Suasana ramai, temaram lampu taman
berkilau dengan cantiknya menghiasi Taman Suropati. Angin mulai berhembus
kencang, disusul dengan gerimis yang kemudian makin lama makin deras tetesan
airnya. Ketika orang berlarian mencari tempat berteduh, ia mematung dibawah
hujan sambil memandangi Zarfa bersama kekasihnya. Air hujan berhasil menutupi
air matanya yang ikut mengalir.
“Seandainya,
ki..”
****
Chapter
1
Hujan membasahi kota Jakarta tadi
malam dengan derasnya. Memasuki waktu subuh, suhu menjadi dingin. Entah berapa
derajat celcius suhunya, Zarfa masih membungkus badannya dengan selimut tebal
di tempat tidur. Tetapi kali ini ia benar-benar harus bangun dari tidurnya yang
hanya terhitung 3 jam.
Pesan masuk dari Kiki membangunkan
Zarfa pada waktu subuh, hanya berisi ucapan selamat pagi dan jangan lupa untuk
melaksanakan solat subuh. Zarfa melirik jam dinding kamarnya yang terpajang, ia
tersenyum dan beranjak dari tempat tidurnya.
Tepat pukul delapan pagi Zarfa
menggeber motornya menuju kampus, ia memantapkan langkahnya menuju kelas.
Sesampainya di depan kelas ia dapatkan kertas yang di pampang di pintu ruang
kelasnya. Pemberitahuan bahwa hari ini tidak ada dosen. Mahasiswa hanya diberi
tugas yang harus dikumpulkan minggu depan.
“Huft, ya udah deh.”
Ucapnya dengan lesu. Ia keluarkan
ponselnya, terdapat pesan singkat dari Kiki yang berisi pertanyaan ‘Kak,
dimana? Ke tempat biasa, yuk.’ Lagi-lagi darinya. Ia bergegas menuju tempat
dimana mereka berdua selalu menghabiskan waktu bersama. Dibawah pohon rindang
taman kampus.
Disanalah mereka selalu menghabiskan
waktu bersama, entah mengerjakan tugas, membaca komik, menggambar, bertengkar,
curhat, makan bersama, mendengarkan musik, atau hanya bersantai.
“Mana ini anak?”
Ucapnya sambil mengetik pesan yang
akan ia kirim pada Kiki. Tapi belum sempat ia mengetik,…
“DUARRR !!”
“WOYY !! Apa? Datang tuh biasakan ucap
salam. Jangan main ngagetin !”
Tegasnya pada Kiki sambil melepaskan
earphone yang ia pasang di telinganya, kiki tertawa renyah.
“Kamu nggak ada kuliah?”
“Enggak ada, ini hari sabtu. Kakak
lupa kalau aku kuliah hari senin sampai jum’at aja? Kalau kakak sendiri?”
“Nggak kuliah, nggak ada dosen.”
Lugasnya, sambil membuka laptopnya dan
kembali memasang earphone.
“Ahhh, bolos kali. Jujur aja, kak !”
Zarfa menatap wajah kiki, dan kiki
hanya nyengir menunjukkan gigi kelincinya.
“Kak, aku lapar. Ke kantin, yuk?”
Zarfa hanya diam, mungkin karena ia
mendengar lagu dengan volume yang cukup keras.
“Kak, ayo kak.”
Ucap Kiki dengan manja. Zarfa tetap
tidak menyahut ajakannya, akhirnya Kiki membuka earphone yang Zarfa pasang
sambil berteriak ditelinganya.
“KAKAK AYO KE KANTIN AKU LAPAR !!”
Zarfa menarik napas panjang dan
menghembuskannya dengan cepat. Kiki sangat menyukai sikap Zarfa ketika kesal.
Pipinya ia buat menggembung sehingga mata sipitnya yang terhalang oleh kacamata
makin terlihat sipit, serta wajahnya yang memerah. Menggemaskan. Ia merogoh isi ransel dan menyodorkan kotak
makan pada Kiki.
“Wah, tumben bawa bekal?”
