Langsung ke konten utama

Unggulan

REVIEW BUKU "GILBERT CHOCKY: DAVE GROHL"

Gue memutuskan untuk membeli buku ini saat kegiatan Banten Bookfair 2023 berlangsung di gedung Perpustakaan Daerah Banten pada 18 Mei 2023 silam. Kegiatan yang mempertemukan gue kembali dengan sobat karib bernama Gebrina Sephira, atau biasa dipanggil Gegeb, merupakan suatu keberuntungan. Merasa beruntung karena sudah cukup lama tidak bersua sambil membahas buku-buku yang sedang trending, maupun membahas buku-buku lama namun masih layak untuk dibaca. Terlebih di acara tersebut, gue bisa langsung bertatap muka dengan salah satu penulis kondang yang bukunya menjadi best-seller di tahun 2019. Henry Manampiring, penulis buku bertema filsafat berjudul Filosofi Teras. Tapi kali ini gue belum mau bahas Filosofi Teras. Gue bakal bahas buku yang mana sosok didalamnya cukup menyita perhatian setelah beliau meng-cover lagu milik Lisa Loeb berjudul Stay pada tahun 2021 di kanal YouTube Foo Fighters. gambar: pribadi A.      TENTANG BUKU Buku ini ditulis oleh Gilbert Chocky, ri...

OPINI: PERJALANAN MENUJU PRIBADI YANG BIJAKSANA


Pandeglang, 09 Agustus 2019
10:00 AM

Selamat pagi menjelang siang bulan Agustus!

Hahhhh!

Cerita ini mungkin basi, namun tidak buatku. Karena aku yakin, ini akan menjadi salah satu dokumentasi terbaik untuk keturunanku kelak. Hehehe, mikirnya kejauhan!


15 Juni 2019

Tepat di tanggal ini, bersama 3 kawan melakukan kegiatan yang biasanya disebut sebagai ‘Tadabur Alam’.

Menyusuri jalan yang ditambah dengan cuaca cukup panas, melewati pasar untuk mencari mobil ibu Lia parkir. Oh iya, aku berjumpa dengan mereka di stasiun Rangkasbitung. Tapi sayangnya bukan pas di depan stasiun, melainkan di…

“Ke gedung tinggi, lewatin kios buah. Terus aja, mobilnya dekat truk sampah.” ujar pria gempal berkacamata bernama Irwan di seberang telpon. Tidak habis pikir kenapa parkir dekat truk sampah? 

Tidak berpikir panjang, jawabku singkat ‘oke!’

Aku masa bodo dengan kondisi sebelah kanan dan kiri yang sumpek dan bau pasar, yang penting posisi mobil ibu Lia cepat ditemukan. Tidak sampai lima menit, aku melihat dari kejauhan sosok pria gempal yang aku sebutkan tadi melambaikan tangan. Segera aku masuk kedalam mobil, duduk diapit kedua perempuan yang tidak asing buatku.

Aku bertemu dengan 3 kawan yang juga satu profesi. Ada teteh Rai, ibu Lia, dan kak Irwan. Plus dua orang tambahan yang juga rekan kerja ibu Lia yakni kak Sam, dan kak Yusuf.

“Hmmm, Fina bau pasar!”

Aku cuma bisa nyengir mendengar ucapan mereka yang berkali-kali mengatakan demikian. Tujuan kami adalah mengunjungi suku Baduy Luar. Desa Ciboleger, kabupaten Lebak, Rangkasbitung.

“Ada yang sudah pernah ke Baduy?”

Tanya ibu Lia, sontak aku menjawab sudah.

“Sudah, bu. Baduy Luar tapi.”

“Kita bawa bahan makanan apa, nih?”

Aku menjawab dengan santai sambil memainkan ponsel “Ikan asin aja, bu. Atau yaa mie instan.”

Sayangnya aku pangling dengan jalanan yang dilewati. Kalau sewaktu SMP jalanan masih banyak bebatuan, sekarang sudah dibenahi. Aspal yang mulus, namun harus tetap berhati-hati karena jalanan yang menanjak dan banyak tikungan tajam. 30 menit perjalanan dari Rangkasbitung, kami sampai di kampung Simpang. Bisa di katakan bahwa kampung Simpang ini merupakan pintu gerbang desa Ciboleger. Kak Sam memarkir mobil di sebuah rumah yang juga sekaligus rumah makan tradisional. Tempat duduknya saja masih terbuat dari papan dan bambu atau yang biasa disebut bale.

