh menit.
Aku duduk di teras panggung rumah sambil mengayun-ayunkan kaki. Sayangnya aku
tidak membawa buku agenda kesayangan saat itu. Semuanya hanya bisa aku ingat di
ruang dalam otak. Ingat akan satu hal dalam benak saat itu. Terdapat satu
wilayah yang dimana sangat dekat dengan rumah singgahku dan kawan-kawan
tinggali, wilayah itu dibatasi dengan dua batang bambu. Kak Fajri bilang, kita
tidak boleh melintas atau masuk ke wilayah tersebut selain warga asli suku
Baduy Dalam. Sayangnya, aku tidak boleh menyalakan benda elektronik untuk
memotret perbatasan wilayah tersebut. Padahal sangat jelas, dan sangat dekat.
Wilayah yang dilarang itu hanya tersimpan dalam memori jangka panjang sampai
detik ini. Teringat saat pagi hari setelah aku mandi di sungai dan melintasi
bambu perbatasan wilayah itu, ada seorang anak berbaju putih dan mengenakan
kain hitam yang panjangnya sampai lutut melompati kedua bambu yang menghalangi
jalannya.
“Fin, keliling yuk. Sekalian aku mau cuci muka dan
gosok gigi.”
Ucap mbak Novi. Sosok pertama yang aku ajak kenalan saat
bertemu di gerbang desa Ciboleger. Aku mengangguk dan segera mengambil sandal.
Oh iya, aku baru ingat kalau belum membayar ikat kepala yang aku beli dari
pemilik rumah. Kain tenun etnik yang sangat menarik. Harganya juga murah, Rp
15.000,00,-. Aku kenakan di kepala sebagai “hiasan”, tentunya saat nanti pulang
ke rumah Papaku akan bertanya “Kamu beli itu terus dipakai di kepala fungsinya
biar apa?” Hahahaha.
Kami menuju
sungai yang ternyata cukup ramai dengan para ibu-ibu dan anak perempuannya
sedang mandi dan mencuci tanpa menggunakan sabun. Entah karena memiliki teknik
mencuci yang baik dan benar sehingga pakaian tetap bersih, atau memang… Ahh
sudahlah. Intinya begitu. Kalau kalian tidak percaya silahkan saja kesana.
“Fin, dingin!”
Aku tertawa sambil menatap hembusan asap yang keluar
dari mulutnya. Saat-saat seperti itu membuatku rindu akan puncak Gunung Salak 8
tahun lalu. Kami berkeliling dan saling bertegur sapa dengan anak-anak kecil
desa Baduy Dalam. Desa yang tidak terlalu ramai seperti komplek, namun
masyarakatnya tetap Guyub.
Duk.. Duk..
Duk..
Aku mencari sumber suara itu. Sepertinya aku kenal,
oohhh aku ingat! Itu adalah suara Lesung. Para ibu dan remaja perempuan desa
Baduy Dalam sedang menumbuk padi bersama-sama di satu tempat yang letaknya
tidak jauh dari sungai tempatku dan Novi membersihkan badan. Sepertinya akan
ada perayaan. Memang benar. Kak Fajri bilang lusa akan ada pernikahan.
Sayangnya hari itu aku dan yang lain harus kembali pulang.
Tepat pukul 08:00 WIB, kami berkumpul di depan rumah
singgah. Berdoa dan menyuarakan yel-yel agar kembali bersemangat melewati
tanjakan, jalan berbatu dan jalan yang berlumpur, serta bernapas lega saat
menemukan aliran air yang sangat jernih. Kami berpamitan dengan istri pemilik
rumah, serta masyarakat lain.
10:00 WIB
Kami sampai di tanjakan yang entah sudah keberapa
belas. Tidak ada pikiran untuk menghitung, yang ada hanyalah mengatur napas
sebaik mungkin dan kembali menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh seperti
kemarin sore. Namun yang masih aku ingat saat itu, aku menemukan aliran air
yang menurut teman-teman bisa diminum, aku menaruh kayu yang aku jadikan
tongkat dan menadah tanganku diatas air yang mengalir dari sebatang bambu,
seraya mengusapnya ke wajah dan pergelangan tangan. Sangat menyegarkan.
“Teman-teman, kita break dulu!”
