Purnama
masih tetap terang benderang dikala aku sedang merasakan takut. Ketakutan ini
yang membuatku makin tersiksa, sedih, hati ini perih tak tertahankan. Mengapa
aku harus terus terpikirkan oleh bayang wajahnya? Aku tak mau merasakannya. Ini
hanya akan membuat diriku semakin sakit yang tidak tahu kapan berakhir.
Dapatkah kau merasakan apa yang aku rasakan saat ini? Kau sangat jauh disana,
aku ingin menggapaimu. Rasa takut ini makin
menjadi dikala pagi mulai datang. Aku tidak tidur semalaman, aku hanya menatap
terangnya rembulan yang menemaniku malam ini. Mata semakin sulit saja rasanya
untuk aku pejamkan.
Entah dimana
akal sehatku, aku merasa semakin menjadi orang yang tidak waras. Raga ini makin
melemah, jiwa ini tergoyahkan. Tuhan, tolonglah aku. apa yang harus aku
lakukan? Kita terpisahkan oleh jarak dan waktu, sayangku. Tahukah kamu? Disini
kau bisa merasakan dinginnya suhu berminus-minus derajat Celcius yang menusuk
kulit, aku merasakan kepedihan disini karena lelah dilanda rindu. Di depan
banyak orang aku bisa tersenyum bahagia, bisa tertawa akan penampilan opera
yang dimainkan oleh kawan-kawan kampusku, tertawa akan guyonan Profesor
favoritku di Laboratorium, tapi tidak akan hati ini. Hati ini menjerit,
menangis, karena aku melawan apa kemauan isi hati ini. Aku ingin pulang padamu,
kekasihku.
Jarum jam
dinding kamar asrama menunjukkan pukul 6 pagi. Hari ini adalah hari libur,
biasanya aku ke central park untuk memberi makan burung merpati disana. Ku raih
jaket yang menggantung dan segera pergi dari kamar yang tidak besar itu.
Menjadi lulusan S1 dengan embel-embel Engineer
dari Negeri Tirai Bambu adalah hal gila yang aku lakukan, saking aku
mencintai dunia sains yang sangat tidak ayahku senangi, namun menunggu kau
hingga akhir hayatku juga merupakan hal yang lebih gila lagi bagiku. Ayahku, Ia
lebih menginginkan anaknya menjadi seorang petani, atau bekerja di kantor
Kelurahan. Ia hanya tidak mau anaknya bermimpi tinggi, oh Ayah. Sebegitu
sempitnya kah pemikiranmu? Aku hanya ingin mengangkat martabatmu dan Ibu.
Hari ini adalah
tepat tahun kelima dimana aku akan wisuda. Saat aku pulang, aku akan ceritakan
padanya bahwa aku telah menjelajahi isi Benua Asia terbesar ini karena otak
yang aku punya. Negeri ini sangat besar ayah, aku tak lagi menatapnya di peta
yang aku pajang di kamar tidur. Kini aku berdiri tegak diatas tanahnya,
layaknya paku yang ditancap keras ke dinding. Apakah aku menyombongkan diri? Aku
tidak mau menjadi orang yang sombong. Karena aku ingat betul akan nasihatmu,
sayangku. Masa sekolah yang amat aku rindukan saat itu, ku rindu saat kau
menangis di pundakku, ku rindu saat kau cemberut melihat nilai Matematika mu
kecil ketika ulangan dan memohon padaku untuk mengajarimu agar tidak lagi kena
remedial guru killer.
****
“Biarkan dewi malam menatap sayu,
Meratapi bulan yang memudar
Biarkan bulan berjalan tunduk,
Menyambut senyuman matahari
Biarkan Matahari membuka mata,
Membangunkan alam yang lelah”
-Payung
Teduh, Biarkan-
Hanya lagu
ini yang mampu menghiburku saat aku dilanda ketakutan. Sayangku, aku masih
mengharapkanmu. Aku ingin pulang, bertemu denganmu dan kembali bermain-main
dengan kucing peliharaan kita dahulu.
“Andi !”
Seru
seseorang yang tidak asing bagiku, Shien. Gadis manis asal Indonesia yang juga
mendapat beasiswa disini. Ia melambaikan tangannya sambil berlari
menghampiriku. Aku tersenyum padanya.
“Hey, ini
aku bawakan roti isi untukmu. Kau pasti belum sarapan?”
Aku
mengangguk dan mengucapkan terimakasih padanya.
“Hmmmm,
akhirnya kita lulus juga. Siap untuk pulang ke Tanah Air tercinta dan mengabdi
untuk kemajuan bangsa kita.”
Aku tertegun
akan semangatnya yang tak luntur sejak aku pertama kali bertemu dengannya disini.
Ia satu-satunya orang yang waktu itu membantuku akan bahasa Mandarin. Wajar, ia
masih keturunan Chinese dan aku
senang bisa bersahabat dengannya sampai hari ini.
“Roti isi lagi.
Tidak ada yang lain, huh? Lagi-lagi kau melanggar peraturan dengan memasak di
kamar asrama mu.”
Ucapku
sambil melahap roti isi buatannya. Sangat enak roti isi Tuna buatannya.
“Hahaha,
asalkan tidak ketahuan tidak apa-apa bukan?”
“Ya tapi
tetap saja. Bagaimanapun juga kau telah melanggar aturan. Sekali melanggar ya
tetap melanggar, sarjana macam apa kau ini?”
“Alaahh, kau
ini pandai mengelak !”
“Mengelak?
Aku tidak begitu. Aku cuma…”
“Cuma apa?
Buktinya, roti isi buatanku tetap kau makan. Sudahlah maka saja, kau mahasiswa
Indonesia yang kelaparan di negeri orang !”
Kami tertawa
lepas di saat matahari mulai menyambut dengan sinarnya yang hangat. Musim
dingin segera berlalu, begitu juga perayaan wisuda ku tinggal menghitung hari.
Bersama Shien dan kawan-kawan mahasiswa asal Indonesia lain juga aku akan di
wisuda, resmi menjadi fresh graduate
dari Nanjing, Cina.
“Andi, kita
telah lulus menjadi seorang sarjana teknik, 4 tahun sudah kita membuktikan
bahwa kita bisa menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Itu bukan lagi pepatah
yang sering kita dengar, namun sudah menjadi kenyataan yang telah kita raih.
Kita pasti memiliki keinginan untuk memajukan bangsa kita saat pulang ke Tanah
Air. Kau, aku, Marry, Ahmad, Fajar, Husna, dan Fahmi akan kembali ke Jakarta.
Senang sekali rasanya.”
“Ya, lalu?”
“Aku ingin
bertanya satu hal untukmu.”
Aku
mengangguk sambil melahap roti isi tuna.
“Dari semua
hal yang sudah kau dapat disini, adakah satu keinginan lain yang ingin kau
raih?”
Aku
mengerutkan kening.
“Maksudnya?”
Ia tertawa
kecil sambil menyisir poninya dengan jari-jarinya yang putih dan mungil.
“Maksudku,
adakah seseorang yang kau cintai selama ini?”
Aku berhenti
mengunyah dan menelan perlahan roti isi dimulutku, meneguk air mineral yang
juga ia bawakan untukku.
“Mengapa kau
tanyakan itu, apa tidak ada pertanyaan lain?”
Ia menunduk
dan meminta maaf padaku, wajahnya memelas. Aku tersenyum dan mengusap
kepalanya, kemudian menjelaskan semuanya. Kisahku, kisahku dengan dia yang aku
cinta kala itu. Dia memutuskan hubungan yang sebenarnya tak aku inginkan.
Sampai sekarang aku masih menyayanginya dan berharap bisa kembali padanya, namun
belum tentu juga apakah dia masih merindukanku atau tidak.
“Maafkan
aku, Andi. Bukan maksudku untuk membuatmu sedih. Aku hanya ingin tahu apakah
ada seseorang yang kau sukai atau tidak. Hanya itu saja, Andi. Sekali lagi aku
minta maaf.”