“Kita istirahat dulu, makan, terus shalat Dzuhur. Habis itu baru lanjut.”

Akibat banyak jalan yang menikung tadi, perutku terasa mual. Mengingat juga pagi harinya aku baru mengunyah satu buah bakwan dan meneguk teh manis hangat. Sontak aku lihat sekeliling mencari warung, siapa tahu ada yang menjual obat pereda mual. Aku rasa kalian tidak asing dengan obat tersebut.

Aku lupa pemilik warung makan tersebut, yang hanya aku ingat adalah sepasang suami istri yang kelihatannya sudah berusia kepala enam, serta seorang perempuan yang nampaknya seusia denganku. Kepala dua. Pemilik rumah makan itu juga bilang, kalau setiap orang yang ingin mengunjungi Baduy, pasti mampir terlebih dulu untuk istirahat. Kebetulan juga disebelahnya ada masjid.

Setelah memberi makan naga di dalam perut dan melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim, kami melanjutkan perjalanan. Sedih! Karena ponselku tidak mendapat sinyal, terlebih lagi ponselku baterainya mulai lemah. Lebih sedih lagi ketika masuk ke pintu gerbang desa Ciboleger yang masuk kedalam kampung Baduy luar, ponselku mati. Beruntunglah karena aku membawa pacar setiaku, Canon 550D. Aku sadar bahwa di era yang butuh percepatan seperti sekarang, power bank sangat penting!

“Eh kita beli makanan dulu, sekaligus perlengkapan lain.”

Kebetulan disana ada mini market, kami membeli kebutuhan logistik dan yang lainnya. Kak Yusuf bilang, sebaiknya kita ikut dengan rombongan salah satu temannya yang juga menjadi pemandu wisata ke kampung Baduy. Kebetulan tujuan mereka adalah kampung Baduy Dalam. Tunggu, Baduy Dalam? Tujuan kami hanya sampai ke Baduy Luar, perbatasan. Bukan sampai kampung Cibeo, Baduy Dalam. Lalu?


Sebuah kejutan yang sangat amat tidak di duga, namun entah kenapa hanya aku yang bersemangat diantara yang lain mengingat aku belum pernah ke Baduy Dalam. Akan tetapi perlengkapanku sangat kurang, aku bisa dibilang ‘modal nekat’ jika pergi ke kampung Cibeo karena tidak membawa sleeping bag atau tambahan baju hangat. Akhirnya setelah bermusyawarah untuk mencapai sebuah mufakat, dengan mengucapkan Basmallah kita berlima sepakat untuk ikut rombongan para wisatawan yang dipandu oleh teman-teman kak Yusuf. Dialah kak Fajri, dan kak Deden. Lumayan banyak yang ikut, terlebih mereka semua dari luar kota. Tangerang dan Jakarta lebih tepatnya.








Gambar: Pribadi



Setelah berkumpul, berdoa dan berfoto bersama di tugu istimewa desa Ciboleger, kami memasuki pintu gerbang desa Baduy Luar. Senyum ramah dari warganya, akan selalu aku ingat.


Kita berfoto kembali di tugu selamat datang, dan ternyata sudah ada bantuan listrik dari PLN untuk warga desa Baduy Luar. Baduy luar memang masih menerima kultur dari luar. Masih menerima kehadiran teknologi dalam kehidupannya dan semoga bisa memanfaatkannya dengan baik. Kami menyusuri jalanan yang mulai menanjak dan sedikit berbatu. Kemudian…

“Baru jalan segini, kok gue engap yah?”

Ucap kak Irwan sambil tertawa. Aku tidak begitu menggubris ocehannya, hanya terus berjalan dan memotret hingga sampailah kami di satu rumah salah satu pasutri muda suku Baduy Luar. Sang suami yang sedang memainkan alat musik bernama Telempong, dan sang istri yang sedang menenun kain. Memang tidak bisa dibohongi kalau sebenarnya mereka punya pesona tersendiri. Aku berani berkata jujur, bahwa pria suku Baduy memang tampan. Begitu juga dengan wanitanya yang memiliki paras cantik nan eksotis.



