Langsung ke konten utama

Unggulan

REVIEW BUKU "GILBERT CHOCKY: DAVE GROHL"

Gue memutuskan untuk membeli buku ini saat kegiatan Banten Bookfair 2023 berlangsung di gedung Perpustakaan Daerah Banten pada 18 Mei 2023 silam. Kegiatan yang mempertemukan gue kembali dengan sobat karib bernama Gebrina Sephira, atau biasa dipanggil Gegeb, merupakan suatu keberuntungan. Merasa beruntung karena sudah cukup lama tidak bersua sambil membahas buku-buku yang sedang trending, maupun membahas buku-buku lama namun masih layak untuk dibaca. Terlebih di acara tersebut, gue bisa langsung bertatap muka dengan salah satu penulis kondang yang bukunya menjadi best-seller di tahun 2019. Henry Manampiring, penulis buku bertema filsafat berjudul Filosofi Teras. Tapi kali ini gue belum mau bahas Filosofi Teras. Gue bakal bahas buku yang mana sosok didalamnya cukup menyita perhatian setelah beliau meng-cover lagu milik Lisa Loeb berjudul Stay pada tahun 2021 di kanal YouTube Foo Fighters. gambar: pribadi A.      TENTANG BUKU Buku ini ditulis oleh Gilbert Chocky, ri...

MOCI DAN TEH HIJAU (Part 2): WARTEG BUDE NARTI DAN SENANDUNG PENGKOLAN


Jarum jam terus berdetak, sesuai dengan arahnya. Ke kanan.
Aku turuti kemauanmu. Kembalilah kita bercerita.


Memang di usia dan kondisimu sekarang ini, kamu tidak ingin nasihat. Melainkan satu sosok yang bisa jadi pendengar yang baik. Bukan begitu?


Apa yang jadi keluhanmu saat ini, pasti sudah pernah dirasakan oleh banyak orang. Tidak terkecuali aku. Aku yakin kalau semuanya adalah proses, proses agar kau menjadi dewasa.


“Kamu mau tambah teh nya? Sudah habis, tuh!”

Ucapmu sambil mengunyah. Aku hanya menggeleng sambil tersenyum.

“Lanjut saja ceritanya. Nanti aku tuang sendiri.”

“Hmmm.. enggak. Sahabat yang baik adalah ia yang menuangkan teh hijau ke cangkir sahabatnya.”

Aku tersipu. Sial!


Jarum jam tangan hitamku menunjuk ke angka tiga. Satu jam berlalu dan kau masih bercerita tentangnya. Jujur, telingaku panas mendengarnya. Aku cemburu? Tidak. Hanya saja… ayolah. Ganti topikmu!


Suara telapak kaki yang sangat aku kenal sedang menuju teras. Tidak lain dan tidak bukan adalah langkah kaki ayah.


“Kalian masih disini? Keluarlah.. Gerimis sudah reda.”

Aku mengerutkan kening.

“Ayah ngusir aku sama Sakti?”

Pria yang tadinya duduk disebelahku, kini berdiri sigap sambil mengambil helm yang tergeletak dibawah kursinya.

“Siap ayah, kita juga ada rencana jalan-jalan kok sore ini!”

Ucapnya sambil menyeringai. Manis sekali.


****


Ucapan ayah ternyata salah. 10 menit setelah meninggalkan rumah untuk jalan-jalan sore, gerimis kembali turun. Bukan. Bukan salah ucapan ayah. Toh aku menganggapnya hanyalah dugaan.


“Hari ini kita kemana?”

Ucapnya sambil sedikit menengok kebelakang.

“Terserah kamu, kamu yang ajak ya aku ngikut.”

Ia menggeleng kepalanya dan mencoba untuk menepi. Pria berlesung pipit itu melepas helm dan turun dari vespa klasiknya. Siapa lagi kalau bukan ‘Si Antik’? Di pinggir jalan, seberang warteg yang lumayan ramai pengunjung tepatnya.

“Kamu lapar enggak?”

Aku mengangkat kedua alis dan mengembungkan pipi. Ia sangat hapal dengan ekspresi wajahku yang satu ini.

“Oke. Kita nyebrang. Aku yakin kamu masih suka oreg teri kacang dan tumis kangkung. Oh iya, tidak lupa dengan sambal terasi, plus jus alpukat.”


Aku menepuk pundak sambil memberi acungan jempol padanya.


Sesampainya di depan warteg, aku dan Sakti disambut baik oleh kedua anak pemilik warteg legendaris semasa kami kuliah dulu. Siapa lagi kalau bukan Bude Narti? Bude Narti adalah salah satu dari sekian pemilik warteg yang aku kenal di dekat kampus. Sosok yang sangat ramah, hangat, dan mudah bergaul.


“Ehh, mbak Gendis. Masuk. Mau makan apa?”

Ucap Agus, mahasiswa semester enam yang juga salah satu juniorku di Fakultas Ilmu Komunikasi. Tidak lupa pula dengan Anisa yang sama-sama mengambil jurusan Marketing Communication, menyambut Sakti dengan senyum manisnya.

“Ehh, kalau dua anak ini biar ibu yang layanin. Cuma ibu yang tahu apa maunya mereka.”

Aku dan Sakti saling berpandangan dan memamerkan gigi.


