Langsung ke konten utama

Unggulan

REVIEW BUKU "GILBERT CHOCKY: DAVE GROHL"

Gue memutuskan untuk membeli buku ini saat kegiatan Banten Bookfair 2023 berlangsung di gedung Perpustakaan Daerah Banten pada 18 Mei 2023 silam. Kegiatan yang mempertemukan gue kembali dengan sobat karib bernama Gebrina Sephira, atau biasa dipanggil Gegeb, merupakan suatu keberuntungan. Merasa beruntung karena sudah cukup lama tidak bersua sambil membahas buku-buku yang sedang trending, maupun membahas buku-buku lama namun masih layak untuk dibaca. Terlebih di acara tersebut, gue bisa langsung bertatap muka dengan salah satu penulis kondang yang bukunya menjadi best-seller di tahun 2019. Henry Manampiring, penulis buku bertema filsafat berjudul Filosofi Teras. Tapi kali ini gue belum mau bahas Filosofi Teras. Gue bakal bahas buku yang mana sosok didalamnya cukup menyita perhatian setelah beliau meng-cover lagu milik Lisa Loeb berjudul Stay pada tahun 2021 di kanal YouTube Foo Fighters. gambar: pribadi A.      TENTANG BUKU Buku ini ditulis oleh Gilbert Chocky, ri...

CERPEN: CAPUCCINO DESSERT BOX


Bayang-bayangnya terus menjadi hantu yang gentayangan dalam pikiran. Isi kepalaku berisik, sangat berisik. Dua bulan sudah tidak ada kabar darinya, aku juga harus mendisplinkan diri untuk tetap fokus dengan pekerjaan. Hal itu membuatku sesekali mudah lelah. Usaha untuk menepis perasaan yang mengganggu ini membutuhkan tenaga ekstra. Sialnya perasaan ini suka datang lagi tanpa permisi.

Tepat pada malam dimana aku meringkih di sudut kamar, aku mengangkat jemari yang bersimpul dari kolong meja sambil menatap remang lampu ibu kota. Melirik cangkir berisi teh madu yang hampir habis, serta remah roti yang diangkut oleh dua ekor semut. Aku tersenyum tipis karena merasa ditemani. Enggan rasanya beranjak dari kursi ini. Aku menunggu goresan cahaya kilat sedari tadi.

Hujan turun cukup deras sejak sore. Aku sengaja memadamkan lampu kamar agar nyala kilat terlihat dengan jelas. Sayangnya tidak ada satupun cahaya yang menyala dari atas sana. Aku mematikan televisi seraya melempar remote ke atas kasur. Mulai timbul rasa acuh dalam diri akan berbagai tontonan konyol di televisi.

Ponselku berdering. Ada lima pesan dari sahabatku Ratna yang belum dibalas. Begitu juga dengan sepuluh panggilan tak terjawab dari Faqih. Aku sudah tahu, tak lain dan tak bukan adalah mengingatkan deadline konsep yang harus diserahkan pada atasan.  Pekerjaan ini kadang kala membuatku jenuh. Tapi Ratna bilang aku hanya butuh liburan untuk menghilangkan penat. Ponselku kembali berdering dan kali ini Faqih benar-benar sedikit mengganggu.

“Hallo...”

“Neng, aduh konsep yang lo bilang mau dikirim ke gue sore ini mana? Sekarang lo lihat sudah jam berapa nih?”

Aku melirik ke arah jam dinding yang menunjuk ke angka tujuh.

“Jam tujuh malam. Ini.. ini masih gue kerjain. Maaf telat lagi, kak.”

“Gue enggak peduli alasan lo, tapi ini udah kelewatan. Lo udah lebih dari tiga kali melakukan kesalahan yang sama. Lo tahu kan art director kita kayak gimana? Gue minta tolong banget sama lo Diana. Ini tanggung jawab lo!!”

Aku menyeka air mata sambil sedikit sesenggukan. Faqih yang mendengar dari seberang sana langsung melolntarkan pertanyaan.

“Neng, hallo neng. Oii, lo nangis?”

Aku makin terisak saat Faqih terus-menerus bertanya.

“Hallo Diana, jawab dong aduh.. Dii!”

“Gu.. gue selesaikan dulu kak konsepnya. Satu jam lagi gue kirim ke email lo.”

“Enggak, pasti ada yang enggak beres dari lo. Enggak biasanya lo kayak gini, Di. Jujur sama gue!” Ucap Faqih dengan tegas.

“Gue cuma butuh istirahat aja, kak. Gue kurang enak badan aja seminggu ini. Besok pagi gue ngantor, kok.”

“Benar lo enggak kenapa-kenapa, Di?”

“Iya, kak. Diana baik-baik aja.”

“Kalau ada apa-apa langsung hubungi gue.”

Aku mengangguk sambil menyeka air mata. Faqih menutup telfon dan aku menutup wajahku dengan kedua tangan.

 

****

“Selamat pagi, Diii!”

Suara yang tidak asing buatku. Dialah Ratna, sosok yang hangat sejak aku menginjakkan kaki di perusahaan ini.

“Mata lo kenapa? Habis nangis lagi, yaaa?”

Aku tidak meresponnya dan berlalu begitu saja.

“Yehh, orang nanya enggak dijawab. Oh iya, lo diajak lunch bareng kak Faqih.”

Aku mengerutkan kening sambil menengok ke arah Ratna.

“Lah.. kok begitu mukanya? Biasa aja kali!”

“Cuma gue yang diajak?”

“Gue juga, sih. Hehehe.”

“Ohh, kirain.”