Gambar: Pribadi


Waktu terus berlalu, banyak jalanan menanjak yang membuat para wisatawan satu rombonganku merasa kakinya kesakitan. Ternyata beberapa diantara mereka adalah para pendaki pemula. Aku memakluminya jika baru beberapa meter  berjalan, mereka banyak yang berhenti. Ekspetasiku saat menyusuri jalan setapak yang menanjak dan menurun adalah keasrian alamnya, namun pada realitanya masih ada saja wisatawan yang membuang sampah sembarangan. Padahal amat disayangkan bukan? Alam yang seharusnya dijaga, malah dirusak oleh keegoisan dalam diri!





Gambar: Pribadi

Sampailah kami di perbatasan antara suku Baduy Luar dan Baduy Dalam. Dimana seluruh alat elektronik ada baiknya kita non-aktifkan sebagai tanda menghormati dan mentaati aturan. Bagi kalian yang suatu saat ingin mengunjungi desa Cibeo (salah satu kampung Baduy Dalam), ada baiknya ikuti peraturan. Karena peraturan ada bukan untuk dilanggar!


Kita berangkat dari desa Ciboleger kurang lebih pukul 13:45 wib. Menurut kak Fajri kita bisa cepat bisa sampai tujuan pukul 17:00 wib. minimal 30 menit sebelum maghrib. Akan tetapi namanya juga banyak pendaki pemula, saling menunggu satu sama lain yang membuat perjalanan sedikit terhambat. Tepat pukul 15:00 wib, aku dan rombongan sampai di salah satu gubuk dimana ada beberapa anak usia sekolah dasar sedang menjajakan air mineral, dan minuman isotonik lain.


“Berapaan ini?” tanya ibu Lia sambil memandang anak-anak tersebut. Salah satu dari mereka menjawab “Tiga ribuan.” Sontak ibu Lia memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah. Satu botol air mineral berisi 600 ml diserahkan, dan anak itu nampak bingung berapa jumlah uang yang harus dikembalikan. Aku mengerut kening sambil mengambil air mineral tersebut.

“Kembaliannya belum ya, kok diam?”

Mereka malu-malu sambil bertatapan satu sama lain.

“Bisa enggak?” ibu Lia kembali bertanya pada mereka.

“Uangnya sepuluh ribu, ini harganya tiga ribu. Kembaliannya berapa?”

Mereka makin diam sambil tersenyum malu. Ibu Lia paham dengan kondisi anak-anak itu. Dengan pelan, ibu Lia mengambil lembaran uang lima ribu dan dua ribu rupiah dari genggaman tangan anak tersebut. Seraya berkata…

“Hati-hati ya, takutnya kalian di tipu. Kembaliannya tujuh ribu, ini uang lima ribu, kalau yang ini uang dua ribu.”

Mereka mengangguk sambil mengucapkan terimakasih. Apa yang kalian pikirkan tentang anak-anak tersebut?

****

Perjalanan kami belum sampai juga, padahal sudah empat jam lamanya kita menyusuri hutan dan jalan setapak yang menanjak. Napasku mulai terengah-engah. Sudah lama aku tidak naik gunung, dan salahnya pula aku tidak mempersiapkan fisik dengan baik. Untung saja penyakit maag tidak kambuh, kalau kambuh bisa saja aku merepotkan orang lain. Itu adalah hal yang paling aku hindari.

“Kita istirahat dulu, yuk.”

Ucap kak Sam yang berjalan paling depan bersama dengan satu warga Cibeo yang menemani perjalanan kami. Kami berhenti di salah satu gubuk dengan banyak kayu bakar. Aku melepas tas kamera yang aku gantung dipundak kanan. Mulai terasa pegal, aku merapikan isi dari dalam daypack dengan niat kamera dimasukkan saja kedalam bersama tasnya. Aku melepas tali dan menaruhnya disamping tempatku duduk. Gemuruh petir mulai berdendang, disusul dengan gerimis yang mulai turun. Lama-lama hujan yang tidak terlalu deras. Oke, kita meneduh untuk beberapa menit sampai hujan benar-benar reda.