“Tidak apa,
aku mengerti.”
Ia tersenyum
padaku, aku juga membalas senyumnya. Harus ku akui bahwa Shien yang selalu
berusaha untuk menghiburku dikala sedih. Sampai banyak teman-teman kampus yang
berkata bahwa aku memiliki hubungan khusus dengannya. Tapi aku tetap menjelaskan bahwa aku dengannya
hanya bersahabat. Entah 1, 2, atau bahkan berpuluh-puluh tahun lagi, aku akan
tetap kembali untukmu, sayangku. Aku ingin sekali bertemu denganmu.
****
Sampai juga
pada hari perayaan Wisuda, aku dengan gagahnya memakai toga seperti yang aku
impi-impikan. Aku adalah generasi pertama di dalam keluargaku yang meraih gelar
sarjana. Ayah, aku buktikan padamu sekarang. Betapa bergetar jantung ini saat
Rektor Universitas memanggil namaku.
Aku
melangkah di tangga podium, beliau memindahkan tali di topi toga ini ke sebelah
kanan dan menjabat tanganku sambil mengucapkan selamat untukku. Mengapa tidak?
Akhirnya cita-citaku tercapai. Aku akan pulang ke Indonesia dan mengabdi disana
dengan ilmu yang aku bawa dari negeri ini. Sayangku, siapkah engkau
menyambutku? Tak akan ku biarkan air matamu menitik, mengalir membasahi rona
pipimu. Segera aku sambut kembali dirimu dengan kedua tangan ini. Aku berdo’a,
semoga kau tetap menjadi seperti yang dulu. Kau masih mengingat ku, kau masih
bisa tersenyum manis, senyum yang selalu menyejukkan hati ini, sayangku.
Aku
melangkah keluar gedung yang megah itu menuju halamannya yang luas. Mahasiswa
asal Cina, Indonesia, dan beberapa negara lain yang resmi menjadi sarjana menunjukkan
rasa suka cita atas kelulusannya tahun ini. Ku hirup udara segar keberhasilan
atas jerih payahku meraih beasiswa bersama Shien, Marry, Fahmi, Husna, dan
kawan-kawan mahasiswa Indonesia lainnya. Foto bersama, bersalaman dari satu
kawan ke kawan lain, menangis haru. Shien hari itu di hadiri oleh kedua
orangtuanya dan ketiga kakaknya membuatku merasa iri hati. Berandai-andai ibu,
ayah, serta adikku Fizi bisa hadir disini. Memelukku erat, menepuk pundakku,
meneteskan air mata tanda haru.
“Papa, ini
Andi yang biasa aku ceritakan. Andi, ini Papa ku.”
Ucapnya sambil
menggandeng tangan ayahnya. Aku diperkenalkan kepada keluarganya di hari yang
bersejarah itu. Ternyata Shien selama ini selalu menceritakan diriku pada
keluarganya. Aku sedikit merasa malu, wajah ini memerah karena malu. Ahhh,
dasar Shien.
“Shien
selalu menceritakan tentang kejeniusanmu selama kuliah. Saya bangga pada nak Andi.”
“Te..
Terimakasih, om. Anak om juga berjasa sekali. Ia yang mengajari Bahasa Mandarin
selama kami kuliah disini.”
“Hahah, iyah
sama-sama. Saya dengar kamu akan melanjutkan S2 di Harvard? Harvard adalah
salah satu kampus yang sangat di inginkan oleh Shien. Namun saya juga sangat
bersyukur karena ia juga mendapatkan beasiswa di Nanjing, sama seperti nak Andi ini. saya salut akan
perjuanganmu disini sampai akhirnya nak Andi
bisa mencetak gelar Cumlaude dari kampus ini.”
Aduh, aku
mati kutu rasanya. Shien terlalu berlebihan memamerkan diriku pada keluarganya.
Aku merasa tak enak hati. Aku mencoba untuk tenang, berbicara santai seperti
biasa. Ayahnya nampak sungguh takjub akan diriku. Apalah diriku ini, kecerdasan
sesungguhnya hanya milik Sang Maha Kuasa yang ada didalam diriku ini hanyalah
titipan belaka. Dititipkan padaku untuk sementara waktu untuk membenarkan apa
yang harusnya dibenarkan selama aku hidup, dan nantinya hanya akan dikenang atau
dilupakan jika aku mati kelak. 3 minggu kemudian setelah wisuda, aku berangkat
ke Harvard untuk melaksanakan seminar sebagai pembicara. Aku telah mempersiapkan
segalanya dengan matang.
Pada sepertiga
malam aku teranjak dari tidurku, gemericik air wudhu yang tumpah, aku bersujud,
berdo’a kepada Allah agar semuanya bisa dilancarkan, do’a untuk kedua
orangtuaku disana, dan tidak lupa pula aku berdo’a untuknya yang aku cinta, tak
henti aku mengucap namanya. Air mata yang terus menetes, tak henti pula jemari
ini mengulur-ulur butiran tasbih yang terangkai dengan teratur. Ponselku
berdering. Aku lihat layar ponsel ini, Shien. Ia menelponku di waktu yang masih
gelap ini.
“Hallo, Shien?”
“Hey, apa kau merasa tegang?”
“Tidak, ada
apa? Mengapa kau belum tidur? Ini sudah malam, Shien.”
“Ini bukan malam, tapi dini hari.”
“Ahh,
terserah kau sajalah.”
“Hahahaha, tapi aku serius Andi. Aku merasa…”
“Merasa apa?”
Ia terdiam
diujung telpon sana. Aku kebingungan sendiri, ada apa dengan Shien?
“Ahh, tidak. Ya sudah, sampai ketemu nanti. Aku akan merindukanmu,
Andi. Jangan lupa beri kabar setelah kau tiba di kampus juara itu, dan berikan
fotomu saat kau menjadi pembicara saat seminar. Aku akan merindukanmu, Andi.”
Ia langsung
menutup telponnya. Shien. Aku mengakui ia adalah seorang wanita yang memiliki
paras amat cantik, tapi tidak hanya cantik. Shien juga salah satu orang
kepercayaan Profesor Chan di laboratorium. Shien dengan jurusannya Teknik
Kimia, ia berhasil membuat Profesor Chan dan beberapa dosen di prodinya
terkesima atas penelitiannya yang memakan waktu selama 1 semester. Hasil
penelitiannya dimuat di majalah dalam dan luar universitas. Seketika juga ia menjadi
primadona di kampus. Banyak dari sekian mahasiswa asal Indonesia, Cina,
Amerika, bahkan mahasiswa asal Belanda di kampus ingin menjadi kekasihnya.
Sayangnya mereka semua ditolak mentah-mentah.
Aku sendiri
saksinya atas penolakan mereka. Bagaimana tidak? Setiap mereka yang ingin
menyatakan cintanya pada Shien, aku selalu dijadikan bulan-bulanan mereka. Aku
menjadi mak comblang para pria bule, dan oriental di kampus itu. Tapi
pada akhirnya cinta mereka semua bertepuk sebelah tangan. Bagaimanapun juga, aku
tetaplah sahabat baik Shien. Dan kepergianku ke Harvard adalah sebuah hal yang amat
menggembirakan baginya.
Cambridge,
Massachusetts, Amerika Serikat. Aku tiba di kampus yang besar itu, kampus yang
menjadi sorotan banyak mata di dunia. Harvard University, aku tiba di depanmu.
Aku melangkahi tiap anak tangganya. Jiwa ini terguncang, aku sangat takjub
melihat kampus paling bergengsi ini. Oh sayangku, seandainya kau berada disini
bersamaku. Kau pasti akan terkagum-kagum dengan bangunan ini, juga
lingkungannya. Kau akan terpukau dibuatnya, kau akan terinspirasi akan syair
yang kau tulis dengan pena yang kau pegang dengan jemarimu yang lentik.
