Jarum jam terus berdetak, sesuai dengan arahnya. Ke
kanan.
Aku turuti kemauanmu. Kembalilah kita bercerita.
Memang di usia dan kondisimu sekarang ini, kamu
tidak ingin nasihat. Melainkan satu sosok yang bisa jadi pendengar yang baik.
Bukan begitu?
Apa yang jadi keluhanmu saat ini, pasti sudah pernah
dirasakan oleh banyak orang. Tidak terkecuali aku. Aku yakin kalau semuanya
adalah proses, proses agar kau menjadi dewasa.
“Kamu mau tambah teh nya? Sudah habis, tuh!”
Ucapmu sambil mengunyah. Aku hanya menggeleng sambil
tersenyum.
“Lanjut saja ceritanya. Nanti aku tuang sendiri.”
“Hmmm.. enggak. Sahabat yang baik adalah ia yang
menuangkan teh hijau ke cangkir sahabatnya.”
Aku tersipu. Sial!
Jarum jam tangan hitamku menunjuk ke angka tiga.
Satu jam berlalu dan kau masih bercerita tentangnya. Jujur, telingaku panas
mendengarnya. Aku cemburu? Tidak. Hanya saja… ayolah. Ganti topikmu!
Suara telapak kaki yang sangat aku kenal sedang
menuju teras. Tidak lain dan tidak bukan adalah langkah kaki ayah.
“Kalian masih disini? Keluarlah.. Gerimis sudah
reda.”
Aku mengerutkan kening.
“Ayah ngusir
aku sama Sakti?”
Pria yang tadinya duduk disebelahku, kini berdiri
sigap sambil mengambil helm yang tergeletak dibawah kursinya.
“Siap ayah, kita juga ada rencana jalan-jalan kok
sore ini!”
Ucapnya sambil menyeringai. Manis sekali.
****
Ucapan ayah ternyata salah. 10 menit setelah
meninggalkan rumah untuk jalan-jalan sore, gerimis kembali turun. Bukan. Bukan
salah ucapan ayah. Toh aku menganggapnya hanyalah dugaan.
“Hari ini kita kemana?”
Ucapnya sambil sedikit menengok kebelakang.
“Terserah kamu, kamu yang ajak ya aku ngikut.”
Ia menggeleng kepalanya dan mencoba untuk menepi.
Pria berlesung pipit itu melepas helm dan turun dari vespa klasiknya. Siapa
lagi kalau bukan ‘Si Antik’? Di pinggir jalan, seberang warteg yang lumayan
ramai pengunjung tepatnya.
“Kamu lapar enggak?”
Aku mengangkat kedua alis dan mengembungkan pipi. Ia
sangat hapal dengan ekspresi wajahku yang satu ini.
“Oke. Kita nyebrang.
Aku yakin kamu masih suka oreg teri kacang dan tumis kangkung. Oh iya, tidak
lupa dengan sambal terasi, plus jus alpukat.”
Aku menepuk pundak sambil memberi acungan jempol
padanya.
Sesampainya di depan warteg, aku dan Sakti disambut
baik oleh kedua anak pemilik warteg legendaris semasa kami kuliah dulu. Siapa
lagi kalau bukan Bude Narti? Bude Narti adalah salah satu dari sekian pemilik
warteg yang aku kenal di dekat kampus. Sosok yang sangat ramah, hangat, dan
mudah bergaul.
“Ehh, mbak Gendis. Masuk. Mau makan apa?”
Ucap Agus, mahasiswa semester enam yang juga salah
satu juniorku di Fakultas Ilmu Komunikasi. Tidak lupa pula dengan Anisa yang
sama-sama mengambil jurusan Marketing
Communication, menyambut Sakti dengan senyum manisnya.
“Ehh, kalau dua anak ini biar ibu yang layanin. Cuma
ibu yang tahu apa maunya mereka.”
Aku dan Sakti saling berpandangan dan memamerkan
gigi.
Oh iya, sedari tadi aku bercerita ternyata aku belum
memperkenalkan siapa namaku dan pria bernama Sakti. Sengaja, agar kalian
penasaran. Bagi kalian yang penasaran, baiklah. Akan aku kenalkan siapa
sebenarnya aku dan Sakti.
****
Namaku Andhika Gendis Namira. Panggilanku Gendis, anak
tunggalnya ibu Rani dan ayah Hadi. Entah mengapa aku dipanggil Gendis ketimbang
Mira. Kata ayah, karena sewaktu ibu bertanya ‘akan dipanggil siapa nama anak
kita?’ eyang keceplosan menyebut ‘Gendis.”