Sambil meneguk air mineral, aku berpikir bahwa ada satu hal yang harus diakui dalam diri. Aku yang kurang bersyukur. Aku kurang bersyukur karena selama ini aku masih belum bisa disiplin dan mengerjakan sesuatu dengan baik. Satu musuh terbesarku adalah MALAS!


Perjalanan dilanjut, suguhan pemandangan disebelah kanan dan kiri yang menyejukkan mata setelah hujan dan aroma pretichor yang kuat membuat syahdu suasana perjalananku dan kawan-kawan menuju kampung Cibeo. Kami yang menyusuri jalan setapak di dalam hutan, mulai merasakan cahaya matahari di sela-sela pohon mulai samar. Berangsur-angsur berubah menjadi hitam gelap warnanya. Jalanan becek berlumpur kita lewati sambil meraba-raba batang pohon di sisi kanan dan kiri. Tidak lupa dengan kaki yang mencoba menapaki jalanan berbatu, khawatir batu yang kita pijak tidak kuat menahan beban tubuh masing-masing dan membuat salah satu dari kami jatuh. Tidak hanya bebatuan, namun rumput juga. Aku kira rumput yang aku injak kuat, mampu menahanku di jalan yang licin ini. Akhirnya aku ada cerita terjatuh di perjalanan menuju desa Ciboleger.


Sreeseekkk.. brug!! Aww!


Semua mata dan nyala senter menuju kearahku. Aku sedikit berteriak karena kaki kiri dan pinggulku seluruhnya menyentuh tanah, sedangkan kaki kananku jongkok, menahan agar seluruh badan tidak jatuh terlentang. Terlebih kepala, mengingat juga saat itu aku melihat dibelakangku ada batu. Sekali lagi, akhirnya aku ada cerita terjatuh di perjalanan menuju desa Ciboleger.


“Makanya jangan suka heboh sendiri, ayo bangun!”

Ucap kak Irwan yang mengulurkan tangannya untukku. Hahahaha.


****

Lima belas menit setelah berjalan dari tempat kejadian perkara, akhirnya kami sampai di kampung Ciboleger. Semuanya gelap gulita, hanya ada nyala obor dan nyala senter yang ternyata masih bisa di toleransi. Padahal kami semua tahu bahwa tidak boleh menyalakan benda elektronik. Rumah bagi pengunjung perempuan dan laki-laki di pisah. Aku dan rombongan lain menuju ke satu rumah penduduk asli, namanya kalau tidak salah kang Samin beserta sang istri. Begitu sampai, masing-masing dari kami bergegas membersihkan badan terutama aku yang sehabis jatuh. Sialnya, aku tidak membawa celana panjang untuk tidur. Namun aku sangat beruntung. Celana jeans hitam pemberian ibuku ini ternyata bahannya cepat kering. Setelah aku bersihkan dengan air bagian yang terkena tanah, hanya dalam kurun waktu 10 menit bisa kering seperti semula. Akhirnya aku bisa melaksanakan ibadah shalat Maghrib dan Isya dengan tenang dan Inshaa Allah sah.


Aku berkenalan dengan banyak orang dalam rombonganku, diantaranya ada mbak Nia, Ayu, mbak Novi, dan Aas. Mereka semua asal kota Jakarta dengan latar belakang mahasiswi dan karyawati. Diantara mereka ada yang sudah sering naik – turun gunung, ada juga yang pemula. Obrolan kami semakin hangat setelah disuguhi makanan dari pemilik rumah. Nasi ketan hitam, ubi jalar, dan singkong rebus.

Punten, lima menit lagi kalian ikut yah. Kita mau ngobrol bareng Jaro.”

Kita semua, penunggu “asrama putri” saling menatap satu sama lain dan sudah saling tahu pertanyaan dari dalam kepala kami masing-masing. ‘Jaro?’

“Jaro itu kepala desa.”

“Ooohhhhh.”

****


Kami berjalan masuk ke sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat kami masing-masing menumpang tidur. Dengan sedikit tergesa karena lagi-lagi hujan turun, sandal dan sepatu dinaikkan keatas rumah panggung yang hanya ada satu pintu. Satu-persatu dari kami masuk kedalam ruangan. Ruang tersebut hanya diterangi nyala pelita yang bertengger pada dinding berbahan dasar anyaman bambu. Kami bersalaman dengan pria bertubuh kurus berbaju putih dan kepala yang juga diikat dengan kain putih. Sangat tidak asing buatku dengan pakaian yang pernah aku lihat di buku paket pelajaran IPS sewaktu duduk dibangku SD kelas tiga.