Ujar kak Deden dari barisan paling depan. Aku duduk
di sebuah batang pohon yang sudah ditebang. Aku memperhatikan batang pohon yang
aku duduki, mulai muncul tunas-tunas baru. Aku juga memperhatikan sesosok
pemuda suku asli Baduy Dalam yang perlahan mendekatiku dan rombongan. Tidak
lama kemudian, salah satu dari kami membuka percakapan dengannya. Usianya masih
muda, enam belas tahun. Sial, aku lupa namanya. Namun ada hal yang sangat
menarik dari obrolan kami. Ia menceritakan tentang pengalamannya yang pernah ke
kota hanya dengan berjalan kaki selama tiga hari tiga malam.
“Kenapa pengen
ke kota?”
“Yaa mau lihat aja, teh. Kota kayak gimana.”
“Kota mana aja yang udah pernah didatangi?”
“Jakarta.”
****
Ada kata-kata
dan pemikiran yang lewat di dalam kepalaku. Mereka yang amat sangat mematuhi
aturan secara turun temurun dari nenek moyang juga ingin mengetahui seperti apa
kota besar yang sering jadi buah bibir. Kendati demikian, mereka juga tetap mematuhi aturan dengan tidak naik kendaraan
umum. Aku baru ingat. Ada hal yang menarik saat aku dan kawan-kawan mengobrol
dengan Jaro Sami. Pernah terjadi suatu peristiwa yang menimpa salah satu warga
desa mereka. Dimana orang tersebut naik kendaraan umum saat bepergian. Hal yang
terjadi adalah ia terkena ‘kutukan’. Orang yang diceritakan tersebut saat
pulang ke rumahnya sangat takut dan amat sangat gelisah setelah melanggar
peraturan.
Oke, ini terdengar mengerikan dan membuat kalian
mengangkat atau mengerutkan alis namun aku mencoba berpikir menggunakan akal
sehat. Aku memiliki opini seperti ini: Seseorang yang berasal dari suku Baduy
Dalam yang kesehariannya sangat menolak kehadiran teknologi dan kemajuan, tetap
saja dinamakan manusia ciptaan Tuhan. Buatku rasanya itu merupakan hal lumrah jika seseorang yang kesehariannya ‘terikat’
dengan aturan ketat dan sekalinya melanggar pasti akan berlarut-larut dalam rasa bersalah. Secara psikologis orang tersebut mengalami Anxiety atau Kecemasan.
****
Jakarta, 22 Agustus 2019
9:39 AM
Menutup cerita yang sudah ditulis. Aku sampai
membaca berulang kali dari slide pertama hingga slide yang saat ini aku tulis.
Aku merasa masih ada yang kurang dalam penutupan cerita ini. Ada yang ‘kurang gereget’ rasanya. Tapi bagaimanapun juga aku percaya bahwa kalian punya imajinasi
yang sangat luar biasa membayangkan setiap kata demi kata yang tersusun.
Aku adalah manusia yang diciptakan oleh Sang Maha
Kuasa untuk saling mengenal dan berbaur satu sama lain. Aku adalah manusia yang
memiliki kodrat untuk berkaitan dengan hal apapun, hal sekecil apapun. Mengambil
hal-hal yang baik, dan membuang yang buruk untuk kehidupan pribadi, serta
memiliki prinsip agar kehidupanku lebih “terarah”. Usiaku semakin mendekati
dewasa, semua yang aku lakukan haruslah sesuai porsinya dan melakukan apa yang
sudah tertulis pada secarik kertas. Aku hanya tidak ingin menjadikan cerita ini
tersimpan begitu saja yang pastinya suatu hari nanti akan terlupa hanya karena
aku memiliki banyak keterbatasan.
Sebuah perjalanan untuk menjadi pribadi yang
bijaksana. Biarkan ini menjadi sebuah cerita yang nantinya akan menjadi
refleksi diri bahwa ada kehidupan dari manusia di wilayah lain yang menurutku akan
tetap terus menginspirasi. Lewat perjalanan ke Baduy Dalam pula aku belajar
bagaimana masyarakat disana amat sangat mentaati peraturan dengan segala ‘keruwetannya’ ditengah-tengah krisis
pemikiran dan moral yang terjadi di masyarakat. Kita bisa menjadikannya sebagai
cerminan diri bahwa sejatinya manusia ditugaskan untuk mengenal, menjaga, dan
merawat, bukan merusak. Dasar peruntungan sebatok, kalau mumbung jadi rontok.
GUNUNG ULAH
DILEBUR, LEBAK ULAH DIRUSAK!
_Helena Vector
 |
Gambar: Pribadi |
Komentar
Posting Komentar