Langsung ke konten utama

Unggulan

REVIEW BUKU "GILBERT CHOCKY: DAVE GROHL"

Gue memutuskan untuk membeli buku ini saat kegiatan Banten Bookfair 2023 berlangsung di gedung Perpustakaan Daerah Banten pada 18 Mei 2023 silam. Kegiatan yang mempertemukan gue kembali dengan sobat karib bernama Gebrina Sephira, atau biasa dipanggil Gegeb, merupakan suatu keberuntungan. Merasa beruntung karena sudah cukup lama tidak bersua sambil membahas buku-buku yang sedang trending, maupun membahas buku-buku lama namun masih layak untuk dibaca. Terlebih di acara tersebut, gue bisa langsung bertatap muka dengan salah satu penulis kondang yang bukunya menjadi best-seller di tahun 2019. Henry Manampiring, penulis buku bertema filsafat berjudul Filosofi Teras. Tapi kali ini gue belum mau bahas Filosofi Teras. Gue bakal bahas buku yang mana sosok didalamnya cukup menyita perhatian setelah beliau meng-cover lagu milik Lisa Loeb berjudul Stay pada tahun 2021 di kanal YouTube Foo Fighters. gambar: pribadi A.      TENTANG BUKU Buku ini ditulis oleh Gilbert Chocky, ri...

KETIKA 6 TAHUN LALU (KETIKA HARI ITU DATANG): part 1




Purnama masih tetap terang benderang dikala aku sedang merasakan takut. Ketakutan ini yang membuatku makin tersiksa, sedih, hati ini perih tak tertahankan. Mengapa aku harus terus terpikirkan oleh bayang wajahnya? Aku tak mau merasakannya. Ini hanya akan membuat diriku semakin sakit yang tidak tahu kapan berakhir. Dapatkah kau merasakan apa yang aku rasakan saat ini? Kau sangat jauh disana, aku ingin menggapaimu.  Rasa takut ini makin menjadi dikala pagi mulai datang. Aku tidak tidur semalaman, aku hanya menatap terangnya rembulan yang menemaniku malam ini. Mata semakin sulit saja rasanya untuk aku pejamkan.

Entah dimana akal sehatku, aku merasa semakin menjadi orang yang tidak waras. Raga ini makin melemah, jiwa ini tergoyahkan. Tuhan, tolonglah aku. apa yang harus aku lakukan? Kita terpisahkan oleh jarak dan waktu, sayangku. Tahukah kamu? Disini kau bisa merasakan dinginnya suhu berminus-minus derajat Celcius yang menusuk kulit, aku merasakan kepedihan disini karena lelah dilanda rindu. Di depan banyak orang aku bisa tersenyum bahagia, bisa tertawa akan penampilan opera yang dimainkan oleh kawan-kawan kampusku, tertawa akan guyonan Profesor favoritku di Laboratorium, tapi tidak akan hati ini. Hati ini menjerit, menangis, karena aku melawan apa kemauan isi hati ini. Aku ingin pulang padamu, kekasihku.

Jarum jam dinding kamar asrama menunjukkan pukul 6 pagi. Hari ini adalah hari libur, biasanya aku ke central park untuk memberi makan burung merpati disana. Ku raih jaket yang menggantung dan segera pergi dari kamar yang tidak besar itu. Menjadi lulusan S1 dengan embel-embel Engineer dari Negeri Tirai Bambu adalah hal gila yang aku lakukan, saking aku mencintai dunia sains yang sangat tidak ayahku senangi, namun menunggu kau hingga akhir hayatku juga merupakan hal yang lebih gila lagi bagiku. Ayahku, Ia lebih menginginkan anaknya menjadi seorang petani, atau bekerja di kantor Kelurahan. Ia hanya tidak mau anaknya bermimpi tinggi, oh Ayah. Sebegitu sempitnya kah pemikiranmu? Aku hanya ingin mengangkat martabatmu dan Ibu.

Hari ini adalah tepat tahun kelima dimana aku akan wisuda. Saat aku pulang, aku akan ceritakan padanya bahwa aku telah menjelajahi isi Benua Asia terbesar ini karena otak yang aku punya. Negeri ini sangat besar ayah, aku tak lagi menatapnya di peta yang aku pajang di kamar tidur. Kini aku berdiri tegak diatas tanahnya, layaknya paku yang ditancap keras ke dinding. Apakah aku menyombongkan diri? Aku tidak mau menjadi orang yang sombong. Karena aku ingat betul akan nasihatmu, sayangku. Masa sekolah yang amat aku rindukan saat itu, ku rindu saat kau menangis di pundakku, ku rindu saat kau cemberut melihat nilai Matematika mu kecil ketika ulangan dan memohon padaku untuk mengajarimu agar tidak lagi kena remedial guru killer.


****

“Biarkan dewi malam menatap sayu,
Meratapi bulan yang memudar
Biarkan bulan berjalan tunduk,
Menyambut senyuman matahari
Biarkan Matahari membuka mata,
Membangunkan alam yang lelah”
                          
                                       -Payung Teduh, Biarkan-

Hanya lagu ini yang mampu menghiburku saat aku dilanda ketakutan. Sayangku, aku masih mengharapkanmu. Aku ingin pulang, bertemu denganmu dan kembali bermain-main dengan kucing peliharaan kita dahulu.

“Andi !”
Seru seseorang yang tidak asing bagiku, Shien. Gadis manis asal Indonesia yang juga mendapat beasiswa disini. Ia melambaikan tangannya sambil berlari menghampiriku. Aku tersenyum padanya.
“Hey, ini aku bawakan roti isi untukmu. Kau pasti belum sarapan?”
Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih padanya.
“Hmmmm, akhirnya kita lulus juga. Siap untuk pulang ke Tanah Air tercinta dan mengabdi untuk kemajuan bangsa kita.”
Aku tertegun akan semangatnya yang tak luntur sejak aku pertama kali bertemu dengannya disini. Ia satu-satunya orang yang waktu itu membantuku akan bahasa Mandarin. Wajar, ia masih keturunan Chinese dan aku senang bisa bersahabat dengannya sampai hari ini.
“Roti isi lagi. Tidak ada yang lain, huh? Lagi-lagi kau melanggar peraturan dengan memasak di kamar asrama mu.”
Ucapku sambil melahap roti isi buatannya. Sangat enak roti isi Tuna buatannya.
“Hahaha, asalkan tidak ketahuan tidak apa-apa bukan?”
“Ya tapi tetap saja. Bagaimanapun juga kau telah melanggar aturan. Sekali melanggar ya tetap melanggar, sarjana macam apa kau ini?”
“Alaahh, kau ini pandai mengelak !”
“Mengelak? Aku tidak begitu. Aku cuma…”
“Cuma apa? Buktinya, roti isi buatanku tetap kau makan. Sudahlah maka saja, kau mahasiswa Indonesia yang kelaparan di negeri orang !”
Kami tertawa lepas di saat matahari mulai menyambut dengan sinarnya yang hangat. Musim dingin segera berlalu, begitu juga perayaan wisuda ku tinggal menghitung hari. Bersama Shien dan kawan-kawan mahasiswa asal Indonesia lain juga aku akan di wisuda, resmi menjadi fresh graduate dari Nanjing, Cina.
“Andi, kita telah lulus menjadi seorang sarjana teknik, 4 tahun sudah kita membuktikan bahwa kita bisa menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Itu bukan lagi pepatah yang sering kita dengar, namun sudah menjadi kenyataan yang telah kita raih. Kita pasti memiliki keinginan untuk memajukan bangsa kita saat pulang ke Tanah Air. Kau, aku, Marry, Ahmad, Fajar, Husna, dan Fahmi akan kembali ke Jakarta. Senang sekali rasanya.”
“Ya, lalu?”
“Aku ingin bertanya satu hal untukmu.”
Aku mengangguk sambil melahap roti isi tuna.
“Dari semua hal yang sudah kau dapat disini, adakah satu keinginan lain yang ingin kau raih?”
Aku mengerutkan kening.
“Maksudnya?”
Ia tertawa kecil sambil menyisir poninya dengan jari-jarinya yang putih dan mungil.
“Maksudku, adakah seseorang yang kau cintai selama ini?”
Aku berhenti mengunyah dan menelan perlahan roti isi dimulutku, meneguk air mineral yang juga ia bawakan untukku.
“Mengapa kau tanyakan itu, apa tidak ada pertanyaan lain?”
Ia menunduk dan meminta maaf padaku, wajahnya memelas. Aku tersenyum dan mengusap kepalanya, kemudian menjelaskan semuanya. Kisahku, kisahku dengan dia yang aku cinta kala itu. Dia memutuskan hubungan yang sebenarnya tak aku inginkan. Sampai sekarang aku masih menyayanginya dan berharap bisa kembali padanya, namun belum tentu juga apakah dia masih merindukanku atau tidak.
“Maafkan aku, Andi. Bukan maksudku untuk membuatmu sedih. Aku hanya ingin tahu apakah ada seseorang yang kau sukai atau tidak. Hanya itu saja, Andi. Sekali lagi aku minta maaf.”
“Tidak apa, aku mengerti.”
Ia tersenyum padaku, aku juga membalas senyumnya. Harus ku akui bahwa Shien yang selalu berusaha untuk menghiburku dikala sedih. Sampai banyak teman-teman kampus yang berkata bahwa aku memiliki hubungan khusus dengannya. Tapi  aku tetap menjelaskan bahwa aku dengannya hanya bersahabat. Entah 1, 2, atau bahkan berpuluh-puluh tahun lagi, aku akan tetap kembali untukmu, sayangku. Aku ingin sekali bertemu denganmu.