Pria itu nampaknya sudah menginjak usia kepala lima. Pria itu menghisap rokok yang nampaknya seperti rokok Klobot, dijepit oleh jari telunjuk dan ibu jarinya sambil mengangguk-anggukan kepala setelah kami selesai bersalaman dengannya. Sosoknya menjadi panutan warga desa, ramah, santai, terbuka, dan membuka mata dan pikiranku tentang untuk apa dan apa tugas kita menjadi ‘Manusia’? Pria itu bernama Sami. Biasa dipanggil Jaro Sami.


Salah satu kawan kak Fajri membuka acara pertemuan kami sebagai tamu di kampung Cibeo. Mukadimah yang sederhana dan menyejukkan. Jaro Sami tidak berbasa-basi. Obrolan kami tidak lain dan tidak bukan hanya seputar pertanyaan ‘apakah benar warga suku Baduy kalau bepergian tidak menggunakan kendaraan?’ ‘mengapa suku baduy tidak pernah mengenakan alas kaki?’ atau ‘mengapa rumah suku Baduy Dalam tidak menggunakan bahan-bahan bangunan seperti batu, pasir, semen, dan menyambung tiang dengan paku, hanya diikat oleh seutas tali?’ atau yang menarik perhatian kami adalah jawaban dari pertanyaan seputar pendidikan anak-anak suku Baduy Dalam.


Ada alasan mengapa anak-anak suku Baduy Dalam tidak mengikuti pendidikan formal seperti anak-anak pada umumnya. Anak-anak mereka tidak disekolahkan bukan berarti kedua orang tua tidak punya biaya, namun ada hal lain yang mungkin bagi kalian yang membaca ini mengerutkan kening, terbata-bata untuk berucap, atau bahkan  mendadak bisu. Mereka tidak mau anak-anak yang mereka sekolahkan nantinya ‘membuat pintar orang lain (sarkas)’ jadi cukuplah pendidikan informal di rumah. Anak perempuan diajarkan memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah oleh ibunya, dan anak laki-laki diajari cara bercocok tanam, mengenal tumbuhan dan hewan. Namun bagi masyarakat suku Baduy Luar, mereka menyekolahkan anak-anak mereka. Terbukti dengan adanya bangunan Sekolah Dasar disaat awal kami masuk kampung Baduy Luar.


Selain itu, ada lagi obrolan yang menarik bagi kami. Hukum adat pernikahan muda mudi suku Baduy Dalam. Mereka semua menikah karena dijodohkan, dan setelah menikah mereka tidak boleh bercerai. Sekali lagi, tidak boleh bercerai! Tidak hanya itu, bagi warga suku Baduy Dalam jika menikah dengan pria/wanita dari luar atau dalam artian bukan warga Suku Baduy Dalam, mereka tidak lagi dianggap sebagai warga asli kampung halamannya alias di Deportasi. Bagi kalian yang membaca, pasti ada pemikiran seperti ini: Sudah dijodohkan, pakai ngatur pula! Hehehe.


Ada pula pertanyaan yang terlontar dari satu orang perempuan yakni ‘agama apa yang mereka anut?’
Ternyata mereka masih menganut kepercayaan Animisme. Agama Sunda Wiwitan atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Dalam berpolitik juga mereka tidak mengikuti yang namanya Pemilu. “Yaa kita mah mengikut saja pemerintahnya siapa, yang memimpinnya siapa.” ucap Jaro Sami dengan pelafalan bahasa Sunda. Dari segala pertanyaan yang dilontarkan, aku merangkumnya dalam pikiranku seperti ini “Mengapa warga suku Baduy melakukan semua itu?” Dan jawaban dari Jaro cukup juga terangkum seperti… “Kami hanya mentaati aturan yang sudah ada sejak nenek moyang.”  I see..