Aku masuk ke sebuah ruangan dimana itu adalah
ruang auditorium. Banyak orang penting dari belahan dunia yang pernah berbicara
disini, dan sekarang adalah saatnya aku berdiri disini berbicara di depan
mahasiswa dan mahasiswa Harvard University, dan juga petinggi-petinggi
kampusnya. Ayah, ibu, anakmu kini bisa berdiri didepan orang terpenting. Keesokan harinya tepat pada pukul 10 pagi, aku
menjadi pembicara atas di depan ratusan mahasiswa Universitas Harvard.
Mempresentasikan tentang tesis yang aku buat di depan Presiden Universitas
Harvard, Drew Glipin Faust dan seminggu kemudian setelah aku presentasi, potret
ku dimuat di Koran dan majalah kampus The
Harvard Crimson.
Januari
2016, tak terasa 2 bulan sudah aku berada di Negeri Paman Sam ini. Aku sudah
seperti selebritis saja, menghadiri beberapa event, Sains Expo, dan seminar
untuk menjadi pembicara, bermain di central park, pergi untuk solat Jum’at
dengan jarak yang lumayan jauh di Islamic Center. Kabar ini sampai dengan cepat
ke telinga Shien, Fahmi, Marry, dan kawan-kawan seperjuanganku serta Profesor
Liem di Nanjing. Aku merasakan udara yang amat sejuknya bukan main. Inikah yang
disebut-sebut sebagai udara kemenangan? Menurutku belum. Ini masih awal. Tapi
jujur, aku masih merasa sesak, merindukanmu. Ku ambil secarik kertas yang aku
kantongi. Aku lipat menjadi beberapa lipatan, dan terbentuklah sebuah pesawat
kertas. Aku lempar pesawat kertas itu ke udara dan akhirnya tersangkut di
ranting pohon. Aku berkata dalam hati, aku harus pulang. Secepatnya aku akan
pulang.
****
Changi Interational Airport, Singapore. Tempat
pesawatku transit menuju Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Kali ini aku sangat
tidak sabar ingin berjumpa dengannya. Namun sebelum itu aku harus mengabari
kerabatku mas Gunawan. Ia mengajakku pulang bersama ke Indonesia. Tidak
menunggu waktu lama, ia sudah hadir di depanku dengan wajahnya yang penuh aura
wibawa.
“Assalammu’alaikum
antum.”
“Wa’alaikumsalam,
mas. Wahh apa kabar? Makin gemuk. Hahahah !”
“Ahh bisa
saja, ayolah pas sampai Soeta kita makan dulu. Sudah sedari tadi aku menunggu
kau, mau cepat pulang aku ini. Sudah rindu dengan mama’ ku.”
Ucap mas
Gunawan dengan logat Medannya yang khas. Ia adalah salah satu pangeran di
Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran Gigi. Pesawat menuju soeta akan
berangkat 30 menit lagi. Kami harus segera naik ke pesawat atau bisa tertinggal.
Selama perjalanan, mas Gunawan selalu membuatku tertawa. Beliau juga salah satu
motivatorku, terlebih juga ia yang membantuku untuk mempersiapkan checklist
untuk kuliah ke luar negeri. Mulai dari mempersiapkan dan mematangkan mindset,
memilih beasiswa, menulis motlet dan CV, paspor dan akomodasi, dan sebagainya.
Rasanya aku punya hutang budi padanya.
“Hey, coba
aku mau lihat fotomu ketika berbicara di depan orang penting di kampus keren
itu, ada kan?”
Aku tertawa
geli mendengar logatnya. Sambil aku membuka tab dan memperlihatkan potret
diriku diatas podium, ia menggeleng-gelengkan kepala, katanya takjub melihatku.
“Seandainya
aku bisa melihatmu disana, waduh.. berat ini berat. hahahha.” Ujarnya sambil
menepuk-nepuk pundakku.
Pesawat
landing dengan aman. Setelah mengambil barang-barang kami langsung mencari
restoran Padang. Sudah lama aku tidak makan rendang yang rasanya pedas
menggugah selera itu sambil di temani es payakumbuh yang menyegarkan tenggorokan.
Masih dengan banyolan dari pria yang selalu berkocol dengan komedinya di
tengah-tengah obrolan, aku ditanya soal jodoh. Bah, macam mana pula abang ini?
“Waduh,
pertanyaannya sulit di tebak nih. Yaa susah-susah gampang lah pertanyaan mas
Gun ini.”
“Heyy,
jangan terlalu lama kau menuntut ilmu. Kau mau kawin dengan meja memangnya? Masa’
kau kalah dengan si bujang satu itu, Fizi. Gerak cepat dia itu. Bahhh ! Pemuda
jaman sekarang. Adik dulu nikah baru abang. Disana memang tidak ada yang
mendekati kau? Heyy aku kasih tau kau. Menurutku kau itu soal tampang kau itu
tampan tapi tidak mirip Justin Bieber atau Rangga ‘AADC’, otak pun cerdas, tapi
kenapa tidak ada yang mau dengan kau? Ahhh atau..”
Ia
memandangku sambil nyengir.
“Atau apa?”
“Ahh, tidak
jadi. Nanti saja, nanti jika aku tanya kau akan tersedak. Hahhaha. Habiskan
saja dulu rendang itu. Gampang kita bahas ini.”
Aku
menggelengkan kepalaku sambil terkekeh. Inilah yang aku senangi dari mas
Gunawan. Nanti akan aku perkenalkan dia padamu sayangku. Sabarlah, aku sudah
pulang. Hanya beberapa kilometer lagi kau dan aku akan memandang langit yang
sama seperti dulu.
****
Taxi sudah
mengantarku dan mempertemukanku kembali dengan macetnya ibu kota. Huf, karena
keasyikan mengobrol dengan pria tinggi tegap tadi aku sampai lupa harus pulang
ke rumah. Ku rogoh saku celanaku dan membuka dompet kulit coklat tua. Aku
mencoba membuka selipan potretku dengannya sewaktu SMA dulu. Ia kelihatan
cantik dengan bando putih yang menghias rambutnya, serta kacamata yang
mempermanis wajahnya.
Gerimis
datang seakan menyambut kepulanganku kembali ke Indonesia. Aku membuka sedikit
kaca jendela taxi yang aku tumpangi dan menaruh telapak tangan kananku untuk
merasakan hujan yang menyambutku. Belum satu menit, pak supir menyuruhku untuk
cepat-cepat menutupnya. Alasannya hanya karena takut jok nya basah terkena
cipratan hujan. Aku pun tertawa renyah mendengar ucapan pria dengan kumis tebal
di kursi depan itu.
Akhirnya aku
sampai di rumahku tapi aneh, sangatlah berbeda. Aku hampir pangling dengan
rumahku sekarang ini. Tidak ada lagi pohon alpukat di depan rumah yang banyak
ulat bulu ketika hendak berbuah. Kini terganti oleh pagar besi serta banyak pot
yang tumbuh bunga-bunga dan kaktus kecil, lalu nampak garasi mobil. Dari dalam
taxi juga aku melihat seorang anak kecil yang sedang bermain-main sambil di
pangku ibunya yang tidak lain adalah adik iparku, Fitri. Nampak berbeda dengan
di foto yang Fizi kirim saat ia menikah dengannya. Fitri mulai mengenakan hijab
setelah menikah dengan Fizi. Segera aku keluar dan mengambil koper serta backpack dan beberapa kantung belanjaan
berisi oleh-oleh untuk ibu dan ayah, tak lupa keluarga kecil itu.
“Assalammu’alaikum,
ma. Andi pulang..”