“Udah nggak usah banyak bicara, makan
saja. Kamu lapar, kan?”
Kiki mengangguk sambil tersenyum manis
pada Zarfa.
“Ya sudah makan. Bawel !”
“Ishhh, jutek banget. Tapi makasih
kak, hehheh. Tahu aja Kiki lapar.”
Zarfa hanya diam, kiki merasa kesal.
Kenapa dia hanya diam, sikapnya memang dingin terhadap perempuan. Ia pun
akhirnya memakan isi dari kotak makan yang Zarfa bawa, roti isi tuna yang lezat
siap untuk di santap.
“Kak, kakak nggak makan? Ntar kakak
sakit, ini kan bekal kakak. Kok dikasih ke Kiki?”
Lagi-lagi Zarfa tidak mendengarkan
Kiki akibat earphone yang tepasang di telinganya. Kiki penasaran lagu apa yang
sedang Zarfa dengar. Ia pun mendekat pada Zarfa, matanya mencoba melihat layar
monitor laptop. Namun belum sempat ia melihat, Zarfa menurunkan monitor
laptopnya sedikit.
“Kepo banget, sih? Mau makan ya makan
aja, nggak usah tahu urusan orang kenapa?”
“Lagian diajak ngobrol malah diam. Wajar aku kepo.”
Zarfa menggeleng kepalanya dan mencoba
memasang kembali earphonenya. Namun Kiki menahan tangannya untuk kembali
memasang earphone, ia bilang ingin mendengarkan juga lagu yang ia dengarkan.
“Nahh gitu, kan aku jadi nggak kepo
lagi tadi kakak dengar lagu apa.”
“Hmmm, iyah.”
Kiki tersenyum pada Zarfa, dan Zarfa
pun membalas senyuman Kiki.
“Kakak nggak mau rotinya? Enak, lho.”
“Aku nggak lapar, dek. Lagian aku bosan makan roti isi itu terus, dan kamu harus tahu
kalau itu roti isi aku yang bikin. Enak, kan?”
Kiki berhenti mengunyah dan tertawa.
“Yeh, malah ketawa. Serius itu kakak
yang buat, malah diketawain.”
“Hahaha, nggak percaya. Masa iya orang
macam kakak bisa buat roti seenak ini?”
“Nanti kakak buktikan sama kamu, Ki.”
“Yakin mau buktiin? Tapi kenapa?”
Zarfa lagi-lagi diam, ia hanya fokus
pada monitor laptop.
“Kak, jawab. Kenapa mau buktiin? Kan
aku butuh alasan yang pasti. Perempuan aja kalau lagi di deketin laki-laki
butuh kepastian akan hubungan diantara mereka apa? Cuma teman biasa atau memang
menuju ke tahap yang serius?”
Zarfa menolehkan wajahnya pada Kiki, ia
beranjak dari duduknya dan mendekati wajah Kiki.
‘Ada apa ini? baru kali ini ia berdiri
hanya 2 inci didepan wajahku.’
Kiki menunduk malu, wajahnya memerah.
“Ki…”
“Ng..iyah, kak.”
Zarfa mendekatkan jemarinya ke wajah
Kiki.
“Ki, itu..”
Kiki hanya menunduk diam, mematung.
“Ki, kamu cuci muka pas mandi tadi
nggak pakai sabun? Itu masih ada belek di
mata kamu.”
“Ihhh kakak !”
Pikiran Kiki buyar tak tentu arah, ia
mendorong tubuh Zarfa. Mereka berdua tertawa bersama di sabtu pagi yang cerah
itu. Suara tawa mereka terus terbang ke atas awan bersama angin yang berhembus.
****
Chapter
2
Jakarta, Sabtu sore.
“Hey kamu ikut kakak, yuk”.
“Kemana?”
Zarfa mengerutkan kening, tanpa banyak
bicara ia menarik tangan kiki dan menyuruhnya cepat-cepat naik ke jok motor.
“Ihh, kakak nih kadang suka nggak
jelas. Kemana, sih?”