“Udah sarapan belum? Kalau belum, kebetulan gue bawain bakpao rasa cokelat dan susu kedelai kesukaan lo. Dua-duanya masih hangat. Nyokap juga nitip pesan. Katanya, jangan lupa dessert box pesanan dua hari yang lalu. Soalnya arisan keluarga di rumah gue acaranya sabtu ini.”

Ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya, sedangkan aku menatap wajah Ratna sambil menepuk kening.

“Astaga, gue belum belanja bahan-bahannya!”

“Ya udah, tenang aja! Lo bisa belanja pas pulang kerja, gue yang antar. Sekalian juga mau cari sepatu buat sepupu gue. Sekarang kita semangat dulu nih, ngejar rezeki di akhir bulan. Gimana?”

Aku tersenyum dan merangkul gadis mungil itu sambil berterima kasih. 

Tidak terasa sudah tiga tahun aku bekerja di tempat ini. Patut diakui, menjadi seorang copywriter memanglah tidak semudah yang aku kira. Mood juga sangat diperlukan. Kalau mood berantakan, pekerjaan juga terhambat. Membuat konsep, menyusun kalimat persuasif yang tepat, serta permintaan client yang terkadang di luar dugaan, membuat 80 persen orang yang bekerja di tempat ini kadang kala merasa tertekan. Termasuk aku dan Ratna yang berada dibawah pengawasan Faqih. Sosok yang perfeksionis!

****

Tepat jam makan siang, kami berdua sudah ada di dalam lift yang hanya muat 20 orang. Tidak seperti biasanya Faqih mengajak kami seperti sekarang.

“Mana kak Faqih?” Tanyaku pada Ratna.

“Iya, tadi dia chat gue katanya sudah di rooftop.”

“Lo enggak tanya dia pakai baju warna apa?”

“Yeee, mana sempat?”

Tiba-tiba Faqih muncul dihadapan sambil tersenyum lebar.

Yuk, ikut gue! Menu favorit kalian udah gue pesan."

Ujarnya sambil mempersilahkan aku dan Ratna jalan lebih dulu. Aku tersenyum tipis dibuatnya. Kami bertiga menuju meja nomor 24, meja yang sangat spesial karena di meja inilah kami bisa melihat pemandangan gedung-gedung yang menjulang.

“Gue mau minta maaf karena gue enggak tahu minuman favorit kalian apa. Jadi, sorry. Gue pesan es teh manis. Hehehe, mari makan!”

Aku dan Ratna melempar tatap satu sama lain. Sejujurnya, aku bertanya-tanya. Dari mana sosok Faqih bisa tahu makanan favoritku dan Ratna? Tapi ya sudahlah. Lebih baik aku santap saja makan siang yang sudah nampak di depan mata.

“Sebenarnya gue ajak makan siang disini sekalian mau tanya sesuatu. Khususnya buat lo!”

Pria berambut ikal itu menunjuk sendok makannya ke arahku.

“Lo enggak usah nutup-nutupin masalah. Dari pada jadi beban dan bikin enggak fokus kerja, mending keluarin unek-uneknya. Mumpung ada gue sama Ratna. Iya kan, na?”

Ratna yang nampak bingung, hanya mengangguk dan tersenyum paksa.

“Kemarin malam, lo nangis-nangis pas gue tanya perihal kerjaan. Apa karena nada bicara gue yang ketinggian, sampai bikin shock? Gue tahu lo kayak gimana, Di. Sejak awal berstatus anak magang sampai gabung jadi keluarga besar perusahaan ini, baru tadi malam gue dengar suara lo nangis sesenggukan. Ada apa?”

Aku tidak memberikan respon apapun selain mengunyah cumi asin pedas dalam mulut. Aku melirik sekitar sambil berusaha menelan makanan.

“Diana gue serius, bukan sekali – dua kali lo kayak gini. Dua minggu lalu, project hampir batal karena lo telat kasih konsep. Minggu berikutnya, project beneran cancel. Client kita sampai ngomel-ngomel ke Sarah. Pak Dodi tuh.. bos kita yang kelihatan enggak pernah nunjukkin marahnya, cuma bisa geleng-geleng kepala. Yaa meskipun mukanya merah kayak kepiting rebus! Sampai akhirnya gue, lo, Ratna, Ardi, Bayu, Alika, dan Toto kena imbas. Lo kan project leader di tim ini. Masa iya lo rela kena omel atasan lagi, telinga lo udah setebal apa? Apa lo udah enggak betah kerja disini?”

Aku menyedot es teh manis dan menarik selembar tisu untuk membersihkan sisa lemak makanan di bibir.

“Gini, kak. Gue mau minta maaf sama tim. Ini murni kesalahan gue dan gue...”

Faqih dan Ratna menatapku tajam, menanti ucapanku selanjutnya. Aku sama sekali tidak bisa menjawab pertanyaan satu ini. Hembusan angin tidak cukup membuatku tenang. Makanan juga tidak habis.

“Sorry, kak. Kalau mau bahas ini boleh enggak lain kali aja? Lagi pula project udah selesai, kan?”

“Iya udah selesai. Tapi begitu gue perhatikan konsep yang lo buat, kayak ada yang kurang. Jangankan gue atau yang lain, orang yang disebelah lo ini… coba tanya pendapatnya tentang konsep yang lo buat. Enggak “se-liar” Diana yang dulu, yang selalu out of the box, selalu berani ambil konsep yang enggak biasa.”