Satu jam sudah aku dan teman-teman satu atap berbincang dengan tokoh adat. Begitu kembali ke rumah singgah, aku melihat ibu Lia dan teteh Resti sudah terlelap. Nampaknya mereka sudah kelelahan dengan berjalan kaki selama lima jam. Aku mengambil mukena, jaket, dan kaus kaki dari dalam daypack seraya mengenakannya. Baru beberapa menit memejamkan mata, aku terbangun. Pinggul, paha, betis sampai mata kaki sebelah kiri baru terasa sangat sakit. Aku mengambil minyak kayu putih dan mengusapkannya di area betis. Meskipun panas, tidak mengapa. Toh juga cuaca dingin sangat menusuk sampai tulang. Resti sampai menggigil dan bilang ‘Fin, aku kedinginan.’ Alhasil aku menggosok kedua tanganku dan membalur kakinya dengan minyak kayu putih. Tidak lupa dengan memakaikannya kaus kaki milikku. Di saat merasakan sakit dan dingin, aku teringat sesuatu. Saat perjalanan, tidak, bukan saat perjalanan. Melainkan saat rehat sejenak di sebuah gubuk saat aku memasukkan kamera kedalam tas dan aku melepas tali tas kameraku.


Naas, tali tas kamera kesayanganku tertinggal. Aku tidak bisa tidur selama beberapa menit, sedikit gelisah sambil menahan sakit dan terus menggerutu dalam hati.


Sosok disebelahku yang tadinya mulai tertidur, kembali terbangun karena melihatku berkali-kali duduk dan kembali berbaring seraya memijit dengkul.

“Kenapa, fin?”

“Tali tas kamera ketinggalan, teh. Di gubuk yang pas di jalan kita istirahat, pas aku buka tali tas kameranya.”


Entah karena kantuk berat, ia hanya menjawab ‘hmmm’ dan kembali terlelap. Aku putuskan untuk mengikhlaskannya, dan semoga diberikan rezeki yang cukup untuk membeli yang baru. Nyatanya tidak, mataku kembali terjaga sambil berkata dalam hati..


‘Kan masih ada tali tas notebook, masih bisa digunakan.’ dan setelah bergumam dan menggerutu akibat kecerobohan sendiri, aku terlelap.


****

16 Juni 2019
@01:00 AM

Kalian tahu lagu yang dilantunkan oleh Jessie J, Ariana Grande, dan Nicky Minaj? Lagu yang amat sangat cocok untuk dinyanyikan saat konser di stadion Gelora Bung Karno dengan gemerlap lampu dan tata panggung yang sangat megah. Lagu itu tidak sengaja diputar dengan sangat volume yang cukup keras oleh notifikasi alarm ponsel milik Resti, memecah keheningan dini hari dan dingin yang berhasil menembus mukena dan jaket yang aku kenakan sebagai pengganti selimut. Perempuan yang tidur disebelahku itu langsung buru-buru bangun dari lelapnya dan merogoh isi tasnya. Nampaknya ia lupa untuk me-nonaktif-kan alarm. Terdengar seseorang yang posisi tidurnya dibelakangku berkata ‘Dusun!’ yang dalam bahasa Jawa dan Sunda artinya tidak sopan. Semoga suaranya tidak terdengar sampai keluar rumah karena saking heningnya. Untung saja sang pemilik rumah tidak marah dan seraya mengusir kami. Seharusnya pada part ini tidak dibuka dengan cerita kejadian dini hari yang mungkin cukup membuat jantung Resti berdegup saat itu. Tapi jika diingat lagi, membuatku ingin tertawa jahat. Hahahah!


Tidak ada kumandang adzan yang saling bersahutan dari mushala atau masjid seperti di rumah, yang ada hanyalah suara dari teman-teman yang berusaha untuk bangkit dari tidur dan mencoba membangunkan satu sama lain seraya mengajak untuk melaksanakan ibadah shalat subuh. Begitu pula dengan aku yang terbangun karena suara dari teman-teman. Kaki sebelah kiri yang terasa nyeri semalaman akhirnya mereda. Aku membangunkan Resti dan ibu Lia pelan-pelan. Kami bertiga menuju tempat wudhu atau yang biasa disebut ‘Pancuran’ oleh warga sekitar. Suhu dingin makin menjadi, sampai-sampai keluar asap dari mulut.