Zarfa tidak menghiraukan pertanyaan
Kiki, ia langsung mengendarai motornya keluar kampus. Sabtu sore itu Zarfa mengajaknya
ke Taman Suropati, tempat kedua mereka setelah dibawah pohon rindang kampus,
disana juga mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Sampailah mereka di Taman
Suropati.
“Turun?”
Tanya Kiki pada Zarfa.
“Ya iyalah turun. Mau terus di motor?”
“Iyah ihhh, bawel.”
Kiki turun dengan wajah kesal. Mereka
berdua memang selalu bertengkar hanya dengan hal-hal kecil, akan tetapi tak
lama setelah itu mereka kembali akur. Terus saja begitu.
“Kita mau ngapain?”
“Ssstt.. udah diam !”
Kiki sudah berpikir yang aneh-aneh. Akhir. 2
minggu lalu ia mengajak kiki untuk membeli sebucket mawar merah dan sekotak
coklat yang entah akan diberikan untuk siapa. Namun Kiki tidak mengambil pusing
atau tidak terlalu ingin mengetahui untuk siapa itu semua. Mungkin Zarfa sedang
jatuh cinta.
“Kak, aku sama sekali nggak ngerti kita mau
ngapain disini !”
‘Latihan, ki. Udah yah diem. Eh, tapi
coba deh kamu buka facebook kamu.”
Latihan? Olahraga, atau memang latihan
yang lain? Kiki mengiyakan ajakan Zarfa karena memang selama ini Kiki tidak
tahu kalau Zarfa menyukai olahraga. Facebook? Kiki sudah lama tidak membukanya.
Setelah tiba disebuah kursi panjang berwarna putih, Zarfa bertekuk lutut
dihadapan Kiki dan menggengggam kedua tangan Kiki, ia hanya diam mematung.
Matanya menatap dalam, Kiki menunduk.
“Aku mungkin memang bukan yang pertama
buatmu, tapi aku minta satu hal dari kamu. Izinkan aku menjadi yang terakhir
untuk kamu. Aku hanya ingin melengkapi semuanya, entah hati ini milik siapa.
Tapi aku yakin hati ini adalah milikmu. Biarkan aku di sisimu saat raga ini
lelah akan segala kegiatan duniawi yang aku kerjakan. Mungkin inilah hal
tergila yang aku lakukan, namun memendamnya sungguh membuat sakit perasaan ini.
Aku tidak dapat membohongi hatiku.”
Ucapnya, ia mengeluarkan sebuah kotak
dari dalam tas nya. Kotak itu berisi 2 buah gelang yang bergantung hurup ‘K’
dan satu gelang lagi bergantung lambang ‘peace’.
“Kalau kamu pilih yang hurup ‘K’
artinya kamu terima aku, dan kalau kamu pilih yang satunya lagi, kamu tolak
aku. Terserah kamu pilih yang mana, tapi aku sangat berharap kamu pilih yang
bergantung hurup ‘K’, bukan sebaliknya.”
Kiki bingung, namun tak berselang lama
akhirnya ia mengambil gelang dengan lambang peace yang artinya damai. Zarfa
mengerutkan keninngnya, kiki tersenyum manis pada Zarfa.
“Aku pilih ini yah?”
“Ke.. kenapa?”
“Kakak kalau mau latihan nembak
perempuan bilang, dong. Kan aku nggak tau. Ada-ada aja, aku kira mau latihan
apa. Hahahah.”
Zarfa masih diam membisu.
“Aku ambil yang ini mau tahu reaksi
kakak gimana. Tapi langsung kaget gitu. Hahahaha. Gelangnya lucu juga. Ayo
ulangi lagi, ini kan reaksi kakak kalau di tolak. Aku mau lihat reaksi kakak
diterima. Ayo mulai lagi dari awal.”
“Kamu pasti nggak buka facebook?! Ja..
jangan bilang kamu nggak buka facebook. Kamu pasti bercanda ?”
“Enggak, orang aku nggak punya quota.
Kan paket data aku off, kak.”
Zarfa yang hanya kebingungan, langsung
pergi meninggalkan Kiki di taman. Ia pergi dengan motor maticnya.