Aku menghela napas dan menghabiskan es teh manis dihadapanku. Ratna langsung mengambil secarik tisu dan menyeka air mataku yang perlahan menitik. Seketika meja kami menjadi pusat perhatian sekitar.

“Kak, kayaknya nanti aja tanya soal keadaan Diana. Lagian Diana bilang ke gue kalau dia kurang enak badan, kok."

Oke, Di. Gue minta maaf tapi please jangan nangis. Gue kan cowok sendiri diantara kalian berdua, entar disangka ngapa-ngapain lo. Udah yaa..”

Aku mengangguk pada Faqih dan kami bertiga kembali turun menuju ruang kerja.

****

Seperti kesepakatan tadi pagi, Ratna mengantarku ke tempat belanja. Ada toko roti langganan kami yang juga menjual berbagai perlengkapan bahan untuk membuat dessert box. Kami beruntung jalanan tidak terlalu macet seperti biasa. Dua puluh menit waktu tempuh kami untuk sampai ke lokasi. Aku sangat suka membeli roti disini. Selain enak, rotinya sangat lembut. Ada banyak varian juga sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

Aku membuka pintu toko yang terdapat lonceng di dalam ruangan. Aku suka suara loncengnya.

“Hallo kak Diana?!”

Ujar Hulya, gadis manis pemilik toko roti yang sangat legendaris. 

“Hallo juga, Hulya. Ibu mana?”

“Ibu lagi ke Lebak Bulus, kak. Jemput adik.”

“Sekolah?”

“Bukan, les biola.”

“Wahhh!! Sejak kapan adikmu main biola?”

“Baru-baru ini. Oh iya, kakak mau belanja?”

“Iyaa, ada pesanan dessert box lagi. Kira-kira bahannya masih ada gak?”

“Kebetulan banget, barangnya baru aja datang tadi pagi. Mau beli roti juga sekalian?”

“Boleh, sekalian selai dan madu ya!”

Ratna yang sedari tadi sudah mengambil keranjang dan memilih belanjaan, nampak sibuk melihat harga yang tertera di etalase. Sedangkan Hulya sibuk memilih bahan-bahan untuk dessert box yang kemudian ia siapkan di meja kasir.

Saat melihat-lihat harga produk di rak, tiba-tiba madu yang aku genggam jatuh ke lantai karena seseorang menyenggolku. Beruntungnya toples yang berbahan dasar kaca ini hanya sedikit retak. Mendengar suara gaduh, Hulya dan Ratna segera menghampiriku dan satu orang yang nampak asing di toko ini.

“Aduh, ma.. maaf.” Ucap pria itu. Hulya langsung menegur pegawai tersebut yang tak henti meminta maaf.

“Iya Hulya, enggak apa-apa. Lagian toples madunya cuma retak.”

“Iyah tapi tetap aja kakak tuh pelanggan aku. Setno, tolong ambil voucher. Kasih ke kak Diana sekarang!”

Pria itu segera meninggalkan kami. Hulya masih saja meminta maaf dan menjelaskan kalau Setno adalah sepupunya yang baru satu minggu bekerja di toko ini.

“Ini, kak. Saya minta maaf, ini saya ambilkan keranjang supaya belanjaannya kakak enggak jatuh lagi, dan ini voucher belanja, berlaku sampai satu minggu. Sekali lagi, saya minta maaf.”

Aku mengangguk dan tersenyum padanya.

“Oke, terima kasih. Tadi namanya Setno, ya? Lain kali hati-hati.”

****

“Hadeh, ada-ada aja belanjaan pakai jatoh.” Ujar Ratna membuka percakapan di dalam mobil.

“Hehehe, namanya juga pegawai baru. Mungkin belum terbiasa sama ruangan di toko. Lagi pula, toko roti peninggalan kakek buyutnya Hulya tuh udah empat puluh tahun. Renovasi paling bikin taman kecil di sisi kanan dan kiri halaman depan, atau ganti warna cat. Satu lagi, tambahan perintilan toko biar kelihatan cantik. Enggak pernah ada ucapan rombak ruangan supaya lebih luas.”

“Tapi kok gue betah ya lama-lama di toko roti itu?”

“Apa gue bilang, lo bakal betah belanja di sana. Empat puluh tahun berdiri, belum pernah gue dengar itu toko hampir bangkrut. Tempatnya bersih, rotinya enak, kalau ada komplain, kita dikasih voucher kayak gini.  Terus lo lihat sendiri, gimana perlakuan Hulya ke pegawainya yang enggak sengaja nyenggol gue? Dia langsung yang turun tangan. Pelayanan dan kualitas produk yang baik jadi pegangan keluarga itu.”

Ratna tersenyum sambil menstarter mobilnya. Tidak lupa menyiapkan uang selembar dua ribu rupiah untuk tukang parkir.

“Salut gue sama keluarganya Hulya. Tapi kalau di lihat-lihat, mas siapa namanya tuh yang pegawai?”

“Setno..”

“Iya Setno.. dia cute juga ya. Seumuran kita gini enggak, sih?”

Aku menengok kearahnya sambil menatapnya sinis. Ratna malah terkekeh!

“Yahaha, gue bercanda. Biasa aja dong! Atau jangan-jangan lo yang naksir?  Hahaha!”

“Ehhh.. Jangan ngawur!”

“Eh tapi, apa kabar si mas-mas kece? Kok gue enggak pernah lihat lagi batang hidungnya?”

Aku menghela napas dan seketika raut wajahku berubah.

“Ehh, aduh sorry gue enggak ada maksud..”