****

Sampai juga pada hari perayaan Wisuda, aku dengan gagahnya memakai toga seperti yang aku impi-impikan. Aku adalah generasi pertama di dalam keluargaku yang meraih gelar sarjana. Ayah, aku buktikan padamu sekarang. Betapa bergetar jantung ini saat Rektor Universitas memanggil namaku.
Aku melangkah di tangga podium, beliau memindahkan tali di topi toga ini ke sebelah kanan dan menjabat tanganku sambil mengucapkan selamat untukku. Mengapa tidak? Akhirnya cita-citaku tercapai. Aku akan pulang ke Indonesia dan mengabdi disana dengan ilmu yang aku bawa dari negeri ini. Sayangku, siapkah engkau menyambutku? Tak akan ku biarkan air matamu menitik, mengalir membasahi rona pipimu. Segera aku sambut kembali dirimu dengan kedua tangan ini. Aku berdo’a, semoga kau tetap menjadi seperti yang dulu. Kau masih mengingat ku, kau masih bisa tersenyum manis, senyum yang selalu menyejukkan hati ini, sayangku.

Aku melangkah keluar gedung yang megah itu menuju halamannya yang luas. Mahasiswa asal Cina, Indonesia, dan beberapa negara lain yang resmi menjadi sarjana menunjukkan rasa suka cita atas kelulusannya tahun ini. Ku hirup udara segar keberhasilan atas jerih payahku meraih beasiswa bersama Shien, Marry, Fahmi, Husna, dan kawan-kawan mahasiswa Indonesia lainnya. Foto bersama, bersalaman dari satu kawan ke kawan lain, menangis haru. Shien hari itu di hadiri oleh kedua orangtuanya dan ketiga kakaknya membuatku merasa iri hati. Berandai-andai ibu, ayah, serta adikku Fizi bisa hadir disini. Memelukku erat, menepuk pundakku, meneteskan air mata tanda haru.
“Papa, ini Andi yang biasa aku ceritakan. Andi, ini Papa ku.”
Ucapnya sambil menggandeng tangan ayahnya. Aku diperkenalkan kepada keluarganya di hari yang bersejarah itu. Ternyata Shien selama ini selalu menceritakan diriku pada keluarganya. Aku sedikit merasa malu, wajah ini memerah karena malu. Ahhh, dasar Shien.
“Shien selalu menceritakan tentang kejeniusanmu selama kuliah. Saya bangga pada nak Andi.”
“Te.. Terimakasih, om. Anak om juga berjasa sekali. Ia yang mengajari Bahasa Mandarin selama kami kuliah disini.”
“Hahah, iyah sama-sama. Saya dengar kamu akan melanjutkan S2 di Harvard? Harvard adalah salah satu kampus yang sangat di inginkan oleh Shien. Namun saya juga sangat bersyukur karena ia juga mendapatkan beasiswa di Nanjing, sama seperti nak Andi ini. saya salut akan perjuanganmu disini sampai akhirnya nak Andi bisa mencetak gelar Cumlaude dari kampus ini.”
Aduh, aku mati kutu rasanya. Shien terlalu berlebihan memamerkan diriku pada keluarganya. Aku merasa tak enak hati. Aku mencoba untuk tenang, berbicara santai seperti biasa. Ayahnya nampak sungguh takjub akan diriku. Apalah diriku ini, kecerdasan sesungguhnya hanya milik Sang Maha Kuasa yang ada didalam diriku ini hanyalah titipan belaka. Dititipkan padaku untuk sementara waktu untuk membenarkan apa yang harusnya dibenarkan selama aku hidup, dan nantinya hanya akan dikenang atau dilupakan jika aku mati kelak. 3 minggu kemudian setelah wisuda, aku berangkat ke Harvard untuk melaksanakan seminar sebagai pembicara. Aku telah mempersiapkan segalanya dengan matang.
Pada sepertiga malam aku teranjak dari tidurku, gemericik air wudhu yang tumpah, aku bersujud, berdo’a kepada Allah agar semuanya bisa dilancarkan, do’a untuk kedua orangtuaku disana, dan tidak lupa pula aku berdo’a untuknya yang aku cinta, tak henti aku mengucap namanya. Air mata yang terus menetes, tak henti pula jemari ini mengulur-ulur butiran tasbih yang terangkai dengan teratur. Ponselku berdering. Aku lihat layar ponsel ini, Shien. Ia menelponku di waktu yang masih gelap ini.
“Hallo, Shien?”
“Hey, apa kau merasa tegang?”
“Tidak, ada apa? Mengapa kau belum tidur? Ini sudah malam, Shien.”
“Ini bukan malam, tapi dini hari.”
“Ahh, terserah kau sajalah.”
“Hahahaha, tapi aku serius Andi. Aku merasa…”
“Merasa apa?”
Ia terdiam diujung telpon sana. Aku kebingungan sendiri, ada apa dengan Shien?

“Ahh, tidak. Ya sudah, sampai ketemu nanti. Aku akan merindukanmu, Andi. Jangan lupa beri kabar setelah kau tiba di kampus juara itu, dan berikan fotomu saat kau menjadi pembicara saat seminar. Aku akan merindukanmu, Andi.”

Ia langsung menutup telponnya. Shien. Aku mengakui ia adalah seorang wanita yang memiliki paras amat cantik, tapi tidak hanya cantik. Shien juga salah satu orang kepercayaan Profesor Chan di laboratorium. Shien dengan jurusannya Teknik Kimia, ia berhasil membuat Profesor Chan dan beberapa dosen di prodinya terkesima atas penelitiannya yang memakan waktu selama 1 semester. Hasil penelitiannya dimuat di majalah dalam dan luar universitas. Seketika juga ia menjadi primadona di kampus. Banyak dari sekian mahasiswa asal Indonesia, Cina, Amerika, bahkan mahasiswa asal Belanda di kampus ingin menjadi kekasihnya. Sayangnya mereka semua ditolak mentah-mentah.