Mentari muncul pukul enam lewat tiga puluh menit. Aku duduk di teras panggung rumah sambil mengayun-ayunkan kaki. Sayangnya aku tidak membawa buku agenda kesayangan saat itu. Semuanya hanya bisa aku ingat di ruang dalam otak. Ingat akan satu hal dalam benak saat itu. Terdapat satu wilayah yang dimana sangat dekat dengan rumah singgahku dan kawan-kawan tinggali, wilayah itu dibatasi dengan dua batang bambu. Kak Fajri bilang, kita tidak boleh melintas atau masuk ke wilayah tersebut selain warga asli suku Baduy Dalam. Sayangnya, aku tidak boleh menyalakan benda elektronik untuk memotret perbatasan wilayah tersebut. Padahal sangat jelas, dan sangat dekat. Wilayah yang dilarang itu hanya tersimpan dalam memori jangka panjang sampai detik ini. Teringat saat pagi hari setelah aku mandi di sungai dan melintasi bambu perbatasan wilayah itu, ada seorang anak berbaju putih dan mengenakan kain hitam yang panjangnya sampai lutut melompati kedua bambu yang menghalangi jalannya.


“Fin, keliling yuk. Sekalian aku mau cuci muka dan gosok gigi.”


Ucap mbak Novi. Sosok pertama yang aku ajak kenalan saat bertemu di gerbang desa Ciboleger. Aku mengangguk dan segera mengambil sandal. Oh iya, aku baru ingat kalau belum membayar ikat kepala yang aku beli dari pemilik rumah. Kain tenun etnik yang sangat menarik. Harganya juga murah, Rp 15.000,00,-. Aku kenakan di kepala sebagai “hiasan”, tentunya saat nanti pulang ke rumah Papaku akan bertanya “Kamu beli itu terus dipakai di kepala fungsinya biar apa?” Hahahaha.


Kami menuju sungai yang ternyata cukup ramai dengan para ibu-ibu dan anak perempuannya sedang mandi dan mencuci tanpa menggunakan sabun. Entah karena memiliki teknik mencuci yang baik dan benar sehingga pakaian tetap bersih, atau memang… Ahh sudahlah. Intinya begitu. Kalau kalian tidak percaya silahkan saja kesana.


“Fin, dingin!”


Aku tertawa sambil menatap hembusan asap yang keluar dari mulutnya. Saat-saat seperti itu membuatku rindu akan puncak Gunung Salak 8 tahun lalu. Kami berkeliling dan saling bertegur sapa dengan anak-anak kecil desa Baduy Dalam. Desa yang tidak terlalu ramai seperti komplek, namun masyarakatnya tetap Guyub.


Duk.. Duk.. Duk..


Aku mencari sumber suara itu. Sepertinya aku kenal, oohhh aku ingat! Itu adalah suara Lesung. Para ibu dan remaja perempuan desa Baduy Dalam sedang menumbuk padi bersama-sama di satu tempat yang letaknya tidak jauh dari sungai tempatku dan Novi membersihkan badan. Sepertinya akan ada perayaan. Memang benar. Kak Fajri bilang lusa akan ada pernikahan. Sayangnya hari itu aku dan yang lain harus kembali pulang.


Tepat pukul 08:00 WIB, kami berkumpul di depan rumah singgah. Berdoa dan menyuarakan yel-yel agar kembali bersemangat melewati tanjakan, jalan berbatu dan jalan yang berlumpur, serta bernapas lega saat menemukan aliran air yang sangat jernih. Kami berpamitan dengan istri pemilik rumah, serta masyarakat lain.


10:00 WIB

Kami sampai di tanjakan yang entah sudah keberapa belas. Tidak ada pikiran untuk menghitung, yang ada hanyalah mengatur napas sebaik mungkin dan kembali menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh seperti kemarin sore. Namun yang masih aku ingat saat itu, aku menemukan aliran air yang menurut teman-teman bisa diminum, aku menaruh kayu yang aku jadikan tongkat dan menadah tanganku diatas air yang mengalir dari sebatang bambu, seraya mengusapnya ke wajah dan pergelangan tangan. Sangat menyegarkan.


“Teman-teman, kita break dulu!”