“Iyah, enggak apa-apa. Lagian kalau belum jodoh mau bilang apa? Semua udah kuasa dari-Nya lagi. Gue percaya, suatu hari nanti bakal ada sosok yang tepat buat gue.”

So sweet banget sihhh temen gue? Emang enggak salah gue pilih teman. Terima kasih yaa Tuhan!”

“Mulai dehh, dasar receh!”

****

Aku bersyukur karena langit sangat cerah. Dessert box pesanan ibunya Ratna sudah siap, dan sepiring avocado toast untuk aku sarapan juga sudah siap santap. Ponselku berdering, sepertinya dari Ratna.

“Hallo, Di. Gimana, udah siap?”

“Ehh, iyah udah siap. Tinggal angkut aja.”

“Bagus, 60 box kan?”

Aku hampir saja tersedak karena Ratna menyebutkan angka 60 box, padahal kesepakatan untuk pemesanan hanya 40 box.

“Ahh, serius loh? Katanya 40, segitu juga udah gue kasih bonus 5 box buat lo dan nyokap.”

 “Ahahaha, bercanda. Gue sama Riko sebentar lagi sampai, nih.”

“Loh, ini baru mau gue pesan ojol.”

“Adeuh, lo kayak enggak kenal nyokap gue aja. Tahu sendiri, nyokap gue paling anti kalau pesanan begini pakai jasa ojol.”

Aku coba mengingat insiden yang membuat ibunya Ratna tidak mau lagi memesan makanan menggunakan jasa ojek online. Sebuah kecelakaan tabrak lari yang menewaskan pengendara sepeda motor pada 16 Juli 2020. Pengendara sepeda motor tersebut adalah ojol yang mengantar pesanan makanan untuk ibunya Ratna. Hal tersebut membuat ibunya Ratna bersimpati dan merasa bersalah.

‘Kalau saja waktu itu mama tidak pesan makanan lewat ojol, pasti si bapak itu masih hidup, nak.’

Padahal ibunya Ratna sama sekali tidak melakukan kesalahan apapun. Justru yang salah adalah pengendara mobil yang tidak bertanggung jawab atas kesalahannya. Aku menghela napas dan meneguk segelas air putih.

“Ya udah kalau begitu, hati-hati ya.”

****

Lonceng kamar apartemen berbunyi dua kali, nampaknya itu Ratna dan suaminya. Benar saja, gadis bermata sipit itu memelukku. Aku berjabat tangan dengan suaminya seraya mempersilahkan masuk.

“Eh, mau minum dulu barangkali?”

“Ehh enggak usah, Di. Kita buru-buru banget habisnya, satu jam lagi acara mau dimulai. Iya kan, yang?”

Suami Ratna mengangguk sambil tersenyum padaku.

“Oke, deh. Ini udah gue siapin, tinggal bawa aja.”

“Harusnya lo ikut acara kita, lumayan promosi makanan buatan lo. Lagian nyokap nanyain lo terus, tuh.”

“Aduh, lain kali deh. Gue kayaknya butuh istirahat banget, nih. Salam aja buat nyokap, ya.”

Ratna serta suaminya pamit pulang dan membawa pesanan. Aku menghela nafas dan meneguk segelas air putih. Tersenyum sambil bersyukur dalam hati karena telah dipertemukan orang-orang baik seperti mereka. Panjang umur kalian semua.

Karena hari ini adalah hari libur, aku segera menghabiskan sarapan dan mencuci piring serta lanjut untuk membersihkan hunian. Alunan musk dari ponsel menemaniku selama membersihkan ruangan.

Tepat pukul sepuluh malam, aku mencoba untuk terlelap agar besok bisa kembali bekerja. Beberapa pesan masuk baru aku baca setelah tubuh ini merebah di tempat tidur. Beberapa dari grup kantor, grup keuarga, dan yang terakhir Ratna. Ia mengucapkan terima kasih karena aku sudah membuatkan dessert yang enak. Satu lagi pesan dari nomor yang tidak aku ketahui. Mengucapkan selamat tidur yang sebelumnya memintaku untuk keluar kamar karena ada paket yang dikirim untukku. Aku mengerutkan kening, berpikir siapa pengirimnya. Namun aku tepis dan masa bodo dengan itu. Aku meraih buku novel yang belum selesai dibaca selama satu bulan karena kesibukan. Dua puluh menit kemudian, aku menandai halaman yang selesai aku baca dengan pembatas buku buatan sendiri. Aku memang “suka” menghilangkan pembatas buku. Kumatikan lampu dan terlelap.

****

Aku membuka pintu dan siap untuk berangkat kerja. Kudapatkan satu cup kopi yang sudah dingin. Sepertinya ini kiriman dari seseorang yang mengirim whatsapp semalam. Masih ada bill  yang tertera pula. Aku menyunggingkan senyum dan membiarkannya menggantung di daun pintu. Sesampainya di kantor, aku berjumpa dengan Faqih yang memberiku seporsi bubur ayam. Padahal aku sudah sarapan.

“Dalam rangka apa ini?”

“Permintaan maaf gue karena udah bikin lo mewek di kantin waktu itu.”

Aku tertawa sambil mengacungkan jempol.

“Masih ingat aja, gue sendiri udah lupa. Thank you, kak.”

“Jangan lupa, konsep jangan telat lagi. Karena kita dapat project yang lumayan, nih!”

Ucapnya sambil berlari ke dalam lift. Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dari kejauhan ada Ratna yang melambaikan tangan. Aku sontak menahan pintu lift dan membiarkannya masuk.

“Terima kasih sayangkuuu, keluarga gue suka dessert buatan lo. Enak banget!”