“Kak, jangan tinggalin aku nanti aku
pulang sama siapa?”
Teriak Kiki di taman yang menarik mata
siapapun untuk menatapnya yang menjerit-jerit di sore yang hampir mendung.
****
Chapter
3
2 bulan sudah Zarfa tidak lagi
berkomunikasi dengan Kiki seperti biasa. Zarfa seperti orang yang hilang arah,
entah kenapa tidak seperti biasanya ia begini. Sekali-kali pernah Kiki menelponnya,
namun 2 hari kemudian Zarfa mengganti nomor telepon yang baru. Demikian halnya
dengan Kiki, ia juga bertanya dengan teman-teman yang satu fakultas dengan Zarfa.
Hari-hari mereka berdua penuh
kekalutan seiring dengan musim hujan yang melanda kota Jakarta. Tidak ada lagi
canda tawa, pertengkaran sepele, kekonyolan yang Kiki buat untuk Zarfa, dan
Kiki juga merasa kehilangan sosok pria yang selama ini melindunginya. Setiap
hari ia datangi tempat yang biasa ia datangi bersama Zarfa. Tidak ada
tanda-tanda akan kehadiran Zarfa.
“Kak, kakak kemana? Kakak marah yah
sama aku?”
Ucapnya dengan sedih, air mata
menitik. Ia menangisi keadaan yang saat itu menuntut hatinya untuk berkata ‘Aku
merindukannya’. Hari mulai malam dan hujan turun dengan lebat, orang-orang yang
duduk-duduk di sekitar lapangan basket berlarian mencari tempat berteduh namun
tidak dengan Kiki. Ia masih duduk di bawah pohon rindang.
“Hey, bodoh ! Ayo bangun, jangan
disini. Kita berteduh.”
Seseorang yang datang dengan payung
yang ia pegang, suara sosok ini tak asing ditelinga Kiki. Fadhil Bachri,
mahasiswa satu fakultas dan satu angkatan dengan Kiki. Fadhil adalah orang yang
cintanya pernah di tolak oleh Kiki. Kejadian memalukan 3 semester yang lalu itu
membuat fadhil harus gigit jari, dimana ia menceburkan dirinya ke danau kampus
dan membacakan puisi cinta untuk Kiki. Berharap cintanya diterima, namun
ternyata tidak. Fadhil pulang dengan perasaan malu yang sampai sekarang tidak
pernah ia lupakan.
“Ehh, lo.”
“Iyah, ini gue. Ayo bangun, jangan
kayak anak hilang kenapa? Sudah tahu hujan masih aja hujan-hujanan. Ingat umur,
woy !”
Kiki beranjak dari duduknya dan
menuruti kata-kata fadhil untuk berteduh. Di kantin kampus yang masih buka itu
mereka memesan makanan untuk menghangatkan badan. 2 mangkuk bakmie pedas sangar
level 5 dan segelas teh manis hangat menemani mereka berdua pada hujan malam itu.
Fadhil saja sampai berkeringat memakannya, namun sepertinya rasa pedas dari mie
yang dilahap Kiki tidak berpengaruh pada lidahnya. Ia meneguk sedikit teh manis
hangatnya.
“Kamu kenapa, diem mulu dari tadi? Ada
masalah kuliah?”
“Kepo ! udah tuh makan aja.”
“Kok lu yang nyolot, yang bayarin ini
emang siapa, kan gue?”
Kiki terdiam, ia menghentikan
kunyahannya dan berdiri kursinya.
“Kalau elo cuma permasalahin siapa
yang bayarin makan, nggak usah ajak gue makan. Gue bisa bayar sendiri, kok.”
Imbuhnya sambil mengeluarkan uang lembaran Rp 10.000,00,- dan meletakkannya
diatas meja.
“Loh, ki. Gue, gu.. gue becanda.”
Kiki berlalu meninggalkan Fadhil.
Suasana jadi memanas, orang-orang disekitar kantin memperhatikan mereka berdua.
Sebagian dari mereka yang mengenal Kiki juga mulai berbisik-bisik membicarakan dara
berjilbab itu.