Aku sendiri saksinya atas penolakan mereka. Bagaimana tidak? Setiap mereka yang ingin menyatakan cintanya pada Shien, aku selalu dijadikan bulan-bulanan mereka. Aku menjadi mak comblang para pria bule, dan oriental di kampus itu. Tapi pada akhirnya cinta mereka semua bertepuk sebelah tangan. Bagaimanapun juga, aku tetaplah sahabat baik Shien. Dan kepergianku ke Harvard adalah sebuah hal yang amat menggembirakan baginya.

Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Aku tiba di kampus yang besar itu, kampus yang menjadi sorotan banyak mata di dunia. Harvard University, aku tiba di depanmu. Aku melangkahi tiap anak tangganya. Jiwa ini terguncang, aku sangat takjub melihat kampus paling bergengsi ini. Oh sayangku, seandainya kau berada disini bersamaku. Kau pasti akan terkagum-kagum dengan bangunan ini, juga lingkungannya. Kau akan terpukau dibuatnya, kau akan terinspirasi akan syair yang kau tulis dengan pena yang kau pegang dengan jemarimu yang lentik.
 Aku masuk ke sebuah ruangan dimana itu adalah ruang auditorium. Banyak orang penting dari belahan dunia yang pernah berbicara disini, dan sekarang adalah saatnya aku berdiri disini berbicara di depan mahasiswa dan mahasiswa Harvard University, dan juga petinggi-petinggi kampusnya. Ayah, ibu, anakmu kini bisa berdiri didepan orang terpenting.  Keesokan harinya tepat pada pukul 10 pagi, aku menjadi pembicara atas di depan ratusan mahasiswa Universitas Harvard. Mempresentasikan tentang tesis yang aku buat di depan Presiden Universitas Harvard, Drew Glipin Faust dan seminggu kemudian setelah aku presentasi, potret ku dimuat di Koran dan majalah kampus The Harvard Crimson. 

Januari 2016, tak terasa 2 bulan sudah aku berada di Negeri Paman Sam ini. Aku sudah seperti selebritis saja, menghadiri beberapa event, Sains Expo, dan seminar untuk menjadi pembicara, bermain di central park, pergi untuk solat Jum’at dengan jarak yang lumayan jauh di Islamic Center. Kabar ini sampai dengan cepat ke telinga Shien, Fahmi, Marry, dan kawan-kawan seperjuanganku serta Profesor Liem di Nanjing. Aku merasakan udara yang amat sejuknya bukan main. Inikah yang disebut-sebut sebagai udara kemenangan? Menurutku belum. Ini masih awal. Tapi jujur, aku masih merasa sesak, merindukanmu. Ku ambil secarik kertas yang aku kantongi. Aku lipat menjadi beberapa lipatan, dan terbentuklah sebuah pesawat kertas. Aku lempar pesawat kertas itu ke udara dan akhirnya tersangkut di ranting pohon. Aku berkata dalam hati, aku harus pulang. Secepatnya aku akan pulang.


****

Changi Interational Airport, Singapore. Tempat pesawatku transit menuju Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kali ini aku sangat tidak sabar ingin berjumpa dengannya. Namun sebelum itu aku harus mengabari kerabatku mas Gunawan. Ia mengajakku pulang bersama ke Indonesia. Tidak menunggu waktu lama, ia sudah hadir di depanku dengan wajahnya yang penuh aura wibawa.
“Assalammu’alaikum antum.”
“Wa’alaikumsalam, mas. Wahh apa kabar? Makin gemuk. Hahahah !”
“Ahh bisa saja, ayolah pas sampai Soeta kita makan dulu. Sudah sedari tadi aku menunggu kau, mau cepat pulang aku ini. Sudah rindu dengan mama’ ku.”
Ucap mas Gunawan dengan logat Medannya yang khas. Ia adalah salah satu pangeran di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran Gigi. Pesawat menuju soeta akan berangkat 30 menit lagi. Kami harus segera naik ke pesawat atau bisa tertinggal. Selama perjalanan, mas Gunawan selalu membuatku tertawa. Beliau juga salah satu motivatorku, terlebih juga ia yang membantuku untuk mempersiapkan checklist untuk kuliah ke luar negeri. Mulai dari mempersiapkan dan mematangkan mindset, memilih beasiswa, menulis motlet dan CV, paspor dan akomodasi, dan sebagainya. Rasanya aku punya hutang budi padanya.
“Hey, coba aku mau lihat fotomu ketika berbicara di depan orang penting di kampus keren itu, ada kan?”
Aku tertawa geli mendengar logatnya. Sambil aku membuka tab dan memperlihatkan potret diriku diatas podium, ia menggeleng-gelengkan kepala, katanya takjub melihatku.
“Seandainya aku bisa melihatmu disana, waduh.. berat ini berat. hahahha.” Ujarnya sambil menepuk-nepuk pundakku.
Pesawat landing dengan aman. Setelah mengambil barang-barang kami langsung mencari restoran Padang. Sudah lama aku tidak makan rendang yang rasanya pedas menggugah selera itu sambil di temani es payakumbuh yang menyegarkan tenggorokan. Masih dengan banyolan dari pria yang selalu berkocol dengan komedinya di tengah-tengah obrolan, aku ditanya soal jodoh. Bah, macam mana pula abang ini?
“Waduh, pertanyaannya sulit di tebak nih. Yaa susah-susah gampang lah pertanyaan mas Gun ini.”
“Heyy, jangan terlalu lama kau menuntut ilmu. Kau mau kawin dengan meja memangnya? Masa’ kau kalah dengan si bujang satu itu, Fizi. Gerak cepat dia itu. Bahhh ! Pemuda jaman sekarang. Adik dulu nikah baru abang. Disana memang tidak ada yang mendekati kau? Heyy aku kasih tau kau. Menurutku kau itu soal tampang kau itu tampan tapi tidak mirip Justin Bieber atau Rangga ‘AADC’, otak pun cerdas, tapi kenapa tidak ada yang mau dengan kau? Ahhh atau..”
Ia memandangku sambil nyengir.
“Atau apa?”
“Ahh, tidak jadi. Nanti saja, nanti jika aku tanya kau akan tersedak. Hahhaha. Habiskan saja dulu rendang itu. Gampang kita bahas ini.”
Aku menggelengkan kepalaku sambil terkekeh. Inilah yang aku senangi dari mas Gunawan. Nanti akan aku perkenalkan dia padamu sayangku. Sabarlah, aku sudah pulang. Hanya beberapa kilometer lagi kau dan aku akan memandang langit yang sama seperti dulu.


****


Taxi sudah mengantarku dan mempertemukanku kembali dengan macetnya ibu kota. Huf, karena keasyikan mengobrol dengan pria tinggi tegap tadi aku sampai lupa harus pulang ke rumah. Ku rogoh saku celanaku dan membuka dompet kulit coklat tua. Aku mencoba membuka selipan potretku dengannya sewaktu SMA dulu. Ia kelihatan cantik dengan bando putih yang menghias rambutnya, serta kacamata yang mempermanis wajahnya.

Gerimis datang seakan menyambut kepulanganku kembali ke Indonesia. Aku membuka sedikit kaca jendela taxi yang aku tumpangi dan menaruh telapak tangan kananku untuk merasakan hujan yang menyambutku. Belum satu menit, pak supir menyuruhku untuk cepat-cepat menutupnya. Alasannya hanya karena takut jok nya basah terkena cipratan hujan. Aku pun tertawa renyah mendengar ucapan pria dengan kumis tebal di kursi depan itu.