Terdengar konyol, atau sejarah namaku memang unik? Terserah. Aku lahir pada
hari Senin, 15 Maret 1996 di salah satu kota yang sangat mainstream bagi para pelancong. Letaknya di Jawa Tengah. Banyak
orang yang datang kemari hanya karena keindahan candi Prambanan, Tugu, jajanan
murah 24 jam, gereja tua yang mulai ramai sejak muncul di film layar lebar, dan
plang jalan yang sangat ramai oleh para turis untuk berfoto ria. Kalian yang membacanya
pasti tahu.
Kalau Sakti nama lengkapnya Andhika Maha Sakti. Entah
mengapa nama depan kita sama-sama ‘Andhika’ baik secara tulisan maupun pelafalan,
dan kita juga sama-sama anak tunggal. Hanya pada tanggal, kota kelahiran, dan
orang tua saja yang berbeda. Aku lahir di Kota Pendidikan, ia lahir di kota
dengan simbol ikan Hiu dan Buaya. Aku dan Sakti juga sama-sama mengambil
jurusan Komunikasi Pemasaran di salah satu universitas swasta di Jogja. Tuhan
Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Sakti memang tampan, pintar, berani, ahhh tidak
juga. Ia tidak terlalu berani karena memiliki phobia takut pada balon. Memang ada. Tak percaya? Bacalah buku!
****
Dua piring pesanan kami siap santap. Aku segera meraih
garpu dan sendok, kemudian membersihkannya dengan selembar tisu. Begitu juga
dengan Sakti. Tapi seperti biasa, ia akan memotret apa yang ia santap dan
mengunggah ke akun medsos. Belum lagi dengan menulis caption yang bisa sampai satu menit lamanya. Wajarlah, ia sekarang
menjadi… selebgram.
“Kok mas Sakti malah main hp?”
Tanya Agus padanya. Aku hanya menggeleng kepalaku
sambil terus mengunyah teri yang tercampur dengan nasi di dalam mulut.
“Tenang, gus. Ini pasti di makan. Tenang!”
Agus hanya mengangguk paham dan segera berlalu
setelah membawa minumanku dan Sakti.
“Gimana rasanya kena tegur pas lagi kayak gitu?”
Sakti malah asyik dengan ponselnya, pertanyaanku
tidak digubris.
“Ti.. Sakti!”
Ucapku dengan nada yang sedikit tinggi.
“Hah, apa? Apa, dis?”
Aku memiringkan kepala sambil melotot padanya.
“Ow.. Okay. Aku makan sekarang yaa.”
Aku menyedot jus alpukat di hadapanku sambil
mengelap nasi yang menempel di dagu. Sehabis makan dan bayar, tanpa banyak basa
basi dengan bude Narti kami langsung pergi dari warteg dan kembali ke
perjalanan yang entah mau kemana tujuannya.
“Sebelum kamu naik Si Antik, aku mau tahu dulu
jawaban dari kamu. Kita kemana?”
Aku memutar kedua bola mata, tidak sopan namun
memang aku terlanjur kesal.
“Pokoknya tempat yang anti-mainstream. Tanggung
jawab, aku enggak tahu tempatnya dimana tapi yang jelas kamu harus bawa aku
kesana!” Ucapku sambil menggembungkan pipi sedikit. Sakti melongo.
“Dasar cewek,
ribet!” Ucapnya sambil naik keatas jok Si Antik. Aku hanya tersenyum manis
padanya kemudian duduk dibelakangnya.
Sepanjang jalan, Sakti bersenandung tidak jelas.
Sesekali melantunkan tembang jawa yang sedikit aku paham. Maklum, Sakti mengaku
dulunya memang pernah menjadi seorang dalang cilik di sekolah. Aku percaya
saja. Sakti menghentikan lajunya ketika sampai di lampu lalu lintas yang
berubah warna menjadi merah. Laju motor terhenti, namun tidak dengan senandungnya.
Makin jadi!
“Sakti.. ihhh berisik tahu, orang-orang pada ngeliatin kita.”
“Biarin aja, biar mereka tahu. Ini senandung yang
aku buat sendiri. Judulnya Senandung pengkolan.”
“Hah?”
Aku mengerutkan kening sambil menepuk pundaknya.
“Ya kamu enggak lihat disebelah kanan dan kiri ada
pengkolan, ditambah aku lagi senandung dari tadi? Yaudah, aku kasih senandung
ini namanya senandung pengkolan.”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil menutup
wajah dengan telapak tangan. Seorang bapak disebelah kiriku hanya tersenyum
melihatku dan Sakti. Hingga satu kalimat ia lontarkan kepada kami.
“Mbak sama masnya pacaran? Weleeeehh”
Sakti menoleh begitu juga denganku. Sontak kami menjawab
dengan kompak,
“BUKAN!”
To be continued…
****
Komentar
Posting Komentar