“Udah lo nggak usah ikutin gue !”
Kiki terus berjalan keluar kampus, dan
segera naik ke dalam taxi yang kebetulan menunggu penumpang. Pikiran kiki kalut
malam itu, ia menangis sejadi-jadinya di malam dingin, yang sesegera mungkin ia
ingin sampai ke rumah. Ia ingin menenangkan pikirannya sejenak dari masalah
ini, 1 bulan yang berat dan harus ia lewati.
****
Chapter
4
Pukul 3 tepat, kiki terbangun dari
mimpinya. Malam ini ia bermimpi buruk setelah kejadian 9 jam yang lalu. Fadhil,
untuk apa dia hadir lagi? Kiki telah menolak cintanya mentah-mentah. Namun kini
hadir lagi setelah 3 semester berlalu. Kepalanya terasa berat, pening, seluruh
badannya juga terasa sangat sakit. Kiki terkena demam. Ia mencoba untuk bangun
dari tempat tidurnya, melangkahkan kakinya menuju dapur untuk minum segelas
air. Tenggorokannya terasa kering. Kembali ke kamar, rasanya tidak bisa tidur
lagi.
“Hufffftt..”
Kiki mengerutkan kening dan
menyandarkan tubuhnya di tempat tidur. Di dalam pikirannya saat ini hanya
terpikirkan Zarfa.
“Kak, kenapa sih lo suka bertingkah
aneh sama gue sampai-sampai gue ngerasa…”
TRAK !!
Suara kaca jendela kamar kiki berbunyi
keras, seperti ada yang melempari sesuatu. Ia melangkahkan kakinya dan membuka
jendela kamar. Di dapatinya Fadhil berada dibawah sana.
“Aduh, itu anak ngapain coba pagi-pagi
buta kesini? Nyari masalah aja, mana ada ayah pula, dan.. Astaghfirullah,
jilbab !”
Fadhil tersenyum dan
melambai-lambaikan tangannya di bawah sana. Kiki merasa tidak enak dengan
keadaan saat itu. Ia juga sampai lupa tidak mengenakan jilbabnya, akhirnya ia
segera turun ke bawah untuk menghampiri Fadhil.
“Assalammu’alaikum, cantik. Baru kali
ini aku lihat kamu pakai piyama kayak gini. Terus tadi lupa nggak pakai jilbab.
Ehh jadi ketahuan rambutnya panjang kayak Rapunzel. Hahahaa…”
“Sssttt ! jangan keras-keras nanti
ayah atau tetangga dengar gimana? Ngapain sih jam segini keluyuran, kayak nggak
ada hari esok aja buat ngobrol?”
“Dih, gitu banget. Aku kangen sama
kamu, salah?”
“Ya nggak gini-gini amat kali ! Sudah
sana pulang, ahh.”
“Ohh ceritanya kamu usir aku, nih?
It’s okay. Aku pulang, bye !”
Kiki memutar kedua bola matanya dan
kembali masuk ke dalam rumah. Sempat ia membalikkan badannya untuk memastikan
Fadhil sudah pergi atau belum. Ternyata belum, ia masih berdiri di depan pagar
rumahnya. Fadhil yang nyengir menunjukkan giginya yang putih, sambil meniru
gaya Syahrini ‘maju mundur cantik’. Ia tersenyum-senyum sendiri dibuatnya.
Keesokan paginya, seperti biasa Kiki
menjalankan rutinitasnya sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi semester 4.
Rasanya ingin segera ia menjadi mahasiswi tingkat akhir, mengerjakan skripsi,
sidang, dan lulus sebagai lulusan S1 Ilmu Komunikasi, jurusan Jurnalistik.
Menjalani hari-harinya sebagai mahasiswi memang cukup berat. Dimana label
‘Maha’ telah melekat dipundaknya.
Itu semua tidak akan bisa ia dapatkan
selain berkat do’a dari kedua orang tua, dan orang yang paling berpengaruh di
kehidupannya sekarang. Zarfa. Namun sekarang ia menghilang bak di telan waktu.