Akhirnya aku sampai di rumahku tapi aneh, sangatlah berbeda. Aku hampir pangling dengan rumahku sekarang ini. Tidak ada lagi pohon alpukat di depan rumah yang banyak ulat bulu ketika hendak berbuah. Kini terganti oleh pagar besi serta banyak pot yang tumbuh bunga-bunga dan kaktus kecil, lalu nampak garasi mobil. Dari dalam taxi juga aku melihat seorang anak kecil yang sedang bermain-main sambil di pangku ibunya yang tidak lain adalah adik iparku, Fitri. Nampak berbeda dengan di foto yang Fizi kirim saat ia menikah dengannya. Fitri mulai mengenakan hijab setelah menikah dengan Fizi. Segera aku keluar dan mengambil koper serta backpack dan beberapa kantung belanjaan berisi oleh-oleh untuk ibu dan ayah, tak lupa keluarga kecil itu.

“Assalammu’alaikum, ma. Andi pulang..”

Tangan hangat dan lumayan keriput namun masih kuat menggenggam tanganku serta mendekap raga ini. Ayah menyambut kepulanganku, di susul kecupan hangat yang mendarat di kening yang tidak lain adalah Ibu. Wanita terhebat yang aku punya dan yang aku sayangi. Si kecil fikri juga masih bingung dengan siapa diriku. Ia hanya diam sambil mendekap erat ibunya. Bahkan hampir menangis ketika aku hendak menggendongnya. Langsung saja aku keluarkan robot-robotan yang aku siapkan serta memberinya.

“Nihh, om punya mainan bagus buat Fikri. Warnanya merah tuh, keren kan?”

Seketika juga ia mengubah raut wajahnya dari yang cemberut menjadi tenang. Polosnya. Aku segera membuka sepatu dan adikku Fizi membantu membawa koper dan barang-barang. Fitri nampak sibuk membuatkan minuman di dapur, ibu dan ayah duduk di sampingku sambil memijit-mijit lenganku. Masih terlihat garis wajah Ayah yang dulu tidak mengizinkanku untuk melanjutkan studi diluar negeri dengan jurusan yang aku pilih. Namun dengan modal nekat serta mengemis-ngemis di depan ibu untuk waktu yang lama, akhirnya aku bisa berangkat dan tidak mengecewakan mereka.

****

Seusai solat subuh aku membereskan baju dari dalam koper. Hari ini aku rencana ingin jalan-jalan dan mengajak keponakanku. Namun sebelumnya harus ada pendekatan terlebih dahulu. Aku mulai iseng ingin membangunkan keponakanku yang masih terlelap. Namun usahaku sia-sia karena ibu tahu lebih dulu. Akhirnya aku mengurungkan niatku.
“Hayo, mau ngapain? Iseng aja. Buat teh dulu, bantu ibu.”
Ujar ibuku sambil mencubit pipiku manja. Aku berjalan menuju dapur dan mengambil beberapa cangkir untuk membuat teh. Kebetulan aku membawa teh herbal pemberian Shien sebelum aku berangkat ke Harvard. Ahh iya, apa kabarnya gadis itu? Aku merindukannya ketika membangunkanku kala subuh hanya untuk menyuruhku solat. Namun bagaimanapun juga aku hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih dan tidak kurang. Setelah selesai kami sekeluarga berkumpul untuk sarapan pagi dan minum teh bersama di beranda rumah.
“Oh iyah sampai lupa. Aku punya hadiah untuk kalian.”
Aku berlari ke kamar dan membawa tas, mengeluarkan selebaran yang ada di dalam amplop yang tidak lain adalah ijazah, sertifikat ketika aku menjadi pembicara di acara seminar, sertifikat perlombaan, serta transkrip nilai dengan angka yang membuat adikku sedikit mengejek.
“Gue aja sekolah nggak ada mimpi kayak gini tapi bisa kayak sekarang, kok tukang galau kayak lu bisa begini? Hahaha.”
“Yaa Alhamdulillah, tapi setidaknya kan lu yang udah jadi penulis dan pengusaha sukses sekarang ini juga gak lain karena berkat abangnya juga yang mendoakan. Buktinya tuh di garasi ada ‘gerobak besi’, yaa nggak malu-maluin lah sama permaisuri dan jagoan kecil lu sekarang.”
Ucapku yang membuat mereka semua tertawa riang. Fizi gerak cepat dibandingkan aku. Ia memutuskan menikah setelah merasa mantap dengan hasil jerih payahnya. Fizi memang berbakat dalam hal berwirausaha. Tidak aneh sejak smp dulu ia sudah mencari uang saku sendiri. Mulai dari menjual kopi keliling di terminal sepulang sekolah, asongan, sampai sekarang punya café 5 cabang di Jakarta, Surabaya, dan Palembang. Dan aku dengar dari ibu kalau ia juga punya 1 cabang yang baru buka 8 bulan di bogor. Tepatnya di kawasan puncak.
“Kak, kalau mau ajak teman-teman lu hangout suruh aja ke café gue. Tenang aja diskon bisa di atur. Dan bakal ada acara musik juga biar nggak bosan.”
Ujarnya sambil menyodorkan selebaran, ia juga memberi beberapa foto café yang juga pernah dimuat di surat kabar lokal Jawa Barat.
“Widih, boleh juga café lu. Oke deh, besok kita semua jalan-jalan kesana.”
“Ahhh ayah sama ibu sudah bosan, hampir setiap minggu bahkan. Sudah kamu saja yang kesana sendirian. Nanti saja kalau mau jalan dengan ibu dan ayah. Atau begini saja, biar kamu ditemani Fizi dan istri beserta keponakanmu ini jalan kesana.
Lagipula kalian berdua kan sudah sukses di jalan masing-masing, jujur saja ayah sangat bangga, dan ayah mau lihat sehari saja tidak berantem gitu. Kakakmu ini 4 tahun nggak pulang-pulang, lho. Dan anggaplah ini sebagai permintaan maaf ayah kepada kamu karena dulu sempat melarang kamu keluar negeri. Yaa karena ayah bakalan kangen kayak gini, le.
Ujar ayah sambil mengelus-elus punggungku.
“Loh kok gitu?”
“Ya sudah kalau nggak mau sendirian aja sana. Manja amat !”
“Ngeselin lu, dek. Sumpah !”
Ayah dan ibu serta istrinya Fizi tertawa melihat kami berdua bertengkar. Aku dan Fizi memang langganan adu mulut ketika kumpul seperti ini. Namun maksudnya hanya bercanda, tidak serius.
“Oh iya kak. Seminggu yang lalu ayah bertemu dengan kawan lama ayah, dia juga bawa anak. Lulusan teknik juga, cuma bedanya kakak kan S1, sedangkan dia sudah S2, sekarang mengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung, bahkan ayahnya bilang mau lanjut lagi ke S3 di Inggris.”
“Yaa terus?”
Ucapku sambil mengerutkan kening. Ayah dan Fizi saling mengangguk.
“Ayah rencana mau menjodohkan kamu dengan anak teman ayah itu.”

****

Perjalanan dari Jakarta menuju Bogor. Rasanya cukup melelahkan dan rasa lapar terus melanda, karena hari ini adalah weekend, macet tidak bisa dihindari, mau tidak mau aku harus tetap bersabar. Pintu Tol Ciawi, disinilah aku terdampar selama 2 jam lamanya bersama pengendara lain sedangkan waktu yang di tempuh kira-kira satu setengah jam lagi menuju villa milik Fizi, itu juga kalau tidak macet. Sayangnya mereka semua tidak ikut, terpaksa aku harus berangkat sendirian. Pikiranku mulai kalang kabut.  Dijodohkan. Hah ! aku bukan Siti Nurbaya. Aku hanya merindukannya. Ya, Riana !
2 jam berlalu, aku melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah aku di café milik Fizi, aku penasaran. Makanya sengaja mampir kemari terlebih dahulu sebelum menuju villa. Aku segera memesan kudapan yang ditawarkan di café ini. Sembari menunggu, aku duduk sambil memandangi hijaunya pemandangan disini. Udaranya sejuk, hamparan kebun teh terlihat luas sejauh mata memandang, hijau dan nampak menyejukkan mata. Riana, aku tidak tahu dimana kamu berada sekarang ini. Kau harus melihat pemandanan ini. Aku dibuat takjub oleh ciptaan-Nya yang Maha Dahsyat.
Tanganku tergerak mengambil ponsel dan membuka akun sosial mediaku. Sudah lama tidak melihat orang-orang berceloteh di sini. Banyak pesan masuk dari teman-teman alumni ternyata. Tidak lupa pula untuk check email, siapa tahu Shien menanyakan kabarku, dan ternyata benar. Shien menanyakan kabar dengan manjanya.