Tangan
hangat dan lumayan keriput namun masih kuat menggenggam tanganku serta mendekap
raga ini. Ayah menyambut kepulanganku, di susul kecupan hangat yang mendarat di
kening yang tidak lain adalah Ibu. Wanita terhebat yang aku punya dan yang aku
sayangi. Si kecil fikri juga masih bingung dengan siapa diriku. Ia hanya diam
sambil mendekap erat ibunya. Bahkan hampir menangis ketika aku hendak
menggendongnya. Langsung saja aku keluarkan robot-robotan yang aku siapkan
serta memberinya.
“Nihh, om
punya mainan bagus buat Fikri. Warnanya merah tuh, keren kan?”
Seketika
juga ia mengubah raut wajahnya dari yang cemberut menjadi tenang. Polosnya. Aku
segera membuka sepatu dan adikku Fizi membantu membawa koper dan barang-barang.
Fitri nampak sibuk membuatkan minuman di dapur, ibu dan ayah duduk di sampingku
sambil memijit-mijit lenganku. Masih terlihat garis wajah Ayah yang dulu tidak
mengizinkanku untuk melanjutkan studi diluar negeri dengan jurusan yang aku
pilih. Namun dengan modal nekat serta mengemis-ngemis di depan ibu untuk waktu
yang lama, akhirnya aku bisa berangkat dan tidak mengecewakan mereka.
****
Seusai solat
subuh aku membereskan baju dari dalam koper. Hari ini aku rencana ingin
jalan-jalan dan mengajak keponakanku. Namun sebelumnya harus ada pendekatan
terlebih dahulu. Aku mulai iseng ingin membangunkan keponakanku yang masih
terlelap. Namun usahaku sia-sia karena ibu tahu lebih dulu. Akhirnya aku
mengurungkan niatku.
“Hayo, mau
ngapain? Iseng aja. Buat teh dulu, bantu ibu.”
Ujar ibuku
sambil mencubit pipiku manja. Aku berjalan menuju dapur dan mengambil beberapa
cangkir untuk membuat teh. Kebetulan aku membawa teh herbal pemberian Shien
sebelum aku berangkat ke Harvard. Ahh iya, apa kabarnya gadis itu? Aku
merindukannya ketika membangunkanku kala subuh hanya untuk menyuruhku solat.
Namun bagaimanapun juga aku hanya menganggapnya sahabat, tidak lebih dan tidak
kurang. Setelah selesai kami sekeluarga berkumpul untuk sarapan pagi dan minum
teh bersama di beranda rumah.
“Oh iyah
sampai lupa. Aku punya hadiah untuk kalian.”
Aku berlari
ke kamar dan membawa tas, mengeluarkan selebaran yang ada di dalam amplop yang
tidak lain adalah ijazah, sertifikat ketika aku menjadi pembicara di acara
seminar, sertifikat perlombaan, serta transkrip nilai dengan angka yang membuat
adikku sedikit mengejek.
“Gue aja
sekolah nggak ada mimpi kayak gini tapi bisa kayak sekarang, kok tukang galau
kayak lu bisa begini? Hahaha.”
“Yaa
Alhamdulillah, tapi setidaknya kan lu yang udah
jadi penulis dan pengusaha sukses sekarang ini juga gak lain karena berkat
abangnya juga yang mendoakan. Buktinya tuh di garasi ada ‘gerobak besi’, yaa
nggak malu-maluin lah sama permaisuri dan jagoan kecil lu sekarang.”
Ucapku yang
membuat mereka semua tertawa riang. Fizi gerak cepat dibandingkan aku. Ia
memutuskan menikah setelah merasa mantap dengan hasil jerih payahnya. Fizi memang
berbakat dalam hal berwirausaha. Tidak aneh sejak smp dulu ia sudah mencari
uang saku sendiri. Mulai dari menjual kopi keliling di terminal sepulang
sekolah, asongan, sampai sekarang punya café 5 cabang di Jakarta, Surabaya, dan
Palembang. Dan aku dengar dari ibu kalau ia juga punya 1 cabang yang baru buka
8 bulan di bogor. Tepatnya di kawasan puncak.
“Kak, kalau
mau ajak teman-teman lu hangout suruh
aja ke café gue. Tenang aja diskon bisa di atur. Dan bakal ada acara musik juga biar nggak bosan.”
Ujarnya
sambil menyodorkan selebaran, ia juga memberi beberapa foto café yang juga
pernah dimuat di surat kabar lokal Jawa Barat.
“Widih,
boleh juga café lu. Oke deh, besok kita semua jalan-jalan kesana.”
“Ahhh ayah
sama ibu sudah bosan, hampir setiap minggu bahkan. Sudah kamu saja yang kesana
sendirian. Nanti saja kalau mau jalan dengan ibu dan ayah. Atau begini saja,
biar kamu ditemani Fizi dan istri beserta keponakanmu ini jalan kesana.
Lagipula
kalian berdua kan sudah sukses di jalan masing-masing, jujur saja ayah sangat
bangga, dan ayah mau lihat sehari saja tidak berantem gitu. Kakakmu ini 4 tahun
nggak pulang-pulang, lho. Dan anggaplah ini sebagai permintaan maaf ayah kepada
kamu karena dulu sempat melarang kamu keluar negeri. Yaa karena ayah bakalan
kangen kayak gini, le.”
Ujar ayah
sambil mengelus-elus punggungku.
“Loh kok
gitu?”
“Ya sudah
kalau nggak mau sendirian aja sana. Manja amat !”
“Ngeselin
lu, dek. Sumpah !”
Ayah dan ibu
serta istrinya Fizi tertawa melihat kami berdua bertengkar. Aku dan Fizi memang
langganan adu mulut ketika kumpul seperti ini. Namun maksudnya hanya bercanda,
tidak serius.
“Oh iya kak.
Seminggu yang lalu ayah bertemu dengan kawan lama ayah, dia juga bawa anak.
Lulusan teknik juga, cuma bedanya kakak kan S1, sedangkan dia sudah S2, sekarang
mengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung, bahkan ayahnya
bilang mau lanjut lagi ke S3 di Inggris.”
“Yaa terus?”
Ucapku
sambil mengerutkan kening. Ayah dan Fizi saling mengangguk.
“Ayah rencana
mau menjodohkan kamu dengan anak teman ayah itu.”
****
Perjalanan
dari Jakarta menuju Bogor. Rasanya cukup melelahkan dan rasa lapar terus
melanda, karena hari ini adalah weekend,
macet tidak bisa dihindari, mau tidak mau aku harus tetap bersabar. Pintu Tol
Ciawi, disinilah aku terdampar selama 2 jam lamanya bersama pengendara lain
sedangkan waktu yang di tempuh kira-kira satu setengah jam lagi menuju villa
milik Fizi, itu juga kalau tidak macet. Sayangnya mereka semua tidak ikut,
terpaksa aku harus berangkat sendirian. Pikiranku mulai kalang kabut. Dijodohkan.
Hah ! aku bukan Siti Nurbaya. Aku hanya merindukannya. Ya, Riana !
2 jam
berlalu, aku melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah aku di café milik Fizi, aku
penasaran. Makanya sengaja mampir kemari terlebih dahulu sebelum menuju villa. Aku
segera memesan kudapan yang ditawarkan di café ini. Sembari menunggu, aku duduk
sambil memandangi hijaunya pemandangan disini. Udaranya sejuk, hamparan kebun
teh terlihat luas sejauh mata memandang, hijau dan nampak menyejukkan mata. Riana,
aku tidak tahu dimana kamu berada sekarang ini. Kau harus melihat pemandanan
ini. Aku dibuat takjub oleh ciptaan-Nya yang Maha Dahsyat.
Tanganku
tergerak mengambil ponsel dan membuka akun sosial mediaku. Sudah lama tidak melihat
orang-orang berceloteh di sini. Banyak pesan masuk dari teman-teman alumni
ternyata. Tidak lupa pula untuk check email, siapa tahu Shien menanyakan
kabarku, dan ternyata benar. Shien menanyakan kabar dengan manjanya.