Tidak ada lagi sekarang yang bisa menemani hari-harinya seperti biasa. Kemudian
hadir sosok Fadhil tanpa di duga. Entah skenario apa yang sedang Tuhan beri
padanya. Ia hanya bisa pasrah, dan semangat dengan kuliahnya.
Kiki mendatangi pohon besar yang
selalu menjadi tempatnya dan Zarfa bersandar, ia keluarkan laptop dan kenakan
earphone ukuran sedang di kepalanya. Lagu Dewa 19 berjudul Kirana, lagu ini
yang biasa membuatnya tenang. Ia mulai berselancar ke dunia maya. Terus mencari
desain doodle art atau quotes hijabers. Ahhh, kebiasaan lama Kiki mulai lagi.
Penasaran juga dengan akun facebooknya yang sudah lama tidak ia buka, ia pun
membukanya.
Selama ini ia hanya bermain instagram
dan path. Terdapat 219 pemberitahuan, 36 diantaranya adalah pesan masuk dan
permintaan pertemanan. Pesan masuk yang ia baca adalah dari Zarfa seluruhnya.
Saat ia membacanya, itu adalah pesan 2 bulan yang lalu. Selama ini ia tidak
pernah membukanya. Betapa terkejutnya ia saat membaca satu-persatu pesan dari
Zarfa, salah satunya adalah…
****
Chapter
5
From
: Zharfa Khaliq
One
Stupid Thing Called Love
Aku memang bukan seorang pujangga,
Yang bisa menuliskan kata-kata indah
untukmu
Namun aku ingin menjadi manusia paling
bahagia
Bahagia karena memilikimu, sayangku.
Aku memang bukan orang yang kaya raya,
Yang bisa membeli segala sesuatu
dengan uang
Namun aku ingin menjadi manusia paling
kaya,
Paling kaya karena memiliki cinta suci
darimu, manisku.
Hari ini, di taman yang biasa menjadi
saksi kesenangan,
Saksi dari kesenangan yang kita
ciptakan meskipun dengan
Cara yang amat sederhana. Memang
betul, bahwa bahagia
Itu sederhana. Cukup dengan kau dan
aku tertawa bersama
Alangkah bahagianya bila aku
memilikimu
Terimalah cinta ini, terdengar bodoh
Namun itulah faktanya, cinta bisa
membuat manusia
Sejenius apapun bisa menjadi makhluk
paling tolol
Dan hari ini, aku menjadi orang paling
tolol
Mencintaimu adalah hal tolol yang
pernah aku lakukan
Namun, memilikimu adalah hal paling
tolol yang pernah aku lakukan
Rizki Humayra, terimalah aku, jadilah
teman hidupku.
****
Chapter
6
Gerimis datang di kala senja menyeru,
malam ini adalah malam dimana yang selalu ia tunggu-tunggu. Sudah lama mereka
berdua tidak bertemu, terhitung sudah 5 bulan setelah kejadian ‘latihan’ itu
berlangsung. Senyum manis dari wajahnya seakan hilang. Tidak ada lagi senyuman,
tidak ada lagi yang bisa menghiburnya seperti hari-hari kemarin. Namun malam
ini ia akan mencoba berbicara padanya.
Bak mencari jarum di tumpukan jerami,
tapi ternyata tidak. Setelah Kiki mendapatkan kontak Zarfa, akhirnya ia bisa
berbicara seperti biasa lewat telepon.
“Hallo, Assalammu’alaikum. Kak?”
“Iya,
wa’alaikumsalam. Ini siapa?”
“Ini aku, Ki..kiki.”
Sejenak ia terdiam di ujung telepon
sana.
“Iyah,
ki. Ada apa?”
‘Ada apa?’ tidak ada kalimat ‘kangen’
atau ‘ehhh kemana aja kamu?’ dingin. Sangat dingin.
“Ehmmm, kakak nanti malam kemana? Kita
jalan, yuk? Udah lama kita nggak jalan. Maaf juga, aku baru ngontek kakak sekarang. habisnya kakak
ganti nomor.”