“Hello.. Gimana kabar kamu, nggak kena banjir kan rumahnya? Aku kangen kamu, di. Ayo ketemuan yuk, bareng Fahmi dan yang lain. I miss you so much !”

Terkadang merasa sedikit risih ketika ia berada di dekatku, bagaimana tidak? Ia terkadang langsung merangkul, bahkan memelukku. Tentu ini membuat semua teman-temanku berbicara yang tidak-tidak, atau membicarakanku di belakang. Mungkin jika ayah tahu dengan kelakukanku yang memiliki sahabat perempuan seperti Shien, ia pasti akan kecewa. Tapi sekarang ini kita saling berjauhan, biarlah. Pesananku tiba. Caramel latte dan choco brownies hangat siap santap di depanku. Mengingat caramel latte juga mengingat kebersamaanku dengannya sewaktu sekolah dulu. Aku hanya merindukannya. Ku buka laptop, memasang earphone, melihat playlist dan memutar 1 lagu dari One Ok Rock. Jika ditanya mengapa aku menyukai band ini dan sejak kapan maka jawabannya adalah sejak SMA dulu, dan Riana pula yang memeperkenalkannya padaku. Answer is Clear adalah lagu pertama yang ia kenalkan padaku.

Aku menyukai band ini karena genre musiknya dan mereka sangat kreatif, walaupun genre musiknya keras tetapi tidak meninggalkan unsur-unsur, bahasa, dan alunan musik khas negara mereka yang membuat setiap lagunya easy listening dan setiap yang mendengar tidak merasa bahwa musiknya adalah musik keras. Mungkin ini adalah salah satu yang menjadi ciri khas dari One Ok Rock selain orang-orang tahu darimana mereka berasal. Yap. Darimana lagi kalau bukan Negara Matahari Terbit?

Jemari ini mulai menari diatas keyboard dan aku mulai berselancar ke dunia maya, stalking akun miliknya ku lakukan. Sial, aku baru ingat kalau aku telah memblokirnya setelah ia memutuskan hubungan. Perasaan gengsi masih menggebu dalam batin. Akhirnya ku urungkan niatku untuk memulai lebih dulu, entah kapan aku bisa berbicara dengannya lagi. Tapi aku tidak akan bisa jika tidak memulainya lebih dulu. Ahh !

Angin yang berhembus menambah hawa dingin di sekitarku, rasanya minumanku mulai mendingin. Segera aku meminumnya selagi hangat.  Ponselku berdering, ku lihat layar ternyata Mas Gunawan yang menelpon.
“Hallo bujang.. apa kabar kau? Lusa sibuk tidak?”
Katanya dengan logat khas yang membuat telingaku geli.
“Saya baik mas, lusa Insha a’ Allah tidak mas. Memang ada apa ya”
“Begini, aku mau memperkenalkan kau pada seseorang. Dia bisa dibilang adalah orang kepercayaanku. Kita ada project selama 4 bulan. Kalau kau ingin tahu dan tertarik untuk bergabung dengan kami, datanglah lusa. Untuk tempatnya nanti aku kabari lagi paling lambat besok pagi jam sepuluh. Terus aktifkan ponsel mu, bujang. Karena kami akan sangat senang jika kau bergabung dengan kami.”
“Baiklah, saya usahakan mas. Terimakasih mas, saya juga penasaran dengan project nya. Tapi mas, kalau boleh tahu dari sekarang, siapa yang memegang project itu?”
Tanyaku.
“Dia wanita, cantik, cerdas, dan masih perawan. Yaa siapa tahu kau bisa kepincut dan menyusul si Fizi.”
“Ohh, baiklah. Terimakasih mas.”
“Ahhh kau kaku sekali ! Ya sudah. Tunggu kabar dariku. Kau harus tampan pokoknya lusa nanti.”   
Ujarnya sambil menutup telepon. Tidak habis pikir dengan pria satu ini. Pikirannya hanya ada pertanyaan ‘kapan Andi menikah?’ aku hanya mau dia. Ya, Riana.


****

Aku berdiri di depan cermin sambil mengenakan dasi. Menyisir rambutku agar rapi serta memberinya sedikit wax agar terkesan kekinian. Entah setelah kepulanganku dari negeri orang aku jadi sedikit stylish. Begitupun adikku yang terkadang menggeleng-gelengkan kepala melihat diriku yang modis.
“Wehhh, udah rapi aja. Gimana kak, jadi ketemu sama orang yang kakak bilang?”
Tanya Andi sambil melipat Koran.
“Yaa jadi, kita ketemuan di Sarinah. Tepatnya di sebuah café yang tidak jauh dari  tempat kita makan kemarin sore, kok.”
“Ohh begitu, bareng yuk. Tenang aja, hari ini gue jadi supir lu deh. Hahahaha.”
Aku tersenyum padanya sambil mengacak-ngacak rambutnya. Di perjalanan aku dibuat linglung oleh perasaanku sendiri. Aku sudah pulang sekarang, mengapa tidak ada gerakan untuk menemuinya sekali saja?
“Lu kenapa kak, tegang banget? Mau ketemu bos segitunya. Gue ketemu client biasa aja.”
Aku tidak menghiraukan pertanyaan Fizi, aku terus memandangi kaca spion yang memantulkan bayangan kendaraan di belakang. Riana, ya Riana. Aku merindukanmu.
Sampailah aku di tempat yang sudah mas Gunawan tentukan. Fizi membuntutiku dari belakang, sambil mencari-cari mas Gunawan aku kebingungan. Karena memang banyak orang ber-jas hitam dan berdasi disini namun di dominasi oleh ibu-ibu yang sedang arisan. Hingga akhirnya Fizi berjalan sambil menarik tanganku menuju sosok gemuk dan tegap. Ya, mas Gunawan.
“Aihhh bujang lapuk sudah tiba. Duduklah. Pesan minum dahulu. Sudah lama aku menunggu.”
Ucapnya sambil menjabat tanganku dan Fizi.
“Apa kabar mas Gunawan? Waduhh lama tidak jumpa dengan ku, rindu yaa?”
“Ahhh ada papa muda pula ikut. Hahaa”
“Ohh tidak, saya hanya mengantar kak Andi saja untuk bertemu bos katanya. Hahaha.”
Aku hanya nyengir kuda dibuatnya. Tidak lama setelah berbasa-basi, Fizi pamit untuk pergi karena harus segera ke Surabaya siang ini. Tinggalah aku dan mas Gunawan disini.
“Mas, sebenarnya project apa yang mas bicarakan? Saya penasaran sekali?”
“Hahaha, sabar lah anak muda. Jangan terlalu terburu-buru. Biarlah nanti bos mu yang menjelaskan. Ia tadi keluar untuk membeli rokok katanya.”
Aku hanya mengangguk. Waiters membawa pesanan kami. Aku menyeruput kopi luwak di hadapanku sambil membuka ponselku. 3 surel masuk. Aku check dan ternyata Shien mengatakan kalau ia ada di Jakarta sekarang dan ingin bertemu denganku. Kapan ia pulang dari Bangkok? Aku meminta nomor ponsel milik Shien dan segera menghubunginya. Belum sempat aku membuka pesan balasan miliknya, wanita berparas cantik dan hadir di hadapanku dan mas Gunawan.
“Sampai mana kita tadi, gun?”