“Hello.. Gimana kabar kamu, nggak kena banjir kan rumahnya? Aku
kangen kamu, di. Ayo ketemuan yuk, bareng Fahmi dan yang lain. I miss you so
much !”
Terkadang
merasa sedikit risih ketika ia berada di dekatku, bagaimana tidak? Ia terkadang
langsung merangkul, bahkan memelukku. Tentu ini membuat semua teman-temanku
berbicara yang tidak-tidak, atau membicarakanku di belakang. Mungkin jika ayah
tahu dengan kelakukanku yang memiliki sahabat perempuan seperti Shien, ia pasti
akan kecewa. Tapi sekarang ini kita saling berjauhan, biarlah. Pesananku tiba.
Caramel latte dan choco brownies hangat siap santap di depanku. Mengingat
caramel latte juga mengingat kebersamaanku dengannya sewaktu sekolah dulu. Aku
hanya merindukannya. Ku buka laptop, memasang earphone, melihat playlist dan memutar 1 lagu dari One Ok Rock.
Jika ditanya mengapa aku menyukai band ini dan sejak kapan maka jawabannya
adalah sejak SMA dulu, dan Riana pula yang memeperkenalkannya padaku. Answer is
Clear adalah lagu pertama yang ia kenalkan padaku.
Aku menyukai
band ini karena genre musiknya dan mereka sangat kreatif, walaupun genre
musiknya keras tetapi tidak meninggalkan unsur-unsur, bahasa, dan alunan musik
khas negara mereka yang membuat setiap lagunya easy listening dan setiap yang mendengar tidak merasa bahwa
musiknya adalah musik keras. Mungkin ini adalah salah satu yang menjadi ciri khas
dari One Ok Rock selain orang-orang tahu darimana mereka berasal. Yap. Darimana
lagi kalau bukan Negara Matahari Terbit?
Jemari ini
mulai menari diatas keyboard dan aku mulai
berselancar ke dunia maya, stalking akun miliknya ku lakukan. Sial, aku baru
ingat kalau aku telah memblokirnya setelah ia memutuskan hubungan. Perasaan
gengsi masih menggebu dalam batin. Akhirnya ku urungkan niatku untuk memulai
lebih dulu, entah kapan aku bisa berbicara dengannya lagi. Tapi aku tidak akan
bisa jika tidak memulainya lebih dulu. Ahh !
Angin yang
berhembus menambah hawa dingin di sekitarku, rasanya minumanku mulai mendingin.
Segera aku meminumnya selagi hangat.
Ponselku berdering, ku lihat layar ternyata Mas Gunawan yang menelpon.
“Hallo
bujang.. apa kabar kau? Lusa sibuk tidak?”
Katanya
dengan logat khas yang membuat telingaku geli.
“Saya baik
mas, lusa Insha a’ Allah tidak mas. Memang ada apa ya”
“Begini, aku
mau memperkenalkan kau pada seseorang. Dia bisa dibilang adalah orang
kepercayaanku. Kita ada project selama 4 bulan. Kalau kau ingin tahu dan
tertarik untuk bergabung dengan kami, datanglah lusa. Untuk tempatnya nanti aku
kabari lagi paling lambat besok pagi jam sepuluh. Terus aktifkan ponsel mu,
bujang. Karena kami akan sangat senang jika kau bergabung dengan kami.”
“Baiklah,
saya usahakan mas. Terimakasih mas, saya juga penasaran dengan project nya.
Tapi mas, kalau boleh tahu dari sekarang, siapa yang memegang project itu?”
Tanyaku.
“Dia wanita,
cantik, cerdas, dan masih perawan. Yaa siapa tahu kau bisa kepincut dan menyusul si Fizi.”
“Ohh,
baiklah. Terimakasih mas.”
“Ahhh kau
kaku sekali ! Ya sudah. Tunggu kabar dariku. Kau harus tampan pokoknya lusa
nanti.”
Ujarnya
sambil menutup telepon. Tidak habis pikir dengan pria satu ini. Pikirannya
hanya ada pertanyaan ‘kapan Andi menikah?’ aku hanya mau dia. Ya, Riana.
****
Aku berdiri
di depan cermin sambil mengenakan dasi. Menyisir rambutku agar rapi serta
memberinya sedikit wax agar terkesan
kekinian. Entah setelah kepulanganku dari negeri orang aku jadi sedikit stylish. Begitupun adikku yang terkadang
menggeleng-gelengkan kepala melihat diriku yang modis.
“Wehhh, udah
rapi aja. Gimana kak, jadi ketemu sama orang yang kakak bilang?”
Tanya Andi
sambil melipat Koran.
“Yaa jadi,
kita ketemuan di Sarinah. Tepatnya di sebuah café yang tidak jauh dari tempat kita makan kemarin sore, kok.”
“Ohh begitu,
bareng yuk. Tenang aja, hari ini gue jadi
supir lu deh. Hahahaha.”
Aku
tersenyum padanya sambil mengacak-ngacak rambutnya. Di perjalanan aku dibuat
linglung oleh perasaanku sendiri. Aku sudah pulang sekarang, mengapa tidak ada
gerakan untuk menemuinya sekali saja?
“Lu kenapa
kak, tegang banget? Mau ketemu bos segitunya. Gue ketemu client biasa aja.”
Aku tidak
menghiraukan pertanyaan Fizi, aku terus memandangi kaca spion yang memantulkan
bayangan kendaraan di belakang. Riana, ya Riana. Aku merindukanmu.
Sampailah
aku di tempat yang sudah mas Gunawan tentukan. Fizi membuntutiku dari belakang,
sambil mencari-cari mas Gunawan aku kebingungan. Karena memang banyak orang
ber-jas hitam dan berdasi disini namun di dominasi oleh ibu-ibu yang sedang
arisan. Hingga akhirnya Fizi berjalan sambil menarik tanganku menuju sosok
gemuk dan tegap. Ya, mas Gunawan.
“Aihhh
bujang lapuk sudah tiba. Duduklah. Pesan minum dahulu. Sudah lama aku menunggu.”
Ucapnya
sambil menjabat tanganku dan Fizi.
“Apa kabar
mas Gunawan? Waduhh lama tidak jumpa dengan ku, rindu yaa?”
“Ahhh ada
papa muda pula ikut. Hahaa”
“Ohh tidak,
saya hanya mengantar kak Andi saja untuk bertemu bos katanya. Hahaha.”
Aku hanya
nyengir kuda dibuatnya. Tidak lama setelah berbasa-basi, Fizi pamit untuk pergi
karena harus segera ke Surabaya siang ini. Tinggalah aku dan mas Gunawan
disini.
“Mas,
sebenarnya project apa yang mas bicarakan? Saya penasaran sekali?”
“Hahaha,
sabar lah anak muda. Jangan terlalu terburu-buru. Biarlah nanti bos mu yang
menjelaskan. Ia tadi keluar untuk membeli rokok katanya.”
Aku hanya
mengangguk. Waiters membawa pesanan
kami. Aku menyeruput kopi luwak di hadapanku sambil membuka ponselku. 3 surel
masuk. Aku check dan ternyata Shien mengatakan kalau ia ada di Jakarta sekarang
dan ingin bertemu denganku. Kapan ia pulang dari Bangkok? Aku meminta nomor
ponsel milik Shien dan segera menghubunginya. Belum sempat aku membuka pesan
balasan miliknya, wanita berparas cantik dan hadir di hadapanku dan mas Gunawan.
“Sampai mana
kita tadi, gun?”