“Oh ya... syukurlah,”

Faqih tiba-tiba menepuk pundak kami berdua.

Dessert apaan, kok enggak bagi-bagi gue?!”

Aku dan Ratna saling melempar tatap satu sama lain, bersamaan dengan pintu lift yang tertutup. Seperti yang Faqih bilang, hari ini akan ada meeting. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dan tidak ingin mengecewakan Faqih sebagai teman satu tim. Meeting dimulai jam sepuluh pagi dan selesai pada jam setengah sebelas siang. Aku berharap, client puas dengan kerja sama ini. Karena sedikit suntuk, aku meminta tolong untuk dibuatkan kopi oleh mas Dudi. Aku mengeluarkan buku agenda dan headset. Mencatat kegiatan tiga puluh menit lalu sambil mendengarkan musik. Lanjut membuat konsep yang sudah aku rancang sebelum diserahkan pada Faqih. Masuk jam makan siang, Ratna tidak mengajakku pergi ke kantin. Kebetulan ia membawa bekal sendiri, lagi pula bubur ayam pemberian Faqih belum aku sentuh. Alhasil, aku panaskan saja bubur ayam pemberiannya.

“Tumben bawa bekal, bagi dong?!”

“Yeee, sendirinya tumben enggak ke kantin?”

“Habisnya gue perhatiin dari tadi pagi, lu bawa tote bag. Pasti isinya makan siang. Ya udah, gue pesan makan siang gue sendiri biar makan bareng kalian.”

Ratna mengacungkan jempol sambil tersenyum pada Faqih.

“Di, itu bubur ayam belum dimakan?”

Aku menyeringai pada Faqih dan berlalu menuju pantry. Aku memasukkan bubur ayam yang sudah aku pindahkan ke mangkuk untuk dipanaskan kedalam microwave. Satu menit cukup kurasa. Setelah selesai, aku segera menghampiri mereka berdua yang sudah menungguku untuk makan siang bersama. Kita bertiga layaknya kakak dan adik. Aku tidak punya siapa-siapa di tengah kerasnya Jakarta selain Ratna dan ibunya, Hulya, serta Faqih.

“Di, semalam ada kiriman gak ke apart lo?”

Aku terdiam dan menghentikan sejenak kunyahan.

“Kok kak Faqih tahu ada kiriman buat aku semalam?”

Faqih yang sedang meneguk jus jeruk tersedak dan menarik tisu dan membersihkan mulutnya.

“Aduh, salah ngomong gue. Hehehe, terusin aja makannya!”

“Enggak, kakak tahu dari mana? Kakak yang kirim?”

Ia langsung meneruskan makan tanpa mempedulikan pertanyaanku. Ratna menyuruhnya untuk berhenti dan menjawab pertanyaanku. Aku hilang selera makan, sayangnya aku harus menghabiskan makanan ini. Nanti saja sepulang kerja aku minta Faqih untuk membahas soal kiriman semalam.

****

Aku menghirup udara segar setelah keluar kantor. Aku menghampiri Faqih dan mendesaknya untuk menceritakan tentang kiriman semalam. Tidak tanggung-tanggung, aku memaksa masuk kedalam mobilnya dan duduk di kursi depan. Faqih menghela napas dan menganggukkan kepala. Aku menelpon Ratna karena tidak jadi pulang bersamanya. Aku terpaksa melakukan ini karena ada sesuatu yang mengganjal dari kiriman tersebut.

Sepanjang jalan, kami membisu. Hanya radio yang memutar lagu-lagu hits masa kini sebagai penghangat suasana. Sama sekali tidak ada topik pembicaraan, sosok Faqih yang biasa terlihat sangat bersemangat kini berubah menjadi sosok pendiam. Ada juga yang aneh darinya. Baru kali ini aku melihatnya memberikan koin kepada pengamen jalan. Aku tersenyum sambil menatap lampu lalu lintas yang berubah warna menjadi hijau.

“Tumben kasih koin ke pengamen, kak?”

“Emang orang macam gue enggak boleh baik ya sama orang?”

Aku menatapnya sambil tertawa.

“Apaan, sih.. ngetawain gue? Kalau mau nolong ya nolong aja. Enggak usah ngarep dapat pamrih. Intinya menolong orang!”

“Tuh, ini bukan kak Faqih yang aku kenal. Bukannya kakak pernah bilang kalau pengamen itu pemalas, mereka menomor duakan pendidikan, tinggal di lingkungan yang sulit untuk menerima kemajuan dan sudah terlalu nyaman dengan keadaan?”

Ia hanya tersenyum lembut, sambil menggeleng padaku.

“Ya, ada aja yang ngajarin. Nanti juga lo ketemu orangnya,”

“Hah, siapa?”

“Lo kenal, kok.”

Aku semakin penasaran dan kepalaku mulai berisik. Waktu tempuh kami sudah dua puluh menit, kali ini kak Faqih sedikit kesal karena terjebak macet, ia menawariku untuk mampir sebentar ke salah satu warteg yang nampaknya cukup ramai di depan sana. Aku menolaknya. Bukan karena gengsi makan di tempat itu, melainkan rasa laparku kalah dengan rasa penasaran. Aku bertanya pada Faqih apa ada hubungannya dengan kiriman semalam? Lagi-lagi jawabannya.. nanti juga lo tahu orangnya. Lo kenal, kok! Aku lelah berkomentar.