****

Aku bukannya tidak berniat bekerja dengannya, apalagi gengsi. Hanya saja bekerja dengan wanita ini membuatku merasa tidak nyaman. Menjadi asisten bos wanita itu awalnya memang tantangan untukku selama 2 bulan terakhir dimana aku harus menemaninya kemanapun dan menjadi translator ketika mengadakan meeting. Aku rasa ada yang salah dengan pikiran wanita itu. Baru 2 bulan aku bekerja dengannya malah memintaku menjadi suami dan mengurus ketiga anaknya. Ingat ketika aku berkunjung kerumahnya aku dibuat mabuk. Untung saja aku masih setengah sadar, jika tidak mungkin sudah ‘terjadi’ hal yang terkutuk. Aku segera berlari keluar rumah, mencari taksi untuk segera pulang. 3 hari kemudian, aku melayangkan surat resign. Sempat merasa tidak enak karena mas Gunawan. Tapi sekali lagi, prinsipku adalah Allah pasti mencarikan jalan lain. asalkan jangan sampai jatuh di lubang yang sama.

Setelah kejadian itu, seminggu kemudian aku di panggil oleh salah satu sahabatku yakni Husna yang sama-sama berjuang denganku di Nanjing dulu. Ia meminta agar aku juga menjadi pembicara di seminar tersebut sebagai perwakilan alumni dari almamaterku dulu di Cina terkait beasiswa luar negeri dan kontribusi kami selaku alumni dari salah satu beasiswa yang kami terima. Kami berdua menjadi pembicara di salah satu Universitas Negeri di bilangan Jakarta Timur. Memberikan ilmu kepada khalayak banyak adalah hal yang menyenangkan untukku. Bagaimana tidak? Dengan ilmu yang telah kita berikan dan mereka mengamalkannya dengan baik dan ikhlas bagiku adalah investasi terbesar yang tidak dapat dipungkiri keuntungannya. Dan dengan ini caraku berbagi rezeki kepada orang lain.

Malam harinya tepat setelah ibu menyelesaikan solat isya. Aku tunggu ibu sambil duduk di kursi dekat tempat tidur. Setelah selesai, ibu melirikku sambil menatap aneh. Ku hampiri dan ku dekap sambil mencium keningnya.

“Bu, aku menjadi pembicara lagi. Kali ini aku akan berbicara di depan pelajar dan mahasiswa terkait beasiswa, sebelumnya Andi mau meminta maaf kalau Andi selama ini punya salah. Andi belum bisa membanggakan dan membahagiakan ibu. Namun Andi berterimakasih karena ibu selalu mendukung dan membela Andi ketika ayah melarang. Do’a dari ibu yang membuat Andi bisa seperti sekarang. Andi mohon, do’akan Andi untuk berbagi ilmu agar ilmu yang Andi punya bisa bermanfaat untuk orang banyak. Sekarang ibu duduk di kursi. Biarkan Andi membasuh kedua kaki ibu.”

Entah hanya pendengaranku saja atau memang ibu benar-benar menangis, aku hanya mendengar isakan darinya. Ku basuh perlahan kaki ibuku yang agak keriput dengan air hangat  dalam baskom berwarna merah. Sudah lama aku ingin melakukan ini namun rasa malu masih menguasai batin dan pikiranku. Namun kali ini aku tuntaskan nazarku. Berhasil menyelesaikan studi di luar sana, bisa naik pesawat yang membawaku ke 3 benua, dan memiliki ibu yang tangguh seperti ibuku adalah hadiah dari-Nya yang sangat luar biasa. Tidak ada nikmat dari-Nya yang aku dustakan. Tidak ada !

Tibalah sabtu pagi dimana aku berdiri di depan cermin dengan gagahnya seperti yang ibu dan ayah katakan. Dengan sarapan nasi wuduk yang ibu buatkan menambah energy baru setelah kejadian yang dahulu berlalu. Ponselku berdering menandakan pesan masuk, ternyata dari Husna, ia bilang bahwa kita akan di jemput dengan kendaraan dari universitas tesebut, dan akan sampai 1 jam lagi karena harus menjemput ia terlebih dahulu, baru giliranku. Rasanya sudah tidak sabar berjumpa dengan sahabatku yang pendiam ini. Namun jangan salah dengan sikapnya yang pendiam, jangan hanya karena ia pendiam namun pasif. Dalam hal akademik apalagi sosial ia sangat aktif bersuara.

Tidak hanya secara lisan, namun secara tulisan juga. Husna salah satu dari segelintir wanita yang menyuarakan tentang hak dan pentingnya literasi untuk semua kalangan. Ia pendiam, namun ia tahu kapan dan dimana saatnya ia berbicara dan mengemukakan pendapat. Selama di Negeri Tirai Bambu juga Husna telah menulis 2 buah buku karyanya. 2 novel remaja berhasil ia tulis selama disana. Dan yang aku dengar dari teman-teman lain bahwa ia sedang menulis buku cerita anak-anak muslim dalam 3 bahasa. Yakni Mandarin, Indonesia, dan Belanda. Aku sangat bersyukur karena aku bisa memiliki sahabat sepertinya.

Jam dinding kamarku menunjukkan angka 8. Tanda bahwa sebentar lagi jemputanku datang. Dan benar saja, 3 menit setelah aku mengobrol banyak tentang Husna dengan ibu jemputanku datang. Husna turun dari mobil dan aku dengan keluargaku menyambutnya.

“Assalammu’alaikum, hai Andi. Sahabatku yang luar biasa !!”

Ucapnya dengan ramah dan suaranya yang lembut. Aku langsung memperkenalkannya pada keluargaku. Namun tiba-tiba adikku Fizi malah asal ceplas-ceplos.

“Waahh sahabat, ehh maksudnya calon kakak ipar sudah tiba, bu.”

Wajah Husna langsung memerah mendengar ucapan Fizi. Aku malu ! Tidak lama berbasa-basi kami pun segera naik kedalam mobil dan melaju meninggalkan rumah. Di perjalanan aku tidak henti-hentinya mengucapkan kalimat tasbih dan tahmid.  Husna sibuk dengan laptop di pangkuannya, nampaknya ia sedang mengerjakan bukunya.

“Masih ngerjain bukunya? Sok sibuk ah. Katanya kangen, bohong aja nih kamu !”

Ucapku dengan maksud mengajaknya bercanda namun yang namanya Husna ketika sedang fokus di depan monitor laptop atau buku pasti tidak akan menggubris perkataan orang-orang di sekitarnya. Akhirnya aku biarkan ia mengerjakan tulisannya dan aku meneruskan dzikir. Terlintas di pikiranku tentang Riana. Rasa gengsi untuk menyapa terlebih dahulu masih menguasai batinku. Ku raih ponsel dari dalam ransel dan membolak-baliknya. Keluar-masuk dunia maya hanya untuk memastikan apakah aku mau atau tidak memulai terlebih dahulu menyapanya.
“Kalau suka yaa tinggal bilang, apa toh susahnya?”
Celetuk Husna. Bukankah ia sedang tidak memperhatikanku?
“Apasih kamu, sok tahu.”
Husna berhenti mengetik dan tersenyum menatapku. Kacamata ia lepaskan dan membersikannya dengan tissue.
“Kalau kamu mau menghubunginya lagi yaa tinggal lakukan. Bukankah itu yang sering kamu bilang pada saya, di? JUST DO IT !”

