@February07, 2016
Kota Bunga, Puncak Bogor
Hujan di siang hari itu membuatku
merasa senang sekaligus sedih. Perasaan senangnya adalah karena Neptunus
memberiku kejutan dengan datangnya tetesan hujan. Dedaunan pohon pinus, rumput
liar yang tumbuh di genting villa tak terurus oleh pemiliknya, serta
burung-burung gereja yang hinggap di pepohonan kebasahan karena hujan, membuat
hatiku merasa damai. Bulan February adalah bulan penuh cinta. Ungkapan ini
hanya di gunakan oleh sebagian besar orang saat bulan February. Entah apa yang
membuat mereka mengatakan demikian, apakah karena di tanggal 14 February adalah
hari Valentine? Bisa jadi.
Perasaan sedihnya. Hari ini villa
Kota Bunga diguyur hujan. Segelas susu coklat yang hangat, sepiring roti dengan
siraman susu kental manis coklat, radio yang memutar lagu nuansa cinta, serta
suara tetesan hujan, hmmmm. Membaui hujan, teringat akan 6 tahun lalu aku dengannya
menikmati suasana seperti ini. Tubagus Serliandi atau sering disapa Andi, ia sangat
menyukai hujan sama sepertiku. Banyak kesamaan antara aku dengannya. Mulai dari
Anime,
olahraga, musik, dan hujan. Aku dengannya bisa merasakan yang namanya cinta.
Aku ingat pertama kali kita
jadian. Cinta dimasa SMA yang tidak pernah aku lupakan sampai sekarang sampai
akhirnya kita harus memutuskan hubungan karena ia akan jauh dariku, itu juga
suatu tindakan bodoh yang aku lakukan. Ia mendapatkan beasiswa di Cina. Aku
bukan tidak bisa menjalani hubungan tersebut karena terdapat banyak survey yang
menunjukkan 92% pasangan yang menjalani hubungan LDR atau Long Distance Relationship gagal. Namun tidak menurutku, aku
menentang akan hal itu. Aku sengaja memutuskan hubungan ini karena memang aku
ingat kata-kata yang dituliskan RA. Kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.
“Saat
suatu hubungan berakhir, bukan berarti dua orang berhenti saling mencintai.
Mereka hanya berhenti saling menyakiti”.
Aku setuju akan ucapan beliau,
dari sana aku berpikir bahwa aku tidak ingin menyakitinya. Dalam hal apa? Dalam
hal meraih cita-citanya dia yang pasti. Aku menegaskan padanya agar tidak
menomor duakan cita-citanya untuk menjadi seorang insinyur masa depan Indonesia.
Aku hanya tidak ingin ia tidak fokus akan impiannya. Niat ia kesana adalah
untuk belajar, dan aku tidak ingin konsentrasinya terganggu karena aku. Lagi
pula jika memang ia adalah jodohku pasti ia akan setia menungguku, begitupun
sebaliknya.
“Aku nggak mau ganggu kamu disana,
lebih baik kamu fokus daripada harus terus-menerus nantinya menghubugiku. Maaf.
Sebaiknya kita akhiri saja.”
Ucapku saat itu dimana hujan
membasahi kota Jakarta, momen pengumuman kelulusan sekolah. Ada perasaan yang
mengganjal saat itu, dan aku sering melihat ia menulis status di sosial media.
Begitupun kawan-kawanku yang mengatakan bahwa dia galau berat. Sempat merasa
bersalah akan diri ini, tapi aku coba menepisnya. Beberapa bulan telah berlalu,
musim silih berganti. Aku tidak mendapatkan kabar apapun darinya. Sampai di
tahun 2016 ini, tahun ke-enam dimana puncaknya aku merasakan kerinduan yang
amat membuat hatiku sangat sakit. Aku hanya mengobati rasa rindu
padanya saat hujan turun sambil menikmati coklat panas untuk membuatku merasa
tenang. Air mata ini menitik tanpa kusadari, dada juga terasa sesak. Mengapa
ini? aku sangat ingin bertemu dengannya. Masih ku dengar radio memutar lagu
dari Marcel, Firasat.