Lima belas menit berlalu, kemacetan mulai reda dan akhirnya kami sampai di tujuan yang lumayan ramai. Kami berhenti di parkiran khusus, terpisah dari lokasi yang ditunjuk Faqih. Kami harus berjalan kaki selama lima menit dari tempat parkir. Alasannya untuk menghindari kemacetan. Terlebih banyak anak kecil yang berlalu-lalang disana.

“Tempatnya dimana, kak?”

“Udah nanti lo juga...”

“Ya udah iya-iya gue nanti juga tahu tempatnya.”

Dari kejauhan, terdapat sebuah Van yang terparkir dengan standing banner bertuliskan ‘Ruang Baca Asyik’, cukup ramai. Disebelahnya juga ada meja dan tiga orang yang nampaknya sibuk menyiapkan makanan dan minuman untuk anak-anak jalanan. Tempatnya terlihat ‘kekinian’, aku yang penasaran berjalan lebih cepat dari Faqih. Ada seorang anak kecil yang nampaknya kesulitan membaca. Ia terus memeluk boneka beruangnya yang sudah usang. Aku menghampiri dan membantunya. Anak kecil itu nampak kebingungan dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Ia terus memperhatikanku, aku memakluminya.

“Kak, serius disini?”

“Iya, gue mau kita santai dulu malam ini. Udah lama juga kita enggak nongkrong bareng. Sayangnya lo enggak ajak Ratna. Gimana, instagramable banget kan tempatnya?”

“Ini dari Dinas Sosial?”

“Hahhaa, apaan? Bukan! Gue udah bilang, lo pasti tahu orang dibalik ini semua. Mendingan kita pesan capuccino, enak banget. Terlebih untuk pekerja kantoran kelas milennial dan ngehe macam kita ini, bisa bayar seikhlasnya!”

Untuk meredam rasa penasaran, aku mengiyakan ajakannya. Dua capuccino hangat sudah di tangan kami. Faqih mengajakku untuk duduk beralaskan tikar diatas rumput dan dibawah naungan lampu-lampu yang dimasukkan kedalam botol bekas air mineral plastik. Sangat unik, botol bekas itu sebagian ada yang diwarnai dengan cat, sebagian lagi tidak. Listrik dialirkan dari energi genset yang dipantau seorang pria paruh baya.

“Bisa dibilang, daerah ini adalah tempat tinggalnya para pemulung dan pengamen jalanan. Dulu, tempat ini tuh serem banget. Tempatnya kotor, kumuh, rawan perampokan. Meskipun banyak yang tinggal disini, tapi mereka acuh banget. Ditambah mereka enggak peduli dengan lingkungan tempat tinggalnya yang bisa menjadi sumber penyakit. Prinsipnya ‘yang penting bisa makan dan tidur dengan nyenyak.’ Tapi berkat uluran tangan orang baik yang mengajak beberapa anak muda Jakarta, tempat ini jadi seperti sekarang. Kurang lebih sudah berjalan satu tahun. Anak-anak jalanan sepulang “kerja” datang kemari untuk belajar. Orang ini juga yang ngajarin gue tentang nikmat hidup dan bersyukur. Pokoknya, pandangan gue akan anak-anak jalanan, berubah berkat dia.”

Ucapnya sambil menyeruput capuccino hangat. Aku memandangi anak-anak jalanan yang nampak sangat nyaman di tempat ini. Aku tertegun akan pengakuan Faqih.

“Ehh minum, keburu dingin enggak enak nanti!”

Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Aku menyeruput pelan. Faqih benar, Capuccino ini enak sekali. Aku menghela nafas dan memejamkan kedua mata.

“Yehh, malah tidur!”

Mendengar ucapannya, aku tertawa dan menonjoknya pelan.

“Gue enggak tidur, kak. Tapi ini enak banget. Siapa yang racik ya?”

“Hmmmm, yang jelas bukan dari ketiga orang itu.”

“Oke, kakak pasti bakal bilang...”

“Nanti juga lo tahu orangnya, Dianaaaa! Sabar, sayangnya kemana ya tuh orang?”

Penasaranku terbayar! Aku melihat ada sosok yang keluar dari Van tersebut. Sosok bertopi dan mengenakan apron cokelat itu tak henti-hentinya aku tatap. Semakin lama aku memandangnya, air di pelupuk mataku tak terbendung lagi. Aku membatu.

“Di, tenang dulu. Maaf kalau gue udah dua kali bikin lo nangis dan merahasiakan ini semua, tapi tolong kali ini tenang. Gue udah jauh-jauh ajak lo kesini karena ini amanat dari dia!”

Aku terisak dan meletakkan Capuccino. Aku mengambil tisu dari dalam tas dan menyeka air mata.

“Kak, pergi, yuk? Ini bayar seikhlasnya, kan?”

“Iya, ehh tapi kok lo tahu?”

Aku tidak menjawab pertanyannya. Aku segera mengenakan sepatu dan beranjak dari sana. Namun dari kejauhan, sosok yang aku tatap kurang dari tiga puluh detik tadi memanggilku dan Faqih. Aku berlalu begitu saja!

****

14 Maret 2020, tepat hari ini aku pergi ke tempat yang dua bulan lalu aku kunjungi bersama Faqih. Namun kali ini aku memberanikan diri untuk datang tanpa ditemani siapapun. Sangat ramai ketika sore, di dominasi oleh anak jalanan. Kali ini, aku mengganti high heels dengan sneakers yang hampir usang. Aku membungkus heels dan memasukannya kedalam ransel. Rambutku tidak lupa  disisir setelah berantakan karena helm. Perjalanan kemari tidak membutuhkan waktu lama karena beruntungnya jalanan Ibu Kota hari ini tidak padat.