Oh iya, sedari tadi aku bercerita ternyata aku belum memperkenalkan siapa namaku dan pria bernama Sakti. Sengaja, agar kalian penasaran. Bagi kalian yang penasaran, baiklah. Akan aku kenalkan siapa sebenarnya aku dan Sakti.


****


Namaku Andhika Gendis Namira. Panggilanku Gendis, anak tunggalnya ibu Rani dan ayah Hadi. Entah mengapa aku dipanggil Gendis ketimbang Mira. Kata ayah, karena sewaktu ibu bertanya ‘akan dipanggil siapa nama anak kita?’ eyang keceplosan menyebut ‘Gendis.” Terdengar konyol, atau sejarah namaku memang unik? Terserah. Aku lahir pada hari Senin, 15 Maret 1996 di salah satu kota yang sangat mainstream bagi para pelancong. Letaknya di Jawa Tengah. Banyak orang yang datang kemari hanya karena keindahan candi Prambanan, Tugu, jajanan murah 24 jam, gereja tua yang mulai ramai sejak muncul di film layar lebar, dan plang jalan yang sangat ramai oleh para turis untuk berfoto ria. Kalian yang membacanya pasti tahu.


Kalau Sakti nama lengkapnya Andhika Maha Sakti. Entah mengapa nama depan kita sama-sama ‘Andhika’ baik secara tulisan maupun pelafalan, dan kita juga sama-sama anak tunggal. Hanya pada tanggal, kota kelahiran, dan orang tua saja yang berbeda. Aku lahir di Kota Pendidikan, ia lahir di kota dengan simbol ikan Hiu dan Buaya. Aku dan Sakti juga sama-sama mengambil jurusan Komunikasi Pemasaran di salah satu universitas swasta di Jogja. Tuhan Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Sakti memang tampan, pintar, berani, ahhh tidak juga. Ia tidak terlalu berani karena memiliki phobia takut pada balon. Memang ada. Tak percaya? Bacalah buku!


****


Dua piring pesanan kami siap santap. Aku segera meraih garpu dan sendok, kemudian membersihkannya dengan selembar tisu. Begitu juga dengan Sakti. Tapi seperti biasa, ia akan memotret apa yang ia santap dan mengunggah ke akun medsos. Belum lagi dengan menulis caption yang bisa sampai satu menit lamanya. Wajarlah, ia sekarang menjadi… selebgram.


“Kok mas Sakti malah main hp?”

Tanya Agus padanya. Aku hanya menggeleng kepalaku sambil terus mengunyah teri yang tercampur dengan nasi di dalam mulut.

“Tenang, gus. Ini pasti di makan. Tenang!”

Agus hanya mengangguk paham dan segera berlalu setelah membawa minumanku dan Sakti.

“Gimana rasanya kena tegur pas lagi kayak gitu?”

Sakti malah asyik dengan ponselnya, pertanyaanku tidak digubris.

“Ti.. Sakti!”

Ucapku dengan nada yang sedikit tinggi.

“Hah, apa? Apa, dis?”

Aku memiringkan kepala sambil melotot padanya.

“Ow.. Okay. Aku makan sekarang yaa.”

Aku menyedot jus alpukat di hadapanku sambil mengelap nasi yang menempel di dagu. Sehabis makan dan bayar, tanpa banyak basa basi dengan bude Narti kami langsung pergi dari warteg dan kembali ke perjalanan yang entah mau kemana tujuannya.

“Sebelum kamu naik Si Antik, aku mau tahu dulu jawaban dari kamu. Kita kemana?”

Aku memutar kedua bola mata, tidak sopan namun memang aku terlanjur kesal.

“Pokoknya tempat yang anti-mainstream. Tanggung jawab, aku enggak tahu tempatnya dimana tapi yang jelas kamu harus bawa aku kesana!” Ucapku sambil menggembungkan pipi sedikit. Sakti melongo.

“Dasar cewek, ribet!” Ucapnya sambil naik keatas jok Si Antik. Aku hanya tersenyum manis padanya kemudian duduk dibelakangnya.





Sepanjang jalan, Sakti bersenandung tidak jelas. Sesekali melantunkan tembang jawa yang sedikit aku paham. Maklum, Sakti mengaku dulunya memang pernah menjadi seorang dalang cilik di sekolah. Aku percaya saja. Sakti menghentikan lajunya ketika sampai di lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi merah. Laju motor terhenti, namun tidak dengan senandungnya. Makin jadi!


“Sakti.. ihhh berisik tahu, orang-orang pada ngeliatin kita.”

“Biarin aja, biar mereka tahu. Ini senandung yang aku buat sendiri. Judulnya Senandung pengkolan.”
“Hah?”

Aku mengerutkan kening sambil menepuk pundaknya.

“Ya kamu enggak lihat disebelah kanan dan kiri ada pengkolan, ditambah aku lagi senandung dari tadi? Yaudah, aku kasih senandung ini namanya senandung pengkolan.”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Seorang bapak disebelah kiriku hanya tersenyum melihatku dan Sakti. Hingga satu kalimat ia lontarkan kepada kami.

“Mbak sama masnya pacaran? Weleeeehh

Sakti menoleh begitu juga denganku. Sontak kami menjawab dengan kompak,

“BUKAN!”


To be continued…
****


Komentar

Postingan Populer