****
Aku bukannya
tidak berniat bekerja dengannya, apalagi gengsi. Hanya saja bekerja dengan
wanita ini membuatku merasa tidak nyaman. Menjadi asisten bos wanita itu
awalnya memang tantangan untukku selama 2 bulan terakhir dimana aku harus
menemaninya kemanapun dan menjadi translator ketika mengadakan meeting. Aku rasa ada yang salah dengan
pikiran wanita itu. Baru 2 bulan aku bekerja dengannya malah memintaku menjadi
suami dan mengurus ketiga anaknya. Ingat ketika aku berkunjung kerumahnya aku
dibuat mabuk. Untung saja aku masih setengah sadar, jika tidak mungkin sudah
‘terjadi’ hal yang terkutuk. Aku segera berlari keluar rumah, mencari taksi
untuk segera pulang. 3 hari kemudian, aku melayangkan surat resign. Sempat merasa
tidak enak karena mas Gunawan. Tapi sekali lagi, prinsipku adalah Allah pasti
mencarikan jalan lain. asalkan jangan sampai jatuh di lubang yang sama.
Setelah
kejadian itu, seminggu kemudian aku di panggil oleh salah satu sahabatku yakni
Husna yang sama-sama berjuang denganku di Nanjing dulu. Ia meminta agar aku
juga menjadi pembicara di seminar tersebut sebagai perwakilan alumni dari
almamaterku dulu di Cina terkait beasiswa luar negeri dan kontribusi kami
selaku alumni dari salah satu beasiswa yang kami terima. Kami berdua menjadi
pembicara di salah satu Universitas Negeri di bilangan Jakarta Timur.
Memberikan ilmu kepada khalayak banyak adalah hal yang menyenangkan untukku. Bagaimana
tidak? Dengan ilmu yang telah kita berikan dan mereka mengamalkannya dengan
baik dan ikhlas bagiku adalah investasi terbesar yang tidak dapat dipungkiri
keuntungannya. Dan dengan ini caraku berbagi rezeki kepada orang lain.
Malam
harinya tepat setelah ibu menyelesaikan solat isya. Aku tunggu ibu sambil duduk
di kursi dekat tempat tidur. Setelah selesai, ibu melirikku sambil menatap
aneh. Ku hampiri dan ku dekap sambil mencium keningnya.
“Bu, aku
menjadi pembicara lagi. Kali ini aku akan berbicara di depan pelajar dan
mahasiswa terkait beasiswa, sebelumnya Andi mau meminta maaf kalau Andi selama
ini punya salah. Andi belum bisa membanggakan dan membahagiakan ibu. Namun Andi
berterimakasih karena ibu selalu mendukung dan membela Andi ketika ayah
melarang. Do’a dari ibu yang membuat Andi bisa seperti sekarang. Andi mohon, do’akan
Andi untuk berbagi ilmu agar ilmu yang Andi punya bisa bermanfaat untuk orang
banyak. Sekarang ibu duduk di kursi. Biarkan Andi membasuh kedua kaki ibu.”
Entah hanya
pendengaranku saja atau memang ibu benar-benar menangis, aku hanya mendengar
isakan darinya. Ku basuh perlahan kaki ibuku yang agak keriput dengan air
hangat dalam baskom berwarna merah.
Sudah lama aku ingin melakukan ini namun rasa malu masih menguasai batin dan
pikiranku. Namun kali ini aku tuntaskan nazarku. Berhasil menyelesaikan studi di
luar sana, bisa naik pesawat yang membawaku ke 3 benua, dan memiliki ibu yang
tangguh seperti ibuku adalah hadiah dari-Nya yang sangat luar biasa. Tidak ada
nikmat dari-Nya yang aku dustakan. Tidak ada !
Tibalah
sabtu pagi dimana aku berdiri di depan cermin dengan gagahnya seperti yang ibu
dan ayah katakan. Dengan sarapan nasi wuduk yang ibu buatkan menambah energy
baru setelah kejadian yang dahulu berlalu. Ponselku berdering menandakan pesan
masuk, ternyata dari Husna, ia bilang bahwa kita akan di jemput dengan
kendaraan dari universitas tesebut, dan akan sampai 1 jam lagi karena harus
menjemput ia terlebih dahulu, baru giliranku. Rasanya sudah tidak sabar
berjumpa dengan sahabatku yang pendiam ini. Namun jangan salah dengan sikapnya
yang pendiam, jangan hanya karena ia pendiam namun pasif. Dalam hal akademik
apalagi sosial ia sangat aktif bersuara.
Tidak hanya
secara lisan, namun secara tulisan juga. Husna salah satu dari segelintir
wanita yang menyuarakan tentang hak dan pentingnya literasi untuk semua
kalangan. Ia pendiam, namun ia tahu kapan dan dimana saatnya ia berbicara dan
mengemukakan pendapat. Selama di Negeri Tirai Bambu juga Husna telah menulis 2
buah buku karyanya. 2 novel remaja berhasil ia tulis selama disana. Dan yang
aku dengar dari teman-teman lain bahwa ia sedang menulis buku cerita anak-anak
muslim dalam 3 bahasa. Yakni Mandarin, Indonesia, dan Belanda. Aku sangat
bersyukur karena aku bisa memiliki sahabat sepertinya.
Jam dinding
kamarku menunjukkan angka 8. Tanda bahwa sebentar lagi jemputanku datang. Dan
benar saja, 3 menit setelah aku mengobrol
banyak tentang Husna dengan ibu jemputanku datang. Husna turun dari mobil
dan aku dengan keluargaku menyambutnya.
“Assalammu’alaikum,
hai Andi. Sahabatku yang luar biasa !!”
Ucapnya
dengan ramah dan suaranya yang lembut. Aku langsung memperkenalkannya pada
keluargaku. Namun tiba-tiba adikku Fizi malah asal ceplas-ceplos.
“Waahh
sahabat, ehh maksudnya calon kakak ipar sudah tiba, bu.”
Wajah Husna
langsung memerah mendengar ucapan Fizi. Aku malu ! Tidak lama berbasa-basi kami
pun segera naik kedalam mobil dan melaju meninggalkan rumah. Di perjalanan aku
tidak henti-hentinya mengucapkan kalimat tasbih dan tahmid. Husna sibuk dengan laptop di pangkuannya,
nampaknya ia sedang mengerjakan bukunya.
“Masih ngerjain bukunya? Sok sibuk ah. Katanya
kangen, bohong aja nih kamu !”
Ucapku
dengan maksud mengajaknya bercanda namun yang namanya Husna ketika sedang fokus
di depan monitor laptop atau buku pasti tidak akan menggubris perkataan
orang-orang di sekitarnya. Akhirnya aku biarkan ia mengerjakan tulisannya dan
aku meneruskan dzikir. Terlintas di pikiranku tentang Riana. Rasa gengsi untuk
menyapa terlebih dahulu masih menguasai batinku. Ku raih ponsel dari dalam
ransel dan membolak-baliknya. Keluar-masuk dunia maya hanya untuk memastikan
apakah aku mau atau tidak memulai terlebih dahulu menyapanya.
“Kalau suka
yaa tinggal bilang, apa toh susahnya?”
Celetuk
Husna. Bukankah ia sedang tidak memperhatikanku?
“Apasih
kamu, sok tahu.”
Husna
berhenti mengetik dan tersenyum menatapku. Kacamata ia lepaskan dan
membersikannya dengan tissue.
“Kalau kamu
mau menghubunginya lagi yaa tinggal lakukan. Bukankah itu yang sering kamu
bilang pada saya, di? JUST DO IT !”
Husna adalah
orang kedua yang tahu masa laluku dengan Riana setelah mas Gunawan. Husna
pandai menjaga rahasia, itulah alasan mengapa jika aku ingin bercerita selalu
dengannya atau mas Gunawan. Shien? Ahh dia sedikit bawel. Jika aku beritahukan
ini padanya pasti ia akan kecewa berat. maka dari itu aku masih mencari waktu
yang tepat untuk menceritakan semuanya, karena aku tahu apa yang ia rasakan
padaku sampai saat ini. Tidak sengaja aku melihat ia diam-diam menulis diary
dan menuliskan namaku. Aku cukup tahu pada Shien, maka dari itulah aku menjaga
jarak padanya.