Aku berjalan dengan santai menuju lokasi dengan sedikit was was. Jika Faqih mengajakku kemari ada hubungannya dengan kiriman satu bulan lalu, aku akan mencari tahu sendiri. Terlihat sosok anak perempuan yang satu bulan lalu aku hampiri sedang membaca buku. Kali ini, dengan seksama aku mendengar ia mulai lancar membaca. Aku berdiri di sebelahnya sambil memberikannya sekotak roti tawar dengan selai stroberi dan madu. Aku harap ia menyukainya. Lalu anak itu mengucapkan terima kasih dan berlari menghampiri teman-temannya. Aku melambaikan tangan saat mereka menatapku.

Sosok yang sebulan lalu memanggilku ternyata muncul di hadapan. Tersenyum manis dan melambaikan tangan. Masih dengan apron cokelatnya yang ia kenakan, aku mematung dengan tatapan kosong. Aku menggenggam kedua tali ransel dengan mulut yang sedikit menganga. Aku berbalik dan berjalan dengan cepat meninggalkannya, terdengar ia mencoba mengejarku namun aku semakin kencang berlari. Aku meninggalkannya, namun dengan cepat ia menghentikan langkahku. Ia menghalangi jalanku dengan merentangkan kedua tangannya. Aku sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk lolos kedua kalinya. Aku mencoba menerobosnya tapi tenaganya tak terkalahkan. Ia memelukku dengan erat, sangat erat. Air mataku menitik seiring dengan pelukannya yang semakin lama. Adzan maghrib berkumandang dari segala penjuru.

****

Aku duduk di tempat yang sama seperti Faqih mengajakku pertama kali. Sambil menyeruput capuccino hangat, aku mencoba untuk menenangkan diri. Faqih yang satu menit lalu menanyakan keberadaan dan berkata akan menjemputku pulang, telah aku tolak baik-baik. Aku bisa pulang sendiri.

Sosok yang membuatku menangis dan berusaha untuk berlari sejauh mungkin saat bertemu dengannya adalah Rama. Ya, sosok yang di awal cerita disebut namanya oleh Ratna.

“Gimana, masih enak bukan minuman buatanku?”

Aku memandangnya dengan nanar, apa yang membuatnya tiba-tiba menjadi seperti sekarang? Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaannya.

“Syukur, deh. Kalau kamu suka yaa aku senang, Di.”

Aku meneguk kembali minuman ini selagi hangat. Anak-anak jalanan yang sedang berlatih musikalisasi puisi menjadi pemandanganku malam itu.

“Di, kalau besok kamu libur datanglah kemari. Kita butuh relawan pengajar. Banyak yang daftar menjadi relawan. Tapi yang bisa meluangkan waktu, hehee. Kamu bisa lihat sendiri. Berapa orang yang kamu lihat sejak pertama kali datang kemari?”

Aku mencoba tersenyum padanya meskipun dengan sedikit paksaan.

“Mas Rama!”

Salah satu relawan perempuan yang usianya nampak dibawahku menghampiri kami berdua.

“Iya, ki. Kenapa?”

“Saya mau izin pulang dulu, mas. Saya mau beli obat untuk ibu ke klinik. Obat ibu habis.”

Rama mengizinkan relawan tersebut untuk pulang lebih dulu. Aku melihatnya yang nampak berbeda malam ini, ia sangat berbeda. Rambut gondrongnya tidak lagi menjadi hiasan, namun kaca mata dan kumis tipisnya masih bisa kulihat dengan jelas.

“Kamu kesini sendiri?”

“Iya.”

“Faqih dan siapa satu lagi teman kamu yang kecil itu?”

“Oh, Ratna?”

“Iya Ratna. Kenapa enggak diajak?”

“Enggak, lagi pula aku sengaja datang kesini sendiri. Aku mau lihat anak kecil yang itu, yang rambutnya dikuncir dua, yang peluk boneka beruang.”

Ia memperhatikan anak perempuan dengan boneka beruang cokelat yang dipeluknya, sesekali ia genggam atau menitipkannya ke teman-teman.

“Ohh, itu. Namanya Cika. Usianya baru enam tahun, dia tinggal dengan sepupu dan neneknya. Rumahnya enggak jauh kok dari taman baca. Setiap hari dia kesini bareng sepupunya yang usia sepuluh tahun. Namanya Roni.  Tuhh anaknya, yang lagi main.”

Ia menunjuk satu anak dengan jersey Arsenal dan celana jeans yang sedikit kotor.

“Orang tuanya kemana?”

“Yaa, menurut tetangga sekitar sihh kabur gitu aja setelah bercerai. Kalau Roni, ibunya merantau ke Batam tapi enggak pernah pulang. Jangankan pulang, kasih kabar saja tidak.”

Aku menatap kedua anak itu sambil kembali meneguk minumanku.

“Satu pertanyaanku, Ram.”

“Apa?”

“Kamu melakukan ini semua buat apa?”

Ia menatapku sambil tersenyum. Tangannya ingin mengelus pipiku namun aku menepisnya.

“Jangan, Ram. Kita udah bukan siapa-siapa sekarang. Kamu yang ambil keputusan buat akhiri semua yang sudah kita bangun selama tiga tahun!”

Rama serius menatapku dan mengubah posisi duduknya. Ia mengaku menyesali apa yang telah ia perbuat. Aku hanya membalasnya dengan ekspresi wajah kecewa dan tidak sanggup untuk berkata-kata. Terlihat dengan jelas ia masih mengenakan cincin pertunangan kami yang terhitung kandas satu tahun. Tiga tahun kami menjalani hubungan spesial hingga ia datang menemuiku dan ayah. Namun dengan mudahnya ia mematahkan kepercayaan kami.