“Aku
nanti malam juga rencana mau keluar.”
“Asik, bisa ketemu?”
“Ehmm,
bisa sih. Tapi..”
“Ya udah. Kita nanti malam ketemu, di
tempat biasa yah kak. Taman Suropati, dan aku mau bicara sesuatu sama kakak.
Yaa hitung-hitung sudah lama juga nggak ketemu, nggak jalan, nggak makan bareng
kakak. Yah, bisa yaa?”
Kiki langsung menutup teleponnya.
Segera ia mandi dan bersiap-siap untuk bertemu dengan Zarfa. Malam ini ia
mencoba me-makeup wajahnya. Dengan bantuan sang mama, ia menjadi sangat cantik.
Mulai dari riasan wajah yang pas sesuai dengan gadis seusianya, sentuhan
eyeliner dan mascara yang membuat matanya terlihat lebih besar, bedak dan blush on yang tidak terlalu tebal, serta
lipstick warna pink yang mewarnai bibirnya.
Jeans hitam, blues navy yang menutupi hingga lutut, tak
lepas juga dari hijab namun malam ini ia melihat tutorial dari YouTube, serta
sepatu skets kesayangan membuatnya menjadi terlihat lebih sporty namun lebih
terlihat manis karena makeup di wajahnya. Ia masih belum bisa meninggalkan
kesan tomboy dari style yang biasa ia kenakan.
Tepat jam delapan malam, sampailah ia
dengan ojek online yang mengantarnya. Mama sebelumnya melarang, karena suara
petir yang terus bergemuruh sejak sore tadi. Untungnya ia membawa payung kecil
sesuai pesan mama. Ia duduk di kursi panjang putih, mengingat-ingat kejadian 5
bulan lalu ia tersenyum-senyum sendiri. Untuk menghilangkan jenuhnya, ia
membuka ponsel dan melihat-lihat akun facebooknya. Saat membuka, kiki terkejut
dengan foto yang baru saja Zarfa upload. Ditambah caption yang membuat Kiki
terbelalak.
“She’s
mine.”
Kiki hampir tidak percaya, selama ini
ia dekat dengan wanita lain. Tapi kenapa? Ia tidak berpikir panjang, ia tetap
menunggu kedatangan Zarfa. Akhirnya tidak berselang lama, ia akhirnya datang
juga namun tidak bersama wanita yang ada di foto.
“Hey?”
Kiki berbalik badan.
‘Akhirnya aku bertemu lagi dengannya’
“Kamu udah lama? Maaf, yah. Mau
ngobrol kan? Tapi kakak minta maaf juga soalnya waktu kakak nggak lama. Kakak
ada urusan.”
“Sama perempuan?”
Tanya kiki dengan wajah yang lesu,
Zarfa tersenyum malu-malu dan mengangguk pelan. Kaki mulai terkulai lemas,
namun ia tahan untuk bisa berdiri di hadapan pria berkacamata ini.
“Ki, kakak mau jujur. Kamu cantik
banget malam ini? bibirnya berwarna pula, hehehe. Pasti mama kamu yang bantu
pakai?”
Kiki duduk di kursi, zarfa pun mengikuti juga.
Kiki tidak tahu harus memulai darimana. Entah, ia bingung akan perasaannya saat
ini. Tapi ia masih mencoba menutupi hal itu.
“Kak, ingat gak 5 bulan lalu kita
kesini?”
Zarfa menengok ke kanan dan kiri.
“Iyah masih, ini juga tempat biasa
kita main bukan?”
Kiki mengangguk, pelupuk matanya mulai
basah. Namun ia tahan bagaimana pun caranya agar air matanya tidak tumpah.
“Kak, waktu itu kakak nembak aku? Itu
bukan latihan seperti yang kakak ajak waktu di kampus menuju kemari?”
Zarfa menghela napas dan mengerutkan
kening, seolah-olah tidak mau lagi mengingat kejadian 5 bulan lalu.
“Kamu baru sadar, ki? Hahah !”
“Kakak kenapa ketawa? Aku serius,
kak.”