Husna adalah orang kedua yang tahu masa laluku dengan Riana setelah mas Gunawan. Husna pandai menjaga rahasia, itulah alasan mengapa jika aku ingin bercerita selalu dengannya atau mas Gunawan. Shien? Ahh dia sedikit bawel. Jika aku beritahukan ini padanya pasti ia akan kecewa berat. maka dari itu aku masih mencari waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya, karena aku tahu apa yang ia rasakan padaku sampai saat ini. Tidak sengaja aku melihat ia diam-diam menulis diary dan menuliskan namaku. Aku cukup tahu pada Shien, maka dari itulah aku menjaga jarak padanya.

“Saya bingung harus mulai darimana, dia yang memutuskan hubungan ini. Dan saya hadir kembali setelah beberapa tahun pergi tanpa kabar.”

Ucapku lirih.

“Yaa mengapa kamu tidak mencoba lagi? Sekadar ‘say hay’, just it. Bukankah setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua? Kamu jangan takut. Jika ia tidak meresponmu, berarti dia punya prinsip dan kamu tidak usah lagi berharap padanya. Itu juga sudah termasuk hukum alam. Kau adalah laki-laki dan dia perempuan, sama sepertiku tentunya. Kita harus siap menerima semuanya, di terima, dan di tolak. Itu pasti. Jika dikatakan hidup itu kejam, ya. Memang kejam. Karena sebaik apapun maksud dan tujuan kita melakukannya untuk kebaikan pasti akan masih ada saja yang tidak menyukainya, dan kamu harus hadapi. Karena nggak semua cerita bisa happy ending. Namun kamu yakin dan percaya bahwa masih ada pelangi yang hadir sesusai hujan.”

Katanya sambil kembali mengenakan kacamata dan lanjut mengetik. Akan aku coba saran dari Husna. Benar juga apa yang dikatakannya. Aku seolah-olah mengemis cinta pada Riana namun tidak berani untuk mengungkapkannya.

Sampailah aku di depan gerbang Universitas. Cukup ramai yang datang. Entah mahasiswa yang ingin kuliah, hadir seminar, atau kegiatan lain. Aku dan Husna turun dari mobil dan kita masuk ke aula lewat pintu belakang aula kampus. Kita berdua di sambut oleh panitia penyelenggara. Aku duduk bersebelahan dengan Husna, 30 menit sebelum acara dimulai kami melakukan briefing dengan panitia penyelenggara. Aku juga mempersiapkan bahan presentasi yang sudah aku buat dan disempurnakan tadi malam. Aneh sekali, rasanya grogi berbicara di depan pelajar Indonesia. Sangat jauh berbeda ketika berbicara di depan mahasiswa dan para petinggi universitas di Harvard.

Tepat jam Sembilan pagi acara dimulai. Pertama sambutan dari rektorat kampus, disusul 2 orang dari bagian kemahasiswaan, ketua panitia pelaksana, serta yang memulai mengisi materi ialah Husna, disusul aku.  Husna membuat euphoria di dalam aula. Gemuruh suara mahasiswa yang membuatku merinding ketika Husna menyampaikan kata-kata semangat kepada para mahasiswa dan pelajar SMA yang menjadi peserta seminar. 15 menit berlalu, kini giliranku yang mengisi materi. Bagianku diberi kelonggaran waktu selama 20 menit.

Aku mulai beraksi di atas panggung, berdiri tegap, dan memberikan salam, sapaan, dan senyuman  kepada mereka semua. Aku memutar sebuah film documenter dengan durasi 5 menit yang aku buat sendiri. Film ini adalah film yang aku buat sebagai bentuk rasa syukur kepada orang-orang luar biasa yang telah hadir di kehidupanku. Ibu, ayah, Fizi, teman masa sekolah dan sahabatku yang tidak kalah luar biasa ketika aku melanjutkan studi di Nanjing, Shien, Marry, Fahmi, Husna. Dengan backsound lagu dari Tulus yang berjudul Monokrom. Atmosfer sekitar menjadi sangat berbeda, ketika aku perhatikan, ada peserta seminar yang tersenyum, tertawa, bahkan menangis. Entah terharu atau perasaan lain. Dan di bagian akhir film aku memasang fotoku dan Riana ketika sewaktu SMA dulu. Aku dengan seragam putih abu-abu, begitupula dengan Riana. Kami berfoto dibawah pohon rindang dekat lapangan Basket. Rambutnya yang terurai panjang sepinggang dan agak bergelombang, kulit putih, bibirnya yang ranum, Riana.

Lembar Monokrom hitam putih,
Aku coba ingat warna demi warna di hidupku
Tak akan ku mengenal cinta,
Bila bukan karena hati baikmu

                                       -Tulus, Monokrom-

****

Terhitung 4 bulan kepulanganku ke Indonesia. Ini adalah hal yang sangat menyenangkan. Bagaimana tidak? Selama 1 minggu dibulan keempat ini dan kedepannya aku akan menghadiri banyak pertemuan, seminar, sibuk membagi ilmu yang aku punya kepada orang banyak. Aku sangat suka berbicara di depan umum. Namun banyak hal yang harus aku pelajari lagi. Dimana apapun yang aku baca, aku lihat, dan aku dengar harus aku bagi kepada semua orang. Sekali lagi, ini adalah investasi yang aku lakukan untuk Indonesia kedepannya. Di bulan ketiga kepulanganku tepatnya November, aku menulis buku dan aku bersyukur karena tulisan yang aku tulis sangat diapresiasi oleh penerbit, dan sebentar lagi menjadi buku yang dibaca oleh banyak orang. Aku berdo’a, semoga apa yang aku tulis ini bisa menginspirasi banyak orang untuk berbuat lebih baik untuk orang lain, dirinya, dan negaranya. Amin.

“Kak, mau ikut ke café besok? Ikutlah, kan libur panjang 4 hari. Kali ini sajalah bersantai, kita berangkat bareng ayah dan ibu.”

Ucap Fizi sambil menepuk pundakku. Aku tersenyum dan mengangguk. Sudah lama aku tidak memandangi hijaunya hamparan kebun teh disana. Green café Kota Bunga, Bogor.

Aku berangkat dengan keluargaku. Ayah, ibu, Fizi dan istrinya serta keponakanku yang tampan, Fikri. Tidak perlu waktu lama ternyata ketika aku sampai sana. 3 jam waktu yang kami tempuh untuk sampai di café. Berharap hari ini tidak ada telepon yang berdering, tapi ternyata hanya ekspetasi. Baru 5 menit aku duduk dan memesan makanan, benar saja. Pak Arifin, Beliau adalah salah satu orang yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat.  Sudah lama aku tidak bertemu dan mendengar suaranya. Ia tiba-tiba meminta kontak Mrs. Chen dan menghubunginya. Yaa, wanita yang berusia 45 tahun namun wajahnya nampak seperti usia 29 tahun. Beliau ini wanita Indonesia campuran darah Tionghoa. Namun tidak luntur kontribusinya untuk negaranya, Indonesia.

Karena pelanggannya cukup ramai, maka suara pak Arifin dari telepon sulit terdengar. Akhirnya aku berjalan keluar café mencari tempat yang agak tenang. Beliau menyampaikan untuk bertemu denganku namun ia juga membutuhkan Mrs. Chen, karena ada file miliknya yang tertinggal atau hilang. Barangkali Mrs. Chen tahu atau ada di tangannya. ia juga mengatakan kalau saat ini sedang di Indonesia selama 2 hari.

“Iyah baik, nanti saya sampaikan kepada Mrs. Chen untuk segera dikirim ke kantor bapak. Kebetulan juga sekarang saya sedang pulang kampung, saya ada di Indonesia. Begini saja, nanti saya atur waktu pertemuan kita, pak. Bagaimana?”

Ucapku sambil tergesa-gesa berjalan menuju teras café. Lumayan dingin disini, aku sampai lupa mengenakan sarung tangan. Jujur, disini dingin. Sangat dingin.

Seusai menelepon dengan pak Arifin, aku kembali masuk kedalam café untuk menyantap makanan.