****
Cepat
pulang , cepat kembali jangan pergi lagi
Firasatku
ingin kau tuk cepat pulang
Cepat
kembali jangan pergi lagi
-Marcel,
Firasat
Senja tiba dan hujan berhenti,
aku pergi ke café untuk santai. Seperti biasa dimana aku berada, aku selalu
membawa buku diary. Diary ini adalah hadiah ulang tahunku darinya. Café yang
berjarak kurang lebih 1 km dari villa, sangat nyaman. Banyak ornament yang
terbuat dari kayu, dindingnya juga papan yang dibuat dari kayu Mahoni
berkualitas, banyak juga dipajang lukisan, pop art, serta keunikan lampu yang
digantung dengan sangkar burung. Sangat unik, di belakang café ini terhampar
kebun teh dan pohon pinus yang menyejukkan mata. Aku segera memesan coklat
panas dan kudapan ringan berperisa green
tea. Walaupun hujan sudah berhenti, namun kabut tipis masih tetap
menyelimuti bercampur hawa dingin.
Aku masih membaui aroma hujan
yang kuat menusuk hidung, membuatku terbawa suasana 6 tahun lalu. Hingga
akhirnya ketika coklat panas dan bolu gulung green tea dengan siraman susu
coklat datang, mereka mulai menggugah seleraku, meminta untuk segera aku santap.
Tak lupa aku mengucapkan terimakasih kepada pelayan yang telah mengantarkan
makanan ini. Senyum terkembang, ku pejamkan mata ini sejenak, merasakan
atmosfer yang amat sangat membuatku larut akan 6 tahun lalu. Kapan aku bisa
bertemu denganmu? Kau tidak rindu denganku? Atau mungkin kau telah melupakanku?
Aroma coklat panas benar-benar
menggodaku, segera aku menyeruput coklat panas ini. Akibat udara dingin disini, coklat ini segera
menjadi turun suhunya. Aku iris pelan bolu ini dan melahapnya. Kulihat sekitar,
terlalu banyak remaja disini bersama pasangannya. Aku hanya tersenyum
melihatnya. Ku buka diary ini, ada sesuatu yang terjatuh. Ternyata bunga mawar.
Bunga mawar yang telah layu, kelopaknya juga sudah coklat dan mengering. Mawar
ini adalah mawar pertamaku, mawar pertama saat valentine 6 tahun lalu.
Pikiranku melayang tak tentu arah, berandai-andai ia ada di depanku dan berkata
padanya “Aku masih menyimpan mawar
darimu.”
Segera ku ambil pena dari kotak
pinsil biru muda kesayanganku. Pena mulai menari-nari diatas kertas putih.
Menggoreskan ungkapan yang saat ini aku rasakan. Sedih, perih, lelah menahan
rindu. Semesta, mungkinkan ini rasa penyesalan atas kemunafikan yang aku
lakukan? Aku benar-benar merindukannya. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Aku hanya ingin berjumpa dengannya. Air mata mengalir bersama dengan turunnya
hujan. Aku masih terus menulis, mengungkapkan semua yang aku rasakan. Perih
hati ini. Tuhan, aku sangat merindukannya.
@Green
Café Kota Bunga, Bogor
07
February 2016
17.00
WIB
Neptunus,
aku merindukan rekan agen yang satu ini. 6 tahun sudah kami berpisah dan lost
contact, aku merindukannya. Neptunus, aku sangat ingin berjumpa dengannya
walaupun itu hanya sebentar. Inikah hukuman, inikah karma, inikah karma atas
kemunafikanku yang padahal aku tidak ingin berpisah dengannya. Walaupun aku
tahu ini merupakan pilihan yang sangat sulit aku putuskan, akan tetapi ini juga
aku lakukan untuk kebaikannya.
Dedaunan
di perkebunan teh saat ini mulai basah, entah aku harus senang atau sedih.
Namun aku tahu, hujan saat ini mencoba untuk menghiburku, menemaniku saat
pikiranku yang kini sedang kalut. 6 tahun aku mencoba untuk tidak terlalu
memikirkannya. Apakah aku munafik atas perbuatanku membohongi hati ini dan
diriku sendiri?
Air
mata ini tak tertahankan. Diary ini, pena, café, hujan, serta mawar yang layu
inilah saksi atas kepedihan yang aku luapkan saat ini. Terimakasih Tuhan karena
kau telah menurunkan hujan. Neptunus, sampaikan salamku untuknya yang entah
sekarang aku tidak tahu keberadaannya. Semoga ia masih Andi yang dulu, Andi
yang selalu ada disaatku butuh, Andi yang masih menyukai turunnya hujan.
Tertanda,
Agen Neptunus
Riana Natasha Sigi
****
Malam telah datang, 1 setengah jam
cukup bagiku untuk meluapkan semuanya. Saatnya kini aku kembali ke villa. Aku
berjalan menuju kasir untuk membayar makan, ku sodorkan selembar uang Seratus
Ribu Rupiah kepada penjaga kasir dan ia memberiku kembalian uang sebesar Lima
Puluh Ribu Rupiah.