“Diana, kamu lihat cincin ini? Masih kamu simpan, kan, cincin pertunangan kita?”

Aku menggeleng padanya. Ia menghela nafas dan menyimpul jemari sambil memandang sekitar.

“Rama, aku kesini bukan ada maksud apa-apa. Aku cuma mau ketemu kamu, tapi begitu kamu bilang masih simpan cincin pertunangan kita...”

“Aku mau kita ulang lagi dari awal!”

Aku terkejut bukan main, begitu mudahnya ia mengajak untuk kembali mengulang.

“Mengulang kesalahan yg sama? Maaf, Ram. Aku enggak bisa.”

“Maafin aku, aku gamang. Aku waktu itu ragu, Di.. tapi sekarang aku yakin kita bisa jadi satu!”

Rama mencoba meraih tanganku namun aku berhasil menepisnya. Rasanya ingin saja aku pergi dari sana, tapi sama saja aku tidak bisa tegas dengan perasaanku sendiri. Aku yang bisa mengalahkan perasaan, yang hanya ingin bilang padanya ‘aku rindu’, sayangnya tidak terucap. Sama saja aku luluh!

Aku datang bukan untuk mengulang hal yang sudah berakhir. Aku hanya ingin Rama bercermin, dan belajar dari kesalahannya. Aku mencoba berdamai dan memaafkannya.

****

Tepat pada malam dimana aku meringkih di sudut kamar. Simpul jari aku tunjukkan dari kolong meja sambil menatap remang lampu ibu kota. Aku melirik cangkir berisi teh madu yang hampir habis serta remah roti yang diangkut oleh dua ekor semut. Aku tidak peduli, setidaknya mereka menemaniku malam ini. Aku enggan beranjak dari kursi yang menghadap keluar kamar apartemen. Aku menunggu goresan cahaya kilat dari langit.

Air mataku terus mengalir dengan deras. Cincin yang melingkar di jari manisku telah aku kubur dalam vas bunga berisi pasir. Aku merasa rapuh, hancur, dan tidak tahu lagi bagaimana kedepannya. Hanya kepada Tuhan aku bersandar. Ponselku berdering berkali-kali. Sebagian dari Faqih dan juga Ratna. Namun kali ini, aku mencoba kuat dan menerima panggilan Faqih, kemudian Ratna.

“Hallo, Di?”

“RATNAAAA!”

Dalam tangis aku berteriak sejadi-jadinya. Terdengar isakan dari Ratna diujung sana.

“Di, buka pintunya. Gue ada di depan kamar lo. Gue datang kesini sendiri.”

Aku segera berlari menuju pintu dan membukanya perlahan. Ku dapatkan Ratna yang menghampiri dan memelukku. Aku menangis sejadinya.

“Gue disini. Tenang, lo masih punya gue, sahabat baik lo. Gue enggak akan biarin lo sedih kedepannya. Masih ada nyokap gue yang sudah anggap lo kayak anaknya sendiri, masih ada kak Faqih yang bakal selalu kasih jokes buat lo. Ingat Diana, Tuhan enggak pernah tidur. Kelak lo bakal dapat yang lebih dari Rama.”

Aku menangis dan berteriak di pundak Ratna. Ia mencoba menenangkanku, menepuk-nepuk pundakku sambil berkata ‘Diana kuat.. Diana kuat.” Dari kejauhan, aku melihat garisan kilat yang menyala serta gemuruhnya.

****

gambar: Pribadi

Aku terbangun dengan kondisi masih setengah mengantuk. Sisa tangis kemarin malam, ahhh sudahlah. Aku ingin meminta maaf kepada bantal tidur yang selalu menjadi lahan untuk air mata ini saat menitik, menjadi telinga yang tahan dengan teriakan dan isak tangis, serta harus menahan sakit karena sering aku pukul.

Aku beranjak dari tempat tidur dan segera mengambil handuk. Mandi, dan bersiap ke kantor. Menu sarapan pagi ini secangkir Capuccino hangat, dua roti panggang yang telah dioles selai stroberi dan madu. Masih ada waktu satu jam lagi menuju kantor, namun aku sengaja ingin berangkat lebih pagi. Rasanya akan lebih tenang jika berangkat dibawah jam delapan.

Aku memasang headset dan mendengar playlist terbaru rekomendasi Faqih. Saat membuka akun media sosial, tiba-tiba saja muncul akun Rama yang mengunggah sebuah undangan pernikahan. Aku melepaskan pandanganku kedepan, berdamai dengan patah hati dan mencoba tersenyum.

Teruntuk kamu yang pernah menjadi semesta dalam hidupku, aku ucapkan banyak terima kasih. Berkat hadirmu yang singkat, aku menemukan alasan dibalik Tuhan mempertemukan kita berdua, dan menulis kisah ini bersama.

Teruntuk kamu yang pernah menjadi semesta dalam hidupku, lewat dirimu aku belajar untuk ikhlas dan menjadi sosok yang tangguh. Aku memang tidak bisa merubahmu menjadi sosok seperti yang aku minta, apalagi untuk menjadi sempurna. Begitu juga sebaliknya. Jika air mampu menumbuhkan rumput di tanah yang tandus, sayangnya cinta yang aku beri belum mampu menumbuhkan bunga dalam hatimu.

Doaku, semoga kelak dipertemukan dengan orang yang bisa mencintai tanpa ragu.

****

Komentar

Postingan Populer