“Saya
bingung harus mulai darimana, dia yang memutuskan hubungan ini. Dan saya hadir
kembali setelah beberapa tahun pergi tanpa kabar.”
Ucapku
lirih.
“Yaa mengapa
kamu tidak mencoba lagi? Sekadar ‘say hay’, just
it. Bukankah setiap manusia berhak mendapatkan kesempatan kedua? Kamu
jangan takut. Jika ia tidak meresponmu, berarti dia punya prinsip dan kamu
tidak usah lagi berharap padanya. Itu juga sudah termasuk hukum alam. Kau
adalah laki-laki dan dia perempuan, sama sepertiku tentunya. Kita harus siap
menerima semuanya, di terima, dan di tolak. Itu pasti. Jika dikatakan hidup itu
kejam, ya. Memang kejam. Karena sebaik apapun maksud dan tujuan kita
melakukannya untuk kebaikan pasti akan masih ada saja yang tidak menyukainya,
dan kamu harus hadapi. Karena nggak semua
cerita bisa happy ending. Namun kamu
yakin dan percaya bahwa masih ada pelangi yang hadir sesusai hujan.”
Katanya
sambil kembali mengenakan kacamata dan lanjut mengetik. Akan aku coba saran dari
Husna. Benar juga apa yang dikatakannya. Aku seolah-olah mengemis cinta pada
Riana namun tidak berani untuk mengungkapkannya.
Sampailah
aku di depan gerbang Universitas. Cukup ramai yang datang. Entah mahasiswa yang
ingin kuliah, hadir seminar, atau kegiatan lain. Aku dan Husna turun dari mobil
dan kita masuk ke aula lewat pintu belakang aula kampus. Kita berdua di sambut
oleh panitia penyelenggara. Aku duduk bersebelahan dengan Husna, 30 menit
sebelum acara dimulai kami melakukan briefing
dengan panitia penyelenggara. Aku juga mempersiapkan bahan presentasi yang
sudah aku buat dan disempurnakan tadi malam. Aneh sekali, rasanya grogi
berbicara di depan pelajar Indonesia. Sangat jauh berbeda ketika berbicara di
depan mahasiswa dan para petinggi universitas di Harvard.
Tepat jam
Sembilan pagi acara dimulai. Pertama sambutan dari rektorat kampus, disusul 2
orang dari bagian kemahasiswaan, ketua panitia pelaksana, serta yang memulai
mengisi materi ialah Husna, disusul aku.
Husna membuat euphoria di dalam aula. Gemuruh suara
mahasiswa yang membuatku merinding ketika Husna menyampaikan kata-kata semangat
kepada para mahasiswa dan pelajar SMA yang menjadi peserta seminar. 15 menit
berlalu, kini giliranku yang mengisi materi. Bagianku diberi kelonggaran waktu
selama 20 menit.
Aku mulai beraksi
di atas panggung, berdiri tegap, dan memberikan salam, sapaan, dan
senyuman kepada mereka semua. Aku
memutar sebuah film documenter dengan durasi 5 menit yang aku buat sendiri.
Film ini adalah film yang aku buat sebagai bentuk rasa syukur kepada
orang-orang luar biasa yang telah hadir di kehidupanku. Ibu, ayah, Fizi, teman
masa sekolah dan sahabatku yang tidak kalah luar biasa ketika aku melanjutkan
studi di Nanjing, Shien, Marry, Fahmi, Husna. Dengan backsound lagu dari Tulus yang berjudul Monokrom. Atmosfer sekitar
menjadi sangat berbeda, ketika aku perhatikan, ada peserta seminar yang
tersenyum, tertawa, bahkan menangis. Entah terharu atau perasaan lain. Dan di
bagian akhir film aku memasang fotoku dan Riana ketika sewaktu SMA dulu. Aku
dengan seragam putih abu-abu, begitupula dengan Riana. Kami berfoto dibawah
pohon rindang dekat lapangan Basket. Rambutnya yang terurai panjang sepinggang
dan agak bergelombang, kulit putih, bibirnya yang ranum, Riana.
Lembar Monokrom hitam putih,
Aku coba ingat warna demi warna di hidupku
Tak akan ku mengenal cinta,
Bila bukan karena hati baikmu
-Tulus,
Monokrom-
****
Terhitung 4 bulan
kepulanganku ke Indonesia. Ini adalah hal yang sangat menyenangkan. Bagaimana
tidak? Selama 1 minggu dibulan keempat ini dan kedepannya aku akan menghadiri
banyak pertemuan, seminar, sibuk membagi ilmu yang aku punya kepada orang
banyak. Aku sangat suka berbicara di depan umum. Namun banyak hal yang harus
aku pelajari lagi. Dimana apapun yang aku baca, aku lihat, dan aku dengar harus
aku bagi kepada semua orang. Sekali lagi, ini adalah investasi yang aku lakukan
untuk Indonesia kedepannya. Di bulan ketiga kepulanganku tepatnya November, aku
menulis buku dan aku bersyukur karena tulisan yang aku tulis sangat diapresiasi
oleh penerbit, dan sebentar lagi menjadi buku yang dibaca oleh banyak orang. Aku
berdo’a, semoga apa yang aku tulis ini bisa menginspirasi banyak orang untuk
berbuat lebih baik untuk orang lain, dirinya, dan negaranya. Amin.
“Kak, mau
ikut ke café besok? Ikutlah, kan libur panjang 4 hari. Kali ini sajalah
bersantai, kita berangkat bareng ayah
dan ibu.”
Ucap Fizi
sambil menepuk pundakku. Aku tersenyum dan mengangguk. Sudah lama aku tidak
memandangi hijaunya hamparan kebun teh disana. Green café Kota Bunga, Bogor.
Aku
berangkat dengan keluargaku. Ayah, ibu, Fizi dan istrinya serta keponakanku
yang tampan, Fikri. Tidak perlu waktu lama ternyata ketika aku sampai sana. 3
jam waktu yang kami tempuh untuk sampai di café. Berharap hari ini tidak ada
telepon yang berdering, tapi ternyata hanya ekspetasi. Baru 5 menit aku duduk
dan memesan makanan, benar saja. Pak Arifin, Beliau adalah salah satu orang
yang bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat. Sudah lama aku tidak bertemu dan mendengar
suaranya. Ia tiba-tiba meminta kontak Mrs. Chen dan menghubunginya. Yaa, wanita
yang berusia 45 tahun namun wajahnya nampak seperti usia 29 tahun. Beliau ini
wanita Indonesia campuran darah Tionghoa. Namun tidak luntur kontribusinya untuk
negaranya, Indonesia.
Karena
pelanggannya cukup ramai, maka suara pak Arifin dari telepon sulit terdengar.
Akhirnya aku berjalan keluar café mencari tempat yang agak tenang. Beliau
menyampaikan untuk bertemu denganku namun ia juga membutuhkan Mrs. Chen, karena
ada file miliknya yang tertinggal atau hilang. Barangkali Mrs. Chen tahu atau
ada di tangannya. ia juga mengatakan kalau saat ini sedang di Indonesia selama
2 hari.
“Iyah baik, nanti saya
sampaikan kepada Mrs. Chen untuk segera dikirim ke kantor bapak. Kebetulan juga
sekarang saya sedang pulang kampung, saya ada di Indonesia. Begini saja, nanti
saya atur waktu pertemuan kita, pak. Bagaimana?”
Ucapku sambil tergesa-gesa berjalan menuju teras café.
Lumayan dingin disini, aku sampai lupa mengenakan sarung tangan. Jujur, disini
dingin. Sangat dingin.
Seusai
menelepon dengan pak Arifin, aku kembali masuk kedalam café untuk menyantap
makanan.
“Sibuk
banget. Katanya liburan?”
Ucap ibu
sambil mengelus rambutku. Aku terkekeh dan mencium pipi ibu.
“Mana kopinya.