“Langsung pulang, mbak?”
Tanya si penjaga kasih padaku.
“Iyah, saya buru-buru.”
“Ohh gitu, tapi mbak melewatkan
sesuatu nanti. Sayang sekali padahal.”
Melewatkan sesuatu, apa? Penjaga
kasir menunjukkanku pamphlet yang dipasang didepan pintu café ini. Penampilan
akustik musim hujan. Akan ada penyanyi indie yang tampil malam ini. Menarik,
namun aku harus pulang. Aku ingin beristirahat. Lagipula acara ini masih ada
sampai 3 hari berikutnya, mungkin besok aku akan kemari lagi jika masih ada
kesempatan.
“Iyah
baik, nanti saya sampaikan kepada Mrs. Chen untuk segera dikirim ke kantor
bapak. Kebetulan juga sekarang saya sedang pulang kampung, saya ada di
Indonesia. Begini saja, nanti saya atur waktu pertemuan kita, pak. Bagaimana?”
Aku mendengar seseorang dengan
suara yang tidak asing. Itu Andi, tapi mana mungkin? Aku berjalan keluar
melangkah ke mobil, namun sekilas wajah itu. Yaa itu Andi, iyah aku yakin itu
Andi. Gila ! aku tak mau lagi masuk kedalam café hanya untuk memastikan dia
Andi atau bukan. Pikiran ini masih tak tentu arah, mungkin ini hanya
halusinasiku saja karena aku saking merindukan Andi. Aku segera pergi dari café
daripada aku terus-terusan berhalusinasi. Sesampainya di villa aku segera mandi
dengan air hangat. Mencoba untuk rileks, pikiranku makin kacau saja hari ini.
Akan tetapi aku masih penasaran apakah itu Andi? Tidak, aku sangat yakin itu
Andi.
Keesokan malamnya aku datang lagi
ke café itu. Aku ingin menghilangkan
rasa penasaranku akan orang yang kemarin datang. Dimulai dengan memesan menu,
dan duduk di kursi yang sama seperti kemarin.
Pukul 7 malam, aku masih asik bermain ponsel, melihat akun Facebook
milikku. Sibuk mencari akun milik Andi, ternyata pertemananku dengannya masih
di blokir sejak aku memutuskan hubungan dengannya. Andi, sebenci itukah kau
padaku? Rasa sesak kembali timbul. Aku tidak ingin menangis, namun semakin aku
melawan maka semakin sakit rasanya.
2 jam sudah aku menunggu, namun
tidak ada orang yang aku cari. Apakah yang kemarin itu bukan Andi? Tapi aku
sangat yakin walaupun aku hanya menatap wajahnya sekilas dari samping. Aku
menatap kearah hamparan kilauan lampu yang menyala dari atas perbukitan, serta
lampion yang beterbangan dengan indahnya. Ohhh Andi, andai kau ada disini.
Pemandangan ini sangat menakjubkan. Aku sedikit terhibur akan adanya lampion
yang diterbangkan oleh orang-orang di sekitar café. Andi, jika memang yang kemarin itu adalah kau
maka datanglah. Izinkan aku untuk bertemu denganmu.
@Green
Café Kota Bunga, Bogor
08
February 2016
20.10
WIB
Selamat
malam ku ucapkan untukmu yang masih ku sayangi. Apa kabarmu? Aku harap kau
baik-baik saja. Negeri Tirai Bambu, negeri dimana banyak orang-orang hebat,
dimana banyak setiap barang dari yang kecil sampai yang besar pasti tertera
buatan negara tersebut. Bagaimana cita-citamu, sudah tercapai kah? Kau masih ingat
yang ku katakan sehingga kau membenciku?
Pasti
itu sakit untukmu, namun bukan berarti aku ingin terlepas darimu atau ingin
pergi kemudian melupakanmu. Aku hanya takut nantinya akan membuatmu merasa
terganggu akan impian yang ingin kau raih. Aku memang tidak bisa menjalaninya
sekalipun itu kita terpisah dengan jarak yang jauh, namun aku berbohong pada
diriku sendiri. Aku tak bisa.
Kemarin
sore tepat di café ini juga aku sekilas melihat pria yang mirip denganmu,
wajahnya tidak aku lihat jelas namun suara yang sangat aku yakin itu adalah
kamu. Aku sangat berharap itu adalah kamu. Menyesal? Yaa, aku menyesal. Mengapa
tidak aku hampiri saja langsung pria itu sehingga aku tidak penasaran apakah
itu kamu atau bukan. Tak apa, yang kemarin memang aku ragu. Malam ini kau akan
datang lagi bukan? Aku berharap, sangat berharap kau akan datang lagi
kemari,aku datang pada jam yang sama saat kau datang.