Ujar kak Deden dari barisan paling depan. Aku duduk di sebuah batang pohon yang sudah ditebang. Aku memperhatikan batang pohon yang aku duduki, mulai muncul tunas-tunas baru. Aku juga memperhatikan sesosok pemuda suku asli Baduy Dalam yang perlahan mendekatiku dan rombongan. Tidak lama kemudian, salah satu dari kami membuka percakapan dengannya. Usianya masih muda, enam belas tahun. Sial, aku lupa namanya. Namun ada hal yang sangat menarik dari obrolan kami. Ia menceritakan tentang pengalamannya yang pernah ke kota hanya dengan berjalan kaki selama tiga hari tiga malam.


“Kenapa pengen ke kota?”

“Yaa mau lihat aja, teh. Kota kayak gimana.”

“Kota mana aja yang udah pernah didatangi?”

“Jakarta.”

****


Ada kata-kata dan pemikiran yang lewat di dalam kepalaku. Mereka yang amat sangat mematuhi aturan secara turun temurun dari nenek moyang juga ingin mengetahui seperti apa kota besar yang sering jadi buah bibir. Kendati demikian, mereka juga tetap  mematuhi aturan dengan tidak naik kendaraan umum. Aku baru ingat. Ada hal yang menarik saat aku dan kawan-kawan mengobrol dengan Jaro Sami. Pernah terjadi suatu peristiwa yang menimpa salah satu warga desa mereka. Dimana orang tersebut naik kendaraan umum saat bepergian. Hal yang terjadi adalah ia terkena ‘kutukan’. Orang yang diceritakan tersebut saat pulang ke rumahnya sangat takut dan amat sangat gelisah setelah melanggar peraturan.


Oke, ini terdengar mengerikan dan membuat kalian mengangkat atau mengerutkan alis namun aku mencoba berpikir menggunakan akal sehat. Aku memiliki opini seperti ini: Seseorang yang berasal dari suku Baduy Dalam yang kesehariannya sangat menolak kehadiran teknologi dan kemajuan, tetap saja dinamakan manusia ciptaan Tuhan. Buatku rasanya itu merupakan hal lumrah jika seseorang yang kesehariannya ‘terikat’ dengan aturan ketat dan sekalinya melanggar pasti akan berlarut-larut dalam rasa bersalah. Secara psikologis orang tersebut mengalami Anxiety atau Kecemasan.


****

Jakarta, 22 Agustus 2019
9:39 AM

Menutup cerita yang sudah ditulis. Aku sampai membaca berulang kali dari slide pertama hingga slide yang saat ini aku tulis. Aku merasa masih ada yang kurang dalam penutupan cerita ini. Ada yang ‘kurang gereget’ rasanya. Tapi bagaimanapun juga aku percaya bahwa kalian punya imajinasi yang sangat luar biasa membayangkan setiap kata demi kata yang tersusun.


Aku adalah manusia yang diciptakan oleh Sang Maha Kuasa untuk saling mengenal dan berbaur satu sama lain. Aku adalah manusia yang memiliki kodrat untuk berkaitan dengan hal apapun, hal sekecil apapun. Mengambil hal-hal yang baik, dan membuang yang buruk untuk kehidupan pribadi, serta memiliki prinsip agar kehidupanku lebih “terarah”. Usiaku semakin mendekati dewasa, semua yang aku lakukan haruslah sesuai porsinya dan melakukan apa yang sudah tertulis pada secarik kertas. Aku hanya tidak ingin menjadikan cerita ini tersimpan begitu saja yang pastinya suatu hari nanti akan terlupa hanya karena aku memiliki banyak keterbatasan.


Sebuah perjalanan untuk menjadi pribadi yang bijaksana. Biarkan ini menjadi sebuah cerita yang nantinya akan menjadi refleksi diri bahwa ada kehidupan dari manusia di wilayah lain yang menurutku akan tetap terus menginspirasi. Lewat perjalanan ke Baduy Dalam pula aku belajar bagaimana masyarakat disana amat sangat mentaati peraturan dengan segala ‘keruwetannya’ ditengah-tengah krisis pemikiran dan moral yang terjadi di masyarakat. Kita bisa menjadikannya sebagai cerminan diri bahwa sejatinya manusia ditugaskan untuk mengenal, menjaga, dan merawat, bukan merusak. Dasar peruntungan sebatok, kalau mumbung jadi rontok.


GUNUNG ULAH DILEBUR, LEBAK ULAH DIRUSAK!



_Helena Vector


Gambar: Pribadi


Komentar

Postingan Populer