Aku mau minum, dingin sekali bu di luar.”
“Siapa yang
meneleponmu?”
“Tadi pak
Arifin, bu. Dia dari kedubes Indonesia yang ada di Amerika. Jadi sewaktu Andi
jadi pembicara di Harvard, dia hadir bu.”
Ibu
mengangguk sambil tersenyum. Ini adalah hal yang sangat aku rindukan dari ibu.
Senyumannya.
****
Liburan kali
ini harus aku habiskan dengan hal berkesan. Berharap bisa bertemu dengannya di
kota yang terkenal dengan puncak, kebun teh, paralayang, serta pemandangannya
yang indah.
“Zi, kakak
boleh pinjam kunci mobil?”
“Boleh,
memang mau kemana?”
“Hmmmm, mau
cari angin.”
Fizi tertawa
geli mendengar jawabanku.
“Cari angin,
atau cari yang cantik-cantik?”
Aku
tersenyum sambil memukul pelan pundaknya.
“Yasudah,
ambil tuh dekat tv. Ingat, jangan pulang malam-malam. perjaka nggak baik pulang
tengah malam, kak.”
Aku
menggeleng sambil berjalan keluar. Aku kembali mengunjungi café milik Fizi.
Namun di tengah perjalanan ban belakang kempes. Segera aku menepi dan keluar
melihat sekitar. Mencari tukang tambal ban atau bengkel terdekat.
Alhamdulillah, hanya berjarak 15 meter dari tempat kejadian aku mengemudikan
mobil menuju bengkel. Lumayan ramai. Tidak apa, yang penting aku bisa menuju
café dengan selamat, dan bertanggung jawab karena telah meminjam mobil Fizi. 25
menit aku menunggu. Waktu yang cukup lama. Dengan waktu yang lama itu aku
habiskan waktuku untuk membeli jagung bakar dan bandrek di warung sebelah
bengkel tersebut.
Aku
berbincang-bincang dengan pemilik warung jagung bakar tersebut yang ternyata
adalah seorang anak yang baru lulus SMA, namanya Dian. Anaknya baik, ramah, dan
pintar. Ia tinggal bersama ketiga adiknya yang masih kecil dan harus menjadi
tulang punggung di keluarga. Karena sang ayah telah pergi menghadap Sang
Khaliq, dan ibunya entah berada dimana sekarang. Jadi, mau tidak mau ia harus
tetap hidup dan menghidupi ketiga adiknya. Setelah selesai berbincang dengan
gadis itu, aku melanjutkan perjalanan menuju café. Aku hanya ingin merenung,
dan menenangkan pikiranku dari semuanya. Meresapi hembusan angin malam sambil
kembali mengingat masa-masa indah bersama gadisku, Riana.
“Ehh si aa
datang lagi. Pasti mau ngopi?”
Ucap pelayan
menyapaku. Aku langsung akrab dengan karyawannya Fizi. Mereka orangnya humble, dan lucu. Aku mengangguk dan
segera duduk di kursi kayu antik, sambil memandangi gemerlap cahaya lampu rumah
penduduk dibawah sana, layaknya kunang-kunang dari jauh. Riana akan sangat
senang jika melihat ini. Sayangku, aku pulang.
Moccachino
hangat siap santap dihadapanku. Aku hanya bisa meratapi semuanya, aku takut
sayangku. Aku takut kau menolakku. Aku mohon, maafkan aku yang pernah hadir dan
memberikan rasa sakit. Beri aku kesempatan lagi. Aku mohon. Air mata ini masih
terbendung, ku tarik tissue dari dalam kotak di hadapanku dan mengusap kedua
mata ini. Sepertinya minumanku mendingin, aku segera menyeruputnya. Kedua mata
ini ku pejamkan sambil berdo’a dalam hati.
“Pertemukan aku dengannya.”
Ku pandangi
orang-orang disekitarku. Nampaknya aku tidak asing dengan wajah itu. Tapi apa
mungkin? Tidak, itu bukan dia. Tapi apa mungkin? Sekali lagi aku perhatikan
baik-baik wajahnya. Ingin sekali aku melangkah dan mendekatinya, memandang
wajahnya lebih dekat. Ahhh tidak kuasa aku menahan perasaan takut yang mendera
! Aku berdiri dan melangkah sedikit lebih dekat. Aku duduk di antara 5 orang di
hadapannya. Tentunya wajahku tertutup oleh orang-orang itu. Tuhan.. aku bertemu
dengannya. Sekali lagi, aku bertemu dengannya. Hati ini berbunga. Tepat pada
moment ini lampion berwarna merah dan
jingga di terbangkan. Aku tatap rona di kedua pipinya. Nampaknya ia sedang
menulis. Dan yaa. Itu adalah buku dariku, pemberianku di hari ulang tahunnya.
Aku
tersenyum-senyum sambil tidak percaya. Belingsatan seperti orang yang sedang
kesurupan. Do’aku terkabul. Atmosfer yang sangat berbeda aku rasakan. Terimakasih
Tuhan, terimakasih atas pemandangan ini, terimakasih cinta, terimakasih Sang
Maha Pemberi Cinta. Ku pandangi terus wajahnya sampai-sampai ia berhenti
menulis, menatap sekitar, dan akhirnya meninggalkan café sambil menangis.
Orang-orang disekitar menatapnya melangkah pergi. Aku mencoba untuk
mencegahnya, namun aku masih kaku. Aku malah diam. Bodoh !
Kaki ini
berlari mengejarnya, tapi sayang ia sudah pergi meninggalkan café ini. Aku
kembali ke tempat duduk dan terdiam. Bertanya-tanya mengapa ia sampai menangis
seperti itu? Apakah ia sudah milik yang lain, ia menangis karena telah usai
dengan kekasihnya yang baru, dicampakkan, diselingkuhi, atau yang lain. Aku
tidak tahu. Ada sesuatu diatas meja yang barusan ia tempati, itu bukunya. Aku
melangkah maju dan duduk diatas kursi yang ia duduki. Ku bolak-balik buku yang
hampir usang itu. Namun hard covernya
masih kokoh. Hanya warnanya saja yang mulai memudar. Halaman demi halaman aku
buka. Bunga mawar di valentine pertama kuberikan padanya masih ada, hanya saja
sudah layu. Terdapat potretku dengannya ketika masih bersama dulu sebelum aku
meninggalkannya. Ditulisnya namaku dengan tinta berwarna merah jambu. Sepertinya
ia juga sedang ada di kota ini sejak beberapa hari yang lalu. Ku baca
tulisannya dari buku ini. Tidak kusangka ia menuliskan alamat villa yang ia
tempati sekarang di salah satu curhatannya. Sedikit lucu namun mataku malah basah. Aku merinduknnya, aku harus bertemu dengannya. Riana,
tunggu aku esok pagi.
****
Villanya
minimalis, namun terlihat nyaman. Halamannya dipenuhi tanaman berbunga. Ia
sangat suka bunga. Mawar pastinya. Mawar merah mendominasi di halamannya. Aku
mencoba menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan sekencang-kencangnya. Dengan
mantap aku mengetuk pintunya. 3 ketukan pertama belum ada suara langkah kaki
dari dalam. Kedua juga sama, dan yang ketiga kalinya barulah aku mendengar
kakinya melangkah. Aku masih sangat hapal suara langkah kakinya. Aku
membalikkan badanku sambil tersenyum. Aku pejamkan kedua mata ini, dan…
“Maaf, anda siapa?”
Aku terdiam untuk 5 detik, kemudian membalikkan tubuhku
sambil memberikan senyum padanya. Wajahnya pucat, rambut dan pakaiannya basah. Matanya
lebam membengkak. Sepertinya ia tidur dengan kondisi habis kehujanan, dan pasti
sehabis menangis. Oh Riana.
“Apa kabar Agent, apa radarmu meredup?”
To be
continued..
-Helena Vector-
Komentar
Posting Komentar