Hey..
Malam ini aku melihat lampion yang terbang diangkasa malam dengan indahnya. Kau
tahu? Aku sangat ingin menatapnya denganmu. Tapi aku saja tidak tahu sekarang
kau dimana. Jujur aku akui, sangat sakit menahan rindu ini. pulanglah sayang,
kembali, ku mohon maafkan aku. Beribu-ribu maaf aku ucapkan dari lisanku, saat
ini aku hanya bisa menangis dan menangis. Hujan yang selama ini menemaniku dari
kesendirian.
Aku
memang bukan manusia sempurna, aku tahu akan kesalahan yang aku perbuat hingga
kau merasa sakit dan akhirnya kau harus menghilang dari kehidupanku. Sekali
lagi, aku memutuskan hubungan itu bukan karena aku ingin pergi darimu. Aku
mendukungmu untuk meraih cita-citamu. Namun aku selalu berharap kau bisa
mendengar rintihan ini, dimanapun kau berada.
Angin
menjadi saksi atas suara rintihan kepedihan ini. Begitu sakitnya aku
merindukanmu disana, aku hanya ingin kau kembali. Pena ini, diary ini yang
selalu menjadi wadah air mataku menetes hingga kertasnya sedikit lusuh, juga
tinta dari pena yang luntur akibat air mata ini. Dimana kau sekarang? Aku hanya
ingin bertemu, kembali menatap wajahmu, sinar matamu, bibir merah, serta pipi
milikmu yang bagaikan paruh melayang.
Tuhan,
jika ini memang hukuman yang kau beri padaku atas kemunafikan yang aku lakukan,
ampunilah aku. Jika ini memang rasa sakit darinya yang harus aku derita
sekarang, aku terima. Karena aku percaya karma itu ada, dan sekarang aku sedang
merasakannya.
Tuhan,
jika memang aku di perkenankan untuk bertemu, maka pertemukanlah aku dengannya
walaupun itu hanya sebentar. Aku tahu ini sakit, namun aku juga ingin mengobati
luka ini. Luka atas kebodohan yang dulu aku perbuat, aku sangat merindukannya
Tuhan.
Aku
merindukanmu saat kau bermain-main dengan kucing yang kita pelihara yang sangat
kau jaga, dan aku juga merindukan hangatnya kecupan bibirmu yang mendarat di
keningku. Maaf, hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan untukmu. Aku memohon dengan
sangat, kembalilah untukku.
Tertanda,
Agen Neptunus
Riana Natasha Sigi
Terhitung sudah 3 jam aku duduk
disini dan udara dingin secara paksa menusuk hingga masuk menembus jaket yang
aku kenakan. Dada ini sangat sesak, air mata perlahan meleleh dan tumpah. Aku
segera meninggalkan café dengan perasaan sedih yang amat mendalam. Tak kuasa
hati ini menahan kesakitan akibat kebodohan dan ketololan yang aku lakukan. Maafkan
aku Tuhan, aku berbohong pada diriku sendiri. Ini memang hukuman yang harus aku
tanggung 6 tahun lalu. Hujan turun sangat deras, aku sampai di depan halaman
villa, membiarkan tubuh ini merasakan dinginnya hujan yang turun. Mencoba untuk
meredam api didalam hati dan pikiran yang amat panas. Aku langsung masuk
kedalam kamar, menangis sejadi-jadinya. Terus menangisi atas kebodohan diri
ini.
“Kenapa kau tidak datang lagi?
aku sangat yakin itu adalah kau, Andi ! Maafkan aku, maafkan aku telah
mengakhiri hubungan ini.”
Ucapku sambil terus terisak dalam
tangis sampai aku tertidur dengan kondisi pipi yang basah karena air mata, dan
baju yang basah kuyup karena hujan.
Pagi harinya aku terbangun karena
ketukan pintu diluar. Ku coba beranjak namun tubuh ini terasa berat, kepala
juga terasa sangat sakit, berjalan juga rasanya sulit, aku paksa ! Segera aku
membuka pintu, ku dapatkan seorang pria berpakaian rapih, mengenakan jas hitam.
Siapa pikirku orang asing ini? Kulihat di tangannya, diaryku? Mengapa bisa ada
ditangannya? Pasti tertinggal di café waktu semalam.
“Maaf, anda siapa?”
Ia membalikkan badannya sambil
tersenyum, betapa terkejutnya aku ! Tuhan..
-HELENA VECTOR-
Komentar
Posting Komentar