“Tapi aku yang lebih serius daripada
kamu ! Kamu selama ini nggak sadar, ki?”
“Ya gimana aku bisa tahu, kak? Aku
selama ini benar-benar nggak tahu. Dan kala itu kakak ajak aku kemari, bilang
kalau itu ‘latihan’ ya aku benar-benar nggak tahu itu, kak.”
Ucap kiki yang mulai bangun dari
tempat duduknya, zarfa pun ikut bangun. Mencoba menenangkan atmosfer yang mulai
memanas.
“Ki, aku selama ini sayang sama kamu.
Aku, aku juga bingung bagaimana cara ungkapkannya. Aku juga nggak tahu, aku
pikir kamu nantinya bakal nolak kakak. Tapi..”
“Tapi apa? Kiki sayang kakak. Kakak
nggak pernah tanya itu ke aku? Aku bingung dengan sikap kakak yang kadang
dingin, kadang juga hangat terhadap aku. Dan terlebih lagi waktu itu kakak ajak
aku kemari, bilang entahlah itu apa namanya aku nggak mau lagi sebutkan. Tapi,
tolong kak. Jujur, aku benar-benar nggak tahu.
Ditambah sekarang kakak lagi dekat
dengan perempuan yang aku nggak tahu siapa. Kalau ditanya sakit atau nggak, yaa
untuk ukuran seorang perempuan yang sedang posisi seperti aku sekarang pasti
sakit. Akhirnya 5 bulan kakak lari dari aku. Aku minta maaf karena
ketidaktahuan aku. Tapi kalau boleh diulang tindakan itu, aku yang sekarang
yang menyatakan ke kakak. Aku juga mau jawabannya sekarang, dan aku berharap
kakak terima aku.”
Zarfa menarik napas panjang, lehernya
seolah-olah tercekik, sakit dan sulit untuk mengucapkannya. Ia memegang kedua
pundak Kiki dan mendudukannya di kursi putih itu. Zarfa bertekuk lutut di depan
kiki.
“Aku hanya bisa bilang maaf sama kamu,
aku tidak bisa mengulang hal ini untuk kedua kalinya. Rasa ini tertinggal, ki.
Ini semua salah aku yang takut untuk mencoba. Aku selalu berpikir kamu akan
nolak aku, dan aku nggak mau itu terjadi. Dan pada kenyataannya kamu juga punya
perasaan yang sama. Aku mohon maafkan aku.”
Ucap Zarfa sambil mengusap kepala gadis
manis berjilbab itu.
“Zar..”.
Seorang perempuan berambut pendek dan berkacamata
memanggilnya dari jauh. Zarfa menatap Kiki yang matanya mulai basah kemudian pamit,
dan meninggalkannya sendirian.
Suasana ramai, temaram lampu taman
berkilau dengan cantiknya menghiasi Taman Suropati. Angin mulai berhembus
kencang, disusul dengan gerimis yang kemudian makin lama makin deras tetesan
airnya. Ketika orang berlarian mencari tempat berteduh, ia mematung dibawah
hujan sambil memandangi Zarfa bersama kekasihnya. Air hujan berhasil menutupi
air matanya yang ikut mengalir di pipinya.
“Kiki, ini hujan. Yuk neduh dulu”.
Ucap lelaki dibelakangnya sambil
memayungi Kiki. Dialah Fadhil, lelaki itu memandangi Kiki dengan nanar
seolah-olah merasakan perasaan gadis berjilbab satu ini.
“Kamu nggak perlu menyesal sampai
sejauh ini, dia sudah menemukannya”.
Kiki menggelengkan kepala lantas
mendorongnya hingga payung yang ia pegang lepas dari kepalan tangan Fadhil.
Kiki berlari meninggalkan Fadhil mencoba mengejar Zarfa yang sudah jauh dari
Taman malam itu. Fadhil hanya bisa memandangi Kiki yang berlari dari jauh.
“Seandainya kamu terima aku, kamu
nggak perlu sampai mengejar dia. Seandainya, ki..”
story by: Helena Vector
illustration by: Tumblr
Komentar
Posting Komentar