“Sibuk banget. Katanya liburan?”
Ucap ibu sambil mengelus rambutku. Aku terkekeh dan mencium pipi ibu.
“Mana kopinya. Aku mau minum, dingin sekali bu di luar.”
“Siapa yang meneleponmu?”
“Tadi pak Arifin, bu. Dia dari kedubes Indonesia yang ada di Amerika. Jadi sewaktu Andi jadi pembicara di Harvard, dia hadir bu.”
Ibu mengangguk sambil tersenyum. Ini adalah hal yang sangat aku rindukan dari ibu. Senyumannya.


****

Liburan kali ini harus aku habiskan dengan hal berkesan. Berharap bisa bertemu dengannya di kota yang terkenal dengan puncak, kebun teh, paralayang, serta pemandangannya yang indah.
“Zi, kakak boleh pinjam kunci mobil?”
“Boleh, memang mau kemana?”
“Hmmmm, mau cari angin.”
Fizi tertawa geli mendengar jawabanku.
“Cari angin, atau cari yang cantik-cantik?”
Aku tersenyum sambil memukul pelan pundaknya.
“Yasudah, ambil tuh dekat tv. Ingat, jangan pulang malam-malam. perjaka nggak baik pulang tengah malam, kak.”

Aku menggeleng sambil berjalan keluar. Aku kembali mengunjungi café milik Fizi. Namun di tengah perjalanan ban belakang kempes. Segera aku menepi dan keluar melihat sekitar. Mencari tukang tambal ban atau bengkel terdekat. Alhamdulillah, hanya berjarak 15 meter dari tempat kejadian aku mengemudikan mobil menuju bengkel. Lumayan ramai. Tidak apa, yang penting aku bisa menuju café dengan selamat, dan bertanggung jawab karena telah meminjam mobil Fizi. 25 menit aku menunggu. Waktu yang cukup lama. Dengan waktu yang lama itu aku habiskan waktuku untuk membeli jagung bakar dan bandrek di warung sebelah bengkel tersebut.

Aku berbincang-bincang dengan pemilik warung jagung bakar tersebut yang ternyata adalah seorang anak yang baru lulus SMA, namanya Dian. Anaknya baik, ramah, dan pintar. Ia tinggal bersama ketiga adiknya yang masih kecil dan harus menjadi tulang punggung di keluarga. Karena sang ayah telah pergi menghadap Sang Khaliq, dan ibunya entah berada dimana sekarang. Jadi, mau tidak mau ia harus tetap hidup dan menghidupi ketiga adiknya. Setelah selesai berbincang dengan gadis itu, aku melanjutkan perjalanan menuju café. Aku hanya ingin merenung, dan menenangkan pikiranku dari semuanya. Meresapi hembusan angin malam sambil kembali mengingat masa-masa indah bersama gadisku, Riana.

“Ehh si aa datang lagi. Pasti mau ngopi?”

Ucap pelayan menyapaku. Aku langsung akrab dengan karyawannya Fizi. Mereka orangnya humble, dan lucu. Aku mengangguk dan segera duduk di kursi kayu antik, sambil memandangi gemerlap cahaya lampu rumah penduduk dibawah sana, layaknya kunang-kunang dari jauh. Riana akan sangat senang jika melihat ini. Sayangku, aku pulang.

Moccachino hangat siap santap dihadapanku. Aku hanya bisa meratapi semuanya, aku takut sayangku. Aku takut kau menolakku. Aku mohon, maafkan aku yang pernah hadir dan memberikan rasa sakit. Beri aku kesempatan lagi. Aku mohon. Air mata ini masih terbendung, ku tarik tissue dari dalam kotak di hadapanku dan mengusap kedua mata ini. Sepertinya minumanku mendingin, aku segera menyeruputnya. Kedua mata ini ku pejamkan sambil berdo’a dalam hati.

“Pertemukan aku dengannya.”

Ku pandangi orang-orang disekitarku. Nampaknya aku tidak asing dengan wajah itu. Tapi apa mungkin? Tidak, itu bukan dia. Tapi apa mungkin? Sekali lagi aku perhatikan baik-baik wajahnya. Ingin sekali aku melangkah dan mendekatinya, memandang wajahnya lebih dekat. Ahhh tidak kuasa aku menahan perasaan takut yang mendera ! Aku berdiri dan melangkah sedikit lebih dekat. Aku duduk di antara 5 orang di hadapannya. Tentunya wajahku tertutup oleh orang-orang itu. Tuhan.. aku bertemu dengannya. Sekali lagi, aku bertemu dengannya. Hati ini berbunga. Tepat pada moment ini lampion berwarna merah  dan jingga di terbangkan. Aku tatap rona di kedua pipinya. Nampaknya ia sedang menulis. Dan yaa. Itu adalah buku dariku, pemberianku di hari ulang tahunnya.

Aku tersenyum-senyum sambil tidak percaya. Belingsatan seperti orang yang sedang kesurupan. Do’aku terkabul. Atmosfer yang sangat berbeda aku rasakan. Terimakasih Tuhan, terimakasih atas pemandangan ini, terimakasih cinta, terimakasih Sang Maha Pemberi Cinta. Ku pandangi terus wajahnya sampai-sampai ia berhenti menulis, menatap sekitar, dan akhirnya meninggalkan café sambil menangis. Orang-orang disekitar menatapnya melangkah pergi. Aku mencoba untuk mencegahnya, namun aku masih kaku. Aku malah diam. Bodoh !

Kaki ini berlari mengejarnya, tapi sayang ia sudah pergi meninggalkan café ini. Aku kembali ke tempat duduk dan terdiam. Bertanya-tanya mengapa ia sampai menangis seperti itu? Apakah ia sudah milik yang lain, ia menangis karena telah usai dengan kekasihnya yang baru, dicampakkan, diselingkuhi, atau yang lain. Aku tidak tahu. Ada sesuatu diatas meja yang barusan ia tempati, itu bukunya. Aku melangkah maju dan duduk diatas kursi yang ia duduki. Ku bolak-balik buku yang hampir usang itu. Namun hard covernya masih kokoh. Hanya warnanya saja yang mulai memudar. Halaman demi halaman aku buka. Bunga mawar di valentine pertama kuberikan padanya masih ada, hanya saja sudah layu. Terdapat potretku dengannya ketika masih bersama dulu sebelum aku meninggalkannya. Ditulisnya namaku dengan tinta berwarna merah jambu. Sepertinya ia juga sedang ada di kota ini sejak beberapa hari yang lalu. Ku baca tulisannya dari buku ini. Tidak kusangka ia menuliskan alamat villa yang ia tempati sekarang di salah satu curhatannya. Sedikit lucu namun mataku malah basah. Aku merinduknnya, aku harus bertemu dengannya. Riana, tunggu aku esok pagi.


****

Villanya minimalis, namun terlihat nyaman. Halamannya dipenuhi tanaman berbunga. Ia sangat suka bunga. Mawar pastinya. Mawar merah mendominasi di halamannya. Aku mencoba menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan sekencang-kencangnya. Dengan mantap aku mengetuk pintunya. 3 ketukan pertama belum ada suara langkah kaki dari dalam. Kedua juga sama, dan yang ketiga kalinya barulah aku mendengar kakinya melangkah. Aku masih sangat hapal suara langkah kakinya. Aku membalikkan badanku sambil tersenyum. Aku pejamkan kedua mata ini, dan…

“Maaf, anda siapa?”

Aku terdiam untuk 5 detik, kemudian membalikkan tubuhku sambil memberikan senyum padanya. Wajahnya pucat, rambut dan pakaiannya basah. Matanya lebam membengkak. Sepertinya ia tidur dengan kondisi habis kehujanan, dan pasti sehabis menangis. Oh Riana.

“Apa kabar Agent, apa radarmu meredup?”




To be continued..

-Helena Vector-




Komentar

